Ten

532 86 28
                                    

Gue kedip-kedipin mata gue, lalu gue tengok ke sekitar. Ternyata gue lagi tiduran di atas karpet ruang tamu rumah gue.

Wait- Kayaknya ada yang aneh. Kenapa gue bisa tiduran di atas karpet gini?

Pas gue liat jam, udah jam 3 pagi. Gue coba inget-inget lagi apa yang terjadi semalam.

Yang gue inget, selesai tarawih kita beli cilok di sebelah ronda, terus kita makan, terus anak-anak pada mules, terus- oh, gue inget sekarang!

"Jen, lo dah sadar?" Louis tiba-tiba muncul dari tangga.

Lalu Louis lari naik ke atas sambil teriak, "WOY, JEN DAH MELEK!"

Tunggu! Mereka pada tidur di kamar, sedangkan gue di atas karpet ruang tamu? Gue pertekan, KARPET, CUY!

Nggak lama kemudian, empat cowok kampret itu turun sambil lari. Gue cuma diem natap mereka sinis.

"Zaynnn, akhirnya lo bangun juga!" seru Liam sambil meluk gue. Disusul Niall dan Louis.

"Gue kira lo udah dipanggil," celetuk Louis.

"Lo pengen gue mati?" tanya gue sarkas.

Louis cuma cengengesan aja. "Kalo lo mati, kita nebeng di mana dong?" tanya Niall.

Lah, bodo amat. Karena inget kejadian semalem, gue ngelepas pelukan mereka dengan kesal. Gue tau siapa yang bikin gue pingsan sampai pengen ngompol.

"Kalian kan ya-"

"Iya, Tante Trisha cantik. Ini Zaynnya udah sadar." Baru gue mau nuduh mereka, si Harry tiba-tiba dateng sambil megang hp yang dia hadepin ke mukanya, gue tebak dia lagi vidio call sama Bunda.

"Nih," kata Harry sambil ngasih hp -yang ternyata hp gue- ke gue.

Akhirnya gue terima dan terpampang muka Bunda gue penuh. Benar-benar penuh. Mukanya doang. Bahkan rambut, kuping, lehernya nggak keliatan sama sekali.

Buset, Bun, ini masih gelap, udah nakut-nakutin aja.

"Sayang, ada yang luka atau sakit?" tanya Bunda.

Gue meringis lebar. "Nggak, kok, Bun. Buktinya Zayn masih ganteng aja."

"Udah, Bun! Matiin aja!" Samar-samar gue dengar Kak Doniya teriak.

"Kakak nggak boleh gitu ih. Kasian adikmu, habis dikira mati," jawab Bunda dengan santainya. Gue bingung, sebenarnya Bunda ngebela gue atau nyindir gue.

"Bunda khawatir waktu nelpon kamu, tapi malah Harry yang angkat dan bilang kalau kamu pingsan tiba-tiba. Untung aja ada temen-temenmu yang nolongin kamu," jelas Bunda. Gue ngelirik mereka berempat yang lagi senggol-senggolan lutut.

Sorry, maksud gue siku.

Ingin rasanya gue teriak kalau justru mereka juga yang bikin gue pingsan dan naruh gue di karpet.

Tapi apa daya, berkat kesucian hati gue, gue cuma bisa ngangguk sambil nyengir paling nggak ikhlas yang pernah gue pakai di wajah tampan gue ini. "Iya, Bunda Q."

"Yaudah. Kalian sahur sana. Kamu jangan sampe kecapekan, loh! Kalo perlu minum vitamin, oh atau kamu suntik aja ke puskesmas-"

Belum kelar Bunda ngomong, gue udah geleng-geleng. "Nggak! Zayn nggak mau ditusuk sama benda zina itu," timpal gue sambil bergidik ngeri.

"Haduh, kamu ini. Perut aja kotak-kotak, sama jarum aja takut," ledek Bunda. Gue dengar keempat teman gue cekikikan.

"Plis, Bun, jangan buka kartu dong," rengek gue barusaha menghentikan peledekan tak senonoh ini.

Bunda tertawa pelan. "Iya deh iya. Sudah-sudah, sekarang sahur sana, keburu imsak. Jaga diri kalian baik-baik, ya!"

"Oke, Tante Trisha cantik!" seru mereka berempat kompak sambil nyengir badak. Lalu, sambungan vidio call pun selesai.

Gue natap mereka berempat intens. Sedangkan mereka cuma nunduk sambil garuk-garuk sama lirik-lirikan samar.

"Zayn, maapin kita lah, kita kan nggak sengaja." Liam angkat suara duluan.

"Iya, Jen, kita cuma iseng aja, eh taunya lo malah pingsan. Payah, sih, lo," kata Louis yang langsung dapet tatapan mutilasi dari Niall, Liam, dan Harry. Gue juga lihat Louis gumamin kata 'mampus' pelan.

Gue ngangkat kedua alis tebal gue. "Lalu, kenapa gue ditidurin di sini?"

Mereka saling tatap-tatapan. "Eh, itu... anu... eh... itu tu..." Si Niall gelagapan.

"Lo ngerap ato ngomong, sih?!" ketus gue.

"Itu gara-gara si Whitening minta tidur sama lo!" jawab Louis cepat.

"Whitening?" tanya gue heran.

"Ish," tiba-tiba Liam berdesis. "Gini, Zayn, karena badan lo yang lebih berat dari rindunya si Dahlan, dan karena tenaga kita yang sekecil butiran debu, dengan sepenuh jantung kita (tanpa) terpaksa tidurin lo di sini aja," jelasnya panjang lebar.

"Dan kalian enak-enakan tidur di kamar gue?" selidik gue.

"Ya iyalah, Bambang," jawab Liam sewot. Hehe, si Liam bisa sewot juga ternyata.

Gue manggut-manggut. "Karena lo pada tega sama gue, oke gue maapin."

Gue kira respon mereka bakal kegirangan, tapi mereka biasa aja. "Lo nggak seneng gitu gue maapin?"

"Kita udah duga ketololan lo yang murni sampai ke tulang sumsum ini, Zayn."

***

Shortest chapter i ever made:"
Entah kenapa susah banget mo up.
Btw, selamat hari raya idul fitri. Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin ya zeyenk :*

Our Ramadhan masih berlanjut kok, selama gue gabut di libur panjang ini.

Keep reading,
Jangan lupa Vomment + Share <3

Love u,

-Rin

Our RamadhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang