Tri

944 125 50
                                    

Zayn's POV

"Kita berangkat dulu, ya, Bang," pamit Bunda sambil meluk gue sekilas. Begitu juga dengan Ayah, Waliyha dan Safaa.

Gue natap Kak Doniya yang malah asik mainin kukunya dan nggak berniat pamit sama gue sama sekali. Laknat lo, kak.

Gue nyodorin tangan kanan gue ke arah dia. Dan dia cuma nerima tangan gue dengan jari telunjuk dan jempolnya. Sabar, Zayn, orang ganteng pas di kubur didatengin malaikat cantik.

Gue nyerah. Udah malas gue.

"Harry dateng nanti sore. Jadi jangan lupa rapihin rumah." Peringat Bunda untuk yang keribuan kalinya.

Dih, emang dia sespesial apa sampai harus digituin?

"Iya, Bunda." Jawab gue pada akhirnya.

Setelah itu, mereka semua masuk ke dalam mobil dan pergi dari rumah ini. Dan... tinggallah gue sendiri. Gue masuk ke dalam kamar dan tutup pintu.

Gue yakin kalian tau gue mau ngapain. Gue bakal nguasain rumah ini. Senangnya dalam hati.

Setidaknya sampai nanti sore. Sampai si bocah keriting itu datang.

Gue bakal ngelanjutin film yang kemarin gue tunda. Gue telungkup dengan nindihin guling -pelampiasan pas gue kebawa suasana-.

15 menit udah berlalu.

Sialan. Udah masuk bagian inti aja. Karena masih ada sifat alim di diri gue, gue tutup mata pakai tangan, tapi gue masih bisa lihat layar televisi itu dengan jelas. Gue gigit sarung guling.

Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah.

"Besok udah puasa, udah nggak bisa kayak begini lagi. Jadi, nggak apa-apa lah." Gue ngomong sendiri masih dengan tatapan yang fokus nonton.

***

Gue terbangun saat gue dengar ada yang pencet bel rumah. Gue berdecak lalu meluk pacar gue lebih erat.

Gue udah anggap guling sebagai pacar gue saat ini.

Belnya bunyi lagi. Akhirnya gue bangun tanpa ikhlas sedikitpun. "Binasalah buat orang yang ganggu kenikmatan gue." Sungut gue. Gue tengok jam dinding di kamar gue.

Jam 4 sore.

What da hell?! Sore. Si keriting datang. Dan gue belum rapihin rumah sama sekali. Tapi...

Bodoamat.

Akhirnya gue turun ke bawah dengan langkah santai. Atau lebih ke nggak ikhlas. Sebenarnya gue lama-lamain langkah gue, tapi tau-tau udah di depan pintu aja. Gue buka pintu utama rumah gue.

Harry kayaknya mau mencet bel lagi tapi nggak jadi. Lalu dia senyum kikuk. "Assalamu'alaikum, Bang Jen."

"Wa'alaikumsalam." Jawab gue.

Mata gue nelanjangin dia dari atas sampai bawah. Dia pakai kemeja marun kotak-kotak, tapi dua kancing di atasnya nggak dipasang. Lumayan, sih. Tapi yang bikin gue heran, dia pakai celana pendek longgar di atas lutut yang biasanya gue pakai pas tidur doang. Udah gitu, dia pakai sepatu booth cokelat favoritnya.

Udah gue tebak, ini bocah emang aneh dari orok.

Tapi, kayak ada yang aneh. Mata dia nelanjangin gue juga dari atas sampai bawah juga. Karena risih, gue perhatiin diri gue sendiri.

Spontan gue nyilangin tangan gue ke badan saat baru sadar kalau gue shirtless dan cuma pakai boxer. Kok jadi gue yang lebih aneh?

Masih dalam posisi nutupin badan, gue berbalik dan nyuruh dia ngikutin gue ke dalam.

Our RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang