(01)Alvaro

115 18 17
                                    

Seorang gadis dengan rambut dikuncir satu dibelakang kepala, dengan memakai pakaian putih abu-abu, tengah berada di dalam kelas sambil membenamkan kepalanya diatas meja dan mengetuk-ngetuk meja dengan pensil.

Pikirannya kacau sepagi ini. Hujan turun membasahi jalanan. Suara gemercik air yang beradu dengan tanah membuat kepalanya pusing.

Bayang-bayang itu selalu saja terngiang setiap hujan turun. Helaan napas resah keluar dari bibirnya setiap saat. Untung saja hari ini dia datang lebih awal sehingga hujan tidak sempat membasahi tubuhnya.

Hingga seorang gadis dengan wajah cerianya datang lalu duduk di sebelah gadis tadi.

"Lo tau nggak kalau rumornya kelas kita bakal kedatangan anak baru?" tanya gadis itu. Namanya Natasha.

Sedangkan lawan bicaranya malah terus membenamkan wajahnya ke atas meja. Gadis itu terlihat risau, begitu berantakan. Tentunya hal ini sudah biasa Natasha lihat.

"Lian, gue ngomong nih! Respon kek! Masa lalu lo itu udah jauh tertinggal di belakang, gak seharusnya diinget."

Gadis itu mengangkat wajahnya menatap ke arah Natasha. Lilian Jane. Itulah namanya. Gadis cantik berkulit putih bersih yang sayangnya dia terkenal sebagai gadis pendiam dan super dingin. Membuat para lelaki takut hanya untuk berkenalan dengan dia.

"Apa hubungannya sama gue?" balas Lian ketus.

Pagi ini moodnya benar benar jelek. Seharusnya Natasha peka kalau sahabatnya ini butuh sendiri.

Hujan deras membungkus perkotaan. Banyak dari mereka yang mengatakan hujan penuh kenangan. Jadi setiap hujan turun mereka akan senang mengenang setiap kenangan yang mereka buat. Tapi tidak bagi gadis bernama Lilian Jane ini. Hujan adalah hal yang ia tidak suka semenjak dia dikhianati oleh orang yang paling ia percaya. Kisah klasik. Lian sendiri tak percaya mengapa ia bisa terjebak di dalam drama ini.

"Siapa tau sih lo tertarik. Katanya dia ganteng banget loh. Astaga!" Wajah Natasha berseri-seri membayangkannya.

Lian jadi berpikir siapa tau orangnya nanti tak sesuai dengan yang diucapkan Natasha. Siapa tau dia nanti orangnya jelek, wajahnya tua, berkumis, berkulit hitam, burik. Siapa tau.

Lian terdiam. Kepalanya terasa pusing. Apa dia ke UKS saja ya? Tapi tidak mungkin. Hari ini adalah waktunya pelajaran matematika. Mustahil bagi seorang Lilian Jane untuk meninggalkan pelajaran satu itu. Meskipun peringkat satu selalu ia sandang. Dan tidak ada orang yang pernah bisa mengalahkannya. Tapi tetap saja ia enggan untuk meninggalkan pelajaran itu.

"Tidur aja sana gih! Gue gak bakal ganggu. Wajah lo udah pucet banget kayak mayat hidup hii." Natasha bergidik ngeri memandang wajah Lian.

Memang mau bagaimana lagi? Hujan selalu membawa cerita tersendiri dan juga kesedihan tersendiri. Setiap hujan turun keadaan Lian pasti seperti ini. Lemas, pucat, pusing.

Lian menatap Natasha tajam. "Emang lo pernah liat mayat hidup?" Lian tersenyum mengejek.

Natasha bungkam, memang susah bicara dengan gadis yang selalu menyandang peringkat satu pararel kelas.

Bel berbunyi nyaring. Pukul tujuh. Tapi penghuni kelas masih seberapa. Mungkin mereka terjebak hujan. Hujan diluar sana sudah agak reda. Lian bernapas lega, bisa bisa dia pingsan jika hujan ini tidak mau berhenti.

Perlahan lahan kelas mulai terisi. Suara gaduhpun terdengar. Banyak diantara mereka datang dengan baju basah. Mamel.

Seorang gadis dengan rambut terurai basah datang dan duduk di depan Lian dan Natasha. Mengomel.

"Seharusnya sekolah diliburkan saja! Nggak kasihan apa sama gue? Kalau gue ntar masuk angin gimana?" Naya. Nama gadis itu, berceloteh sambil memeras rambutnya yang basah.

METAMORFOSIS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang