Dengan cepat Alena beusaha baik-baik saja di depan dia. Alena menghadap seseorang yang mencekal tangannya. "Ada apa?" suara Alena bergetar. Ia merasa gugup jika berhadapan dengan Gibran.
Damian Gibran. Masa lalu sekaligus masa depan bagi Alena. Alena berusaha mati-matian agar ia tak dipertemukan dengan Gibran. Namun, takdir tidak berpihak padanya.
"Kenapa lo selalu menghindar dari gue? Gue tau lo sekolah di SMA Wijaya kan? Dan mungkin lo gak tau kalo gue juga sekolah di tempat yang sama." ucap Gibran to the point.
Entah kebetulan atau takdir. Jika Alena dipertemukan oleh dua orang sekaligus. Orang yang sama yang sangat kepo tentang sekolahnya. Bedanya ia tak mengenal Nevan tetapi yang satu ini ia sangat mengenal pribadinya, Gibran.
"Gak apa. Gue cuman gak mau ada yang tau tentang kita. Gue juga butuh privasi."
Alena menggigit bibir bawahnya. "Soal gue yang gak tau kalo lo sekolah di SMA Wijaya gue tau kok lo sekolah di sana juga." elak Alena. Mana mungkin Alena tau jika Gibran yang dibahas oleh Caca beberapa bulan lalu adalah Gibrannya.
"Kalo gitu gue pergi duluan ya." pamit Alena. Bisa-bisa Alena tidak bisa tidur malam ini karena terbayang-bayang wajah Gibran. Seandainya terus mengobrol dengan Gibran.
Berbeda dengan Gibran. Ia masih memikirkan tentang ucapan Alena yang terkesan tak menginginkan kehadirannya disekitar Alena. Satu pertanyaan yang telintas di otak pandai Gibran. 'Mengapa?' pikir Gibran.
Tidak lama kemudian lagu John Mayer "New Light" membuyarkan pikiran Gibran. Gibran mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku celananya. Kemudian menggeser tombol hijau yang tertera di layar.
"Halo, Gib." Suara seseorang di seberang sana.
"Halo. Ada apa nih tumben telepon gue ? Biasa juga chat di grup."
"Lo sih lama bales chat gue. Ya udah gue telepon lo. Ntar malem ke café biasa ya bro, anak-anak mau bahas tentang rencana yang kemarin. Bisa nggak lo?." ajak Miko.
Terdengar di pendengaran Gibran suara cowok yang sedang bersendau gurau,"Kayaknya gue gak bisa deh. Udah ada janiji. Sorry bro, lain kali deh gue ikutan." Setelah menimang-nimang ajakan Miko, dengan terpaksa Gibran menolak ajakan Miko karena perasaannya dalam kondisi tidak baik. Percumah saja bila ia datang ke cafe tetapi ia sedang tidak dalam mood baik. Yang ada ia melampiaskan rasa kesalnya kepada teman-temannya. Gibran selalu memegang prinsipnya ketika ia sedang bad mood. 'Boleh marah, kesal, atau apapun itu. Asal jangan menjadikan orang lain sebagai pelampiasan. Masalah pribadi jangan diumbar di depan publik.' Begitulah prinsip Gibran.
"Yaelah gak seru lo. Marah nih gue. Huaaaa Van, Gibran gak bisa kesini. Ntar gak ada yang mau beliin makanan buat kita." adu Miko kepada Nevan. Kebiasaan Gibran mentraktir makanan untuk teman-temannya yang super duper hemat itu. Padahal kalo beli kuota gak naggung-nanggung tuh si Miko. Cover aja mlarat tapi aslinya konglomerat.
'Oh jadi ada Nevan juga disana,' batin Gibran.
"Ya udah gih sana main sama yang lain. Gue tutup dulu ya." Gibran benar-benar mematikan sambungan teleponnya tanpa persetujuan Miko yang sedang bersedih. Dasar Miko.
Setelah memasukkan handphone ke dalam saku celananya. Gibran beranjak meninggalkan saksi bisu pertemuannya dengan Alena tadi setelah sekian lama tidak pernah berjumpa semenjak kejadian itu.
☆☆☆
Suara dentuman musik memenuhi seisi rumah. Siapa lagi kalo bukan Alena dan kawan-kawan. Hari ini jadwal berkunjung ke rumah Caca. Biasa kunjungan rutin setiap 2 minggu sekali. Bukan, bukan kunjungan yang seperti biasanya. Namun, ini adalah bahasa halus dari kata "main seharian". Main dari pagi sampe sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
Creatha [ON GOING]
Teen Fiction'Ia penyuka kesendirian, namun sebenarnya sangat humble bagi yang menyapa duluan. Ia pendiam, tetapi banyak teman.' Seorang gadis cantik yang sedang membutuhkan bantuan dari seseorang untuk mengubah takdir cintanya. Seseorang yang mampu menghidupkan...