bag.46

103 6 0
                                    

"Woy, kenapa Lo ketawa-ketiwi sendirian, kayak orang gila aja." Sahut Nathan, lelaki itu baru saja keluar dari kamarnya, dan langsung turun kebawah ketika melihat sang adik tertawa-tawa, padahal yang dilihat Nathan saat di atas, adiknya itu sedang duduk sendirian di meja makan. Nathan jadi merinding sendiri melihat nya.

Aisyah menolehkan kepalanya kearah Nathan, saat ini lelaki itu sudah mendudukkan dirinya di kursi sebelah Aisyah. "Sembarangan kalo ngomong, emang mau Lo punya adik gila?" Tanya nya.

Nathan sontak menggelengkan kepalanya mantap. "Enak aja, gak mau lah."

"Nah, makanya jangan bilang begitu lagi. Gua saranin kalo mau ngomong harus pake bismillah dulu, biar berkah." Usul Aisyah, Nathan hanya mengangguk paham mendengarnya.

"Btw, Devan sama kak Gerry mana? Kok gak turun bareng Lo sih?" Tanya Aisyah kembali, ia melihat kearah Nathan, lelaki itu hanya mengedikan bahunya acuh.

"Emang gak pernah bener kalo nanya ke Lo." Uja Aisyah kesal, ia pun melanjutkan sarapannya, percuma saja jika terus menunggu Nathan menjawab pertanyaannya, yang ada ia merasa rugi karena telah membuang-buang waktu nya percuma cuma untuk menunggu Nathan merespon, jika akhirnya tetap dijawab pun, pasti dengan jawaban yang melantur.

"Pagi, sayang." Ucap Berlin, wanita itu baru saja tiba dari dapur, dan di kedua tangannya pun terdapat pisang goreng yang baru saja dimasak nya.

"Pagi juga, mah." Balas Aisyah, "loh bang, devan sama Gerry nya mana?" Tanya Berlin ketika ia tak melihat keberadaan kedua teman putranya itu.

"Devan lagi nunggu Gerry bangun mah, biarin aja." Jawab Nathan acuh.

"Kok gitu sih? Harusnya tuh kamu yang nungguin sampai Gerry bangun, bukan malah ninggalin temen kamu di kamar."

Nathan menganggukkan kepalanya, "iya mah, ini Nathan udah selesai kok." Ucap Nathan, sambil memasukan satu potong roti terakhir ke dalam mulutnya. "Kalo gitu, Nathan ke kamar lagi ya."

Berlin mengangguk, "kalo udah pada bangun, ajak sarapan ya bang."

"Iya, mah." Kata Nathan sambil berjalan menuju ke kamarnya.

Berlin pun kini beralih ke putrinya, "Sarapan yang banyak ya ca." Aisyah mengangguk, "iya mah, tenang aja."

"Ohiya, papah kemana mah?" Tanya Aisyah, ia baru ingat jika papahnya tidak kembali ke meja makan lagi, Padahal mamah nya sudah ada disini.

"Baru aja berangkat ca, emang kamu gak liat?" Aisyah menggelengkan kepalanya, "enggak mah, emang tadi papah lewat sini?" Tanya nya bingung.

"Emang di dapur ada pintu keluar, Hm?" Aisyah terkekeh mendengarnya, "iya juga ya, hehe. Lagian papah main pergi aja, gak pamitan dulu." Ujarnya.

"Papah kamu tuh lagi buru-buru, tadi di telpon sekertaris nya udah ditunggu untuk rapat." Ucap Berlin menjelaskan.

"Wah, mamah gak curiga tuh sama sekertaris nya papah? Siapa tau kayak yang di novel aku baca," Aisyah mendekatkan bibirnya kedekat telinga Berlin, "sekertaris nya itu mau ngerebut papah dari mamah." Bisiknya sangat pelan.

Berlin pun sontak mengeluarkan tawa nya, "kamu ini, terlalu banyak baca novel sih, jadi korban novel kan?"

"Mamah, caca serius." Berlin pun mencoba meredakan tawanya, "iya ca, mamah juga serius nih."

"Makanya, mamah harus hati-hati sekarang." Berlin tersenyum, sambil menggelengkan kepalanya. "Kalo kamu lupa, sekertaris papah tuh laki-laki loh ca." Ujar Berlin.

"Pak Ahmad, kenal kan?" Aisyah mengangguk, "Bokap nya tarisa maksud mamah?" Berlin menganggukkan kepalanya, "iya, kan kamu sendiri ngeliat waktu itu, saat papah pilih pak Ahmad buat jadi sekertaris nya." Lanjut Berlin menjelaskan.

I LOVE HIM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang