17

14 1 2
                                    

"kok tadi ada Dylan?" tanya Dandi yang akan menaiki motornya

"gatau, tadi kata abang dia langsung kesini setelah ngechat" jawab Devia

"Nih" Dandi memberikan helm untuk dipakai Devia  "mau dipakein?" tanya dandi lagi

"makasih, ga usah Devia bisa." Devia mengambil helmnya dan dikenakan di kepalanya. Lalu kemudian saat mau naik ke atas motor Dandi mengintrupsinya

"Katanya bisa pake helm"

"Ini udh pake kan?" Devia pun tidak jadi naik

"ini tuh harus di-klekin, biar ga lepas dan terlindungi" Dandi membenarkan helm yang Devia pakai

Devia terkekeh mendengar Dandi berkata di-klekin,kemudian naik ke atas motor Dandi, lalu menyusuri jalanan pagi menuju siang ini.

⏺️⏺️⏺️⏺️⏺️

Setelah sampai cafe mereka duduk di dekat jendela, bangku untuk dua orang yang bisa melihat bagaimana kondisi diluar yang mulai panas.  Kemudian memesan makanan.

"Dev" panggil Dandi yang dicuekin karena Devia sibuk main hp

"Hmm?kenapa?" jawab Devia sambil melihat Dandi

"engga manggil doang" Devia hanya mengerenyitkan dahinya. Tidak ada yang memulai percakapan lagi, hanya melihat seluruh cafe dan jalanan luar sampai pesanan datang.

"Dylan sering main ke rumah ya?" tanya Dandi. Devia yang sedang mengaduk sphagettinya langsung mendongak, menatap Dandi

"Dulu sih sering, tapi semenjak dia pindah jadi ya gitu" Devia menjawab dan melanjutkan mengaduk makanannya

"Kalo aku cemburu sama dia, gimana?"

Skak-mat

Devia berhenti mengaduk, lalu pelan-pelan menaikkan tatapannya ke arah Dandi yang sedang menatapnya sambil meminum pesanannya.

"ya-..." Devia bingung bagaimana menjelaskannya.

"Ya udah makan dulu aja" Dandi yang mengerti memakan pesanannya. Devia menatap ragu ke Dandi, Dandi yang menyadari itu hanya mengangguk kemudian menyuruh Devia memakan makanan menggunakan dagunya. Devia menurut, karena untuk menjelaskan sesuatu diperlukan banyak tenaga ekstra yang cukup bahkan lebih agar tidak pingsan saat menjelaskan baru setengah cerita.

Mereka memakan pesanan masing-masing. Dandi yang makan sambil melihat pemandangan jalan yang sudah panas, Devia makan dengan sesekali melihat Dandi saat Dandi balik menatapnya dia hanya menatap ke makanannya sambil memikirkan jawaban yang tepat. Setelah selesai, Devia meminum minumannya sampai habis.

"Jadi" Devia mencoba menyusun kata-kata. Dandi hanya menaikan satu alisnya yang menambah kadar kegantengan seorang Dandi Esa Maulana. Oh god, fokus Dev. - Batin Devia. Kemudian Devia berdeham meredakan kegugupannya

"Ya wajar aja, Dandi kan my boyfriend" Devia menyengir, bingung padahal tadi sudah banyak kata yang disusun tapi kenapa hanya itu yang keluar? God, help me -batin Devia lagi

Dandi hanya mengangguk, -yang sebenarnya- kurang puas dengan jawaban dari Devia.

"Ada yang mau diceritain?dari tadi kayak gelisah gitu" tanya Dandi yang langsung tepat sasaran sedangkan Devia makin bingung menjelaskan. Dandi itu terlalu to the point males bertele-tele walaupun -kadang- menyinggung orang lain.

"Mau, tapi bingung mulai dari mana" jawab Devia mencoba mengatur nafas senormal mungkin

"Tentang Dylan?" Dandi melihat Devia gugup tapi selalu dia tutupi, kemudian dengan anggukan kepala Devia menjawab l pertanyaan yang barusan Dandi berikan.

"Kamu tau,aku ga bakal maksa apa yang bukan menjadi urusan aku. Tapi kamu, pengecualian." Devia paham betul apa yang dimaksud Dandi dengan kalimat sederhananya itu.

"Devia mau cerita tapi janji Dandi ga bakal marah?atau tiba-tiba nanti pas pulang malah hajar orang? " Devia mengulurkan jari kelingkingnya, pertanda janji yang harus ditepati. Klise? memang itu salah satu hal atau momen yang dapat kita ingat, walaupun tidak terlaksana.

Dandi melihat uluran jari itu, kemudian menatap mata Devia beberapa lama, sampai pada akhirnya ia yakin ia pun mengulurkan jari kelingkingnya juga dan berkata "Iya, Janji"

Percayalah, dua kata itu malah semakin menusuk Devia ditambah dengan tatapan Dandi. Devia melepas uluran kelingkingnya yang berkaitan dengan Dandi, lalu mulai menceritakannya.

"Inti dan singkat dari cerita tadi, Devia dijodohkan dengan Dylan." Jangan nangis - batin Devia menguatkan, walaupun matanya sudah berkaca-kaca yang langsung membuang pandangan ke jalanan.

Dandi, Dia tidak pernah melepas tatapan matanya dari Devia sejak awal cerita sampai Devia memalingkan pandangan.

Hening, meja makan untuk dua orang itu benar-benar hening. Didukung dengan keadaan cafe yang mulai sepi pengunjung.

"Dandi, maafin Devia. Jangan marah, Devia juga gatau kalau ujungnya malah jadi kayak gini" setelah sekian lama keheningan itu, Devia membuka suara duluan.

"Iya, gpp. Ga usah sedih lagi. Gua ada disini. Kita jalani aja. Anggep aja ini baru permulaan dari setiap masalah yang datang nanti terus-menerus. Dan kalo emang udah ga ada jalan, kita ga bisa maksain. Apapun itu, gua yakin itu yang terbaik buat kita. " Dandi mengambil tangan Devia, menguatkan.

Dia sama rapuhnya, sama memikirkan bagaimana keluar dari masalah ini. Tapi dia mencoba menguatkan Devia,karena jika keduanya saling emosi dan tidak ada yang menguatkan. Maka ujungnya adalah perpisahan dengan cara yang kurang mengenakkan. Bukannya setiap pasangan harus -selalu- begitu? Saling menguatkan, terbuka, dan percaya. Saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Dan saling mengerti bagaimana diposisi masing-masing, tidak egois.

Devia ingin terlihat kuat juga, dari tadi jika ada airmata yang -hampir- menetes dia selalu menyekanya duluan walaupun Dandi menyadari hal itu.

"Pulang ya? Kamu istirahat, besok masih ada satu hari lagi buat libur. Yuk" Dandi berdiri dan menggandeng Devia ke parkiran, lalu memasangkan helm seperti tadi. Devia hanya menurut, dia lelah dan bingung, kenapa ada lelaki sebaik ini, tuhan. Siapapun nanti yang bersamanya sangat beruntung, dan tolong jaga dia. -batin Devia.

Setelah semuanya siap, Dandi melajukan motornya membelah jalanan dengan kecepatan rata-rata karena hari sudah mulai sore. Diperjalanan hening, hanya lalu lalang kendaraan lain lewat. Sedangkan dua insan yang sedang menaikinya, berpikir dengan pikiran masing-masing.

"Makasih,Dan" Sampai di rumah, Devia mengembalikan helm Dandi. Dandi hanya tersenyum dna menerimanya.

"Dev, semoga malam ini tidur nyenyak ya. Jangan terlalu dipikirin, nanti sakit. Jaga kesehatan" sebelum Devia masuk ia mengelus rambut Devia.

"Ya udah Dandi duluan ya, bye Dev. Salam sama abang dan bunda, maaf ga bisa mampir." Dandi melajukan motornya dengan cepat.

"Hati-hati.iya nanti Devia salamin. maafin Devia, Dan. Bye" hanya angin lalu yang berentetan saat Devia mengucapkan kalimat itu, karena Dandi sudah pergi. Dia menghela nafasnya dengan dalam, sebelum masuk ke rumah.

---------------------------------TBC----------------------------
OIII, CAMBEK:v. Hwhwh ku sempet stuck dan bingung nerusin gimana jadi lama up. TAPI TENANG SAUDARA-SAUDARA, cerita ini bakalan abis dan punya target kelar, end, tamat, selesai, apapun itu nanti akhir tahun. Heheh maapin author yang labil;v. Diriku merasakan jadi Devia masa, padahal doi kaga ada:v *promosi kamvret lu thor.
Oia, btw anyway busway:v selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Selamat mudik, bagi yang pulang kampung. dan selamat hari raya idul fitri, mohon maaf lahir batin ya:)  oia, satu lagi. Selamat menjomblo bagi yang baru putus. awokwak *tampar online.
Thanks for see, vote and comment, Sorry for my mistake, and See you next time.
Salam,-SATARIN-.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 03, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang