Dalam ruangan gelap itu, tidak ada pergerakan sama sekali. Bahkan sang pemilik kamar hanya bisa diam dengan wajah yang tenggelam di antara lututnya. Tangannya sedari tadi menggenggam erat selimutnya, rasanya saat menggenggam itu ia bisa menyalurkan emosi yang ia rasa walau hanya sesaat. Sungguh ia sangat ingin berteriak keras, atau paling tidak menangis sehari-jadinya.
Ia tahu, di dunia ini pasti ada namanya masalah. Siapa yang tidak pernah mengalaminya, semua pasti pernah. Hanya saja dalam porsi yang berbeda-beda. Dan rasanya ia sedang mengalaminya saat ini. Atau bahkan hampir setiap hari. Tanpa menunggu perkataan orang lain, ia sudah jelas tau jika ia adalah seseorang yang sangat sering membuat masalah. Tapi mau bagaimana.
Rasanya setiap melakukan satu kesalahan, ia benar-benar ingin menghilang saja. Hampir semua yang ia kerjakan tidak ada satupun yang benar. Semua orang juga semakin menghakiminya, mengatakan seakan ia bukan manusia yang berhati hingga tidak akan terluka jika di katai seperti itu di depannya.
Rasanya sakit sekali ketika tidak ada satu orangnya yang berpihak padanya, dan malah berbalik menjatuhkan. Ia bahkan sudah tidak sanggup melangkah lagi, seperti sudah bisa menebak apa yang akan terjadi di depan sana. Walau ia sudah berusaha dengan keras, tidak akan ada yang berubah. Semua tetap sama. Kekacauan itu tidak akan menghilang.
Diangkatnya wajahnya perlahan, memandang setiap sudut kamarnya. Tumpukan pekerjaan yang harusnya ia kumpulkan hari ini, masih tersusun rapi di mejanya. Ia terlalu takut untuk memberikannya. Terlalu takut jika kesalahannya akan terulang kembali. Ia tau semua telah berlalu tapi tetap saja ia tidak bisa melupakannya.
Ingin sekali ia berharap lebih pada hari esok, bahwa sedikit saja ia bisa merasakan bahagia tidak merasa terluka lagi seperti hari ini.
Tapi sepertinya itu sebuah harapan mustahil yang akan terjadi. Getaran ponsel di atas meja nakas mengalihkan perhatiannya. Panggklan masuk dari rekan kerjanya. Ia berusaha untuk tidak perduli. Lia tau dia hanya akan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Lia sudah bisa menduganya, tapi tetap saja kalimat itu sudah tidak berguna lagi untuknya. Rasanya hidupnya benar-benar tidak akan baik-baik saja.
Lia menatap surat yang sudah ia buat dua hari yang lalu. Sepertinya sudah saatnya ia berhenti membuat hidupnya sengsara. Berada di pekerjaan inj sepertinya bukan keahliannya, berhenti lebih baim dari pada menyiaanyiakan waktunya untuk hal yang hanya akan membuatnya stres.
Lia menghembuskan napas kasar. Di sekanya air mata yang masih berada di pipinya dengan kasar. Waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari. Sudah masuk hari baru, hari yang ingin ia mulai dengan sedikit senyuman. Mencoba positif dengan apa yang akan terjadi.
***
"Lia, apa maksud kamu?" protes sebuah suara dari belakang punggung Lia.Lia sedang sibuk mengemasi barang-barangnya. Ia sudah bukan karyawan di perusahaan itu lagi. Surat pengunduran dirinya belum langsung di proses, tapi ia yakin cepat atau lambat ia tetap harus mengemasi barang-barangnya. Ia tahu karyawan tak berguna sepertinya pasti akan dengan cepat di proses surat pengunduran dirinya. Dari pada menunggu lama, lebih baik Lia segera keluar dari sekarang.
"Kamu becanda, ini gak lucu tau." Fero nampaknya masih tidak terima. "Dan kemana kamu pas aku telpon semalam?"
Lia menghentikan aktifitasnya, "Ro, menurut kamu apa yang harus aku lakuin sekarang? Berdiam diri dan menunggu di pecat secara tidak hormat, begitu? Aku capek, Ro. Aku capek sama diri aku sendiri. Aku lelah dengan segala kecerobohan yang aku lakuin. Aku malu dengan kebodohanku. Kalau gak ngundurin diri trus aku harus apa? aku juga tau nyari kerja susah, tapi gimana? Aku gak cocok disini."
"Tapi kamu masih bisa belajar, menurutku kesalahanmu gak terlalu parah kok. Masih bisa di asa sedikit lagi."
Lia tertawa pelan," Di asa? Apa yang di asa? Aku gak punya bakat apapun untuk di asa, bakat juga gak ada. Udalah, biarin aku sendiri. Aku bakalan lakuin apapun yang akan buat aku bahagia."
"Lalu gimana dengan aku?" tanya Fero pelan.
Lia mengangkat alisnya bingung, "maksud kamu apa?"
Fero memandang Lia lama, kemudian hanya menggeleng pelan. "Kalau itu mau kamu, yaudah. Semoga kamu bisa cepat nemuin pekerjaan atau tempat yang buat kamu bahagia. Dengan liat kamu bahagia, aku bakalan ikut bahagia. Jangan ganti nomormu, terus hubungin aku. Kita tetap teman kan?"
Lia tersenyum, "Pasti."
Lia tidak akan pernah melupakan kebaikan Fero. Dia pria yang baik dan juga pekerja keras. Bukan tidak menyadari jika Fero menaruh hati padanya tapi keadaannya yang sekarang tentu saja tidak sesuai jika ia disandingkan dengan Feri, rasanya mereka sama sekali tidak akan cocok.
Biar saja kepergiannya membuat semua orang bisa bernapas lega.

KAMU SEDANG MEMBACA
Forgive Me
Krótkie OpowiadaniaHanya berisi cerita pendek yang di tulis berdasarkan mood penulis. Tolong tinggalkan jejak sesudah membaca yaa. Selamat membaca☺