8

9 6 3
                                    


Waktu sudah hampir malam, Devia sudah izin ke orang tuanya bahwa dia bersama Dandi. Dandi mengulurkan tangannya. Devia menatap ragu ke arah Dandi. Dandi yang melihat itu tersenyum, meyakinkan bahwa mereka akan baik-baik saja. Devia menerima uluran tangan Dandi, mengenggamnya juga erat. Dandi yang melihat itu tersenyum dan mengajak Devia menaiki tangga, satu persatu. Hingga sampai pada pintu yang sudah berkarat, Dandi memegang knop pintu, tapi ia merasakan genggaman tangan Devia makin kuat ditangannya. Dandi menatap Devia, tersenyum lagi, dan meyakinkan lagi. Devia mengangguk. Dandi memutar knop itu.

Kreeek.Cittttt, bunyi suara pintu usang itu.

Devia diam di tempat. Memandang apa yang dilihatnya di depan mata. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, indah, keren, menakjubkan, apapun itu. Devia menatap Dandi, Dandi hanya tersenyum dan menggerakkan kepalanya ke depan, mengajak. Devia tersenyum dan mengangguk cepat dan berulang-ulang.

Dandi menuntun Devia untuk berbelok ke kiri, Devia mengerenyitkan dahinya, bertanya. Dandi hanya tersenyum. Devia hanya mengikuti, dia percaya Dandi pasti tidak aneh-aneh.

"Kamu kan masih pakai seragam sekolah, aku juga sama. Jadi biar lebih menjiwai, kamu ganti baju dulu. Udah disiapin kok, ada yang bantu juga nanti, Bye. Aku tunggu ditempat tadi dan kamu langsung duduk ya." ucap Dandi, halus. Bahkan Devia sampai merinding, jarang sekali Dandi bersikap seperti ini, bahkan tidak pernah mungkin. Devia tersenyum dan memasuki blok seperti tempat untuk ganti baju.

Disana sudah ada seorang wanita, tersenyum melihatnya.

"Mari saya bantu" ucap wanita itu ramah. Devia mengangguk.

~~~~~~~~~~~~

Jantung Devia berdebar, sangat. Dia sudah duduk di meja tadi sambil menatap kagum pemandangan sekitar. Dia mengenakan gaun, sangat pas dan indah ditubuhnya. Dengan pemandangan alam luas, seperti tidak ada orang di sini. Ia merasa menjadi tuan putri yang sedang menunggu pangerannya. Seperti dalam dongeng yang diceritakan Bundanya dulu. Devia senang.

"Seneng?"

Devia menoleh, tersenyum. Senyum paling manis yang dia miliki. Dia menatap orang tadi dengan pandangan yang sulit diartikan, memakai baju yang serasi dengannya jika dipadukan. Benar-benar seperti Cerita Dongeng.

Devia berdiri, mengangkat gaunnya agar memudahkannya jalan, dan berdiri dihadapan pria tadi. Tersenyum. Lalu memeluknya erat.

"Terima kasih, Dandi Esa Maulana" ucap Devia dengan mata yang berkaca-kaca di dalam dekapan Dandi. Ini seperti impiannya dulu, dilamar oleh pangeran hati dengan pemandangan, kostum, dan hati yang siap.

Mendengar kata Devia, Dandi tersenyum, memeluk erat gadis cantik yang sudah mencuri hatinya ini. Oh, bukan mungkin bukan mencuri, tapi memang hatinya lah yang telah jatuh pada seorang Devia Ayu Purnama. Gadis manis dengan sejuta tingkah dan ketidak pekaannya.

"Udah, jangan nangis. Masa  udah manis dan cantik nangis, nanti yang mau sama putri cantik ga ada loh." ucap Dandi melepaskan pelukannya dan menghapus air mata Devia.

"Iisshh" rungut Devia memukul pundak Dandi, pelan. Karena merusak suasana. Dandi tersenyum,

"Yaudah, duduk lagi sini" Dandi menarik bangku yang tadi di duduki Devia. Sedangkan dia duduk disebrangnya.

"Aku boleh ngomongkan?" tanya Dandi. Devia hanya mengangguk. "Tapi jangan dipotong ya, perkataanku" lanjutnya, Devia mengangguk lagi.

"Maaf untuk seminggu ini, aku ga kasih kamu kabar. Aku udah cuek. Aku coba ga peduli. Aku waktu itu masih bingung, gimana sama hubungan kita" jeda "dan sekarang aku udah pikirkan matang-matang. Aku suka, sayang, dan ga mau kehilangan kamu Dev. Kita, udah sama-sama kenal sama orang tua masing-masing, udah deket juga. Dan aku, dipercaya sama Ayah kamu, untuk jagain kamu. Sekarang, aku akan berusaha untuk jaga kamu. Jadi..." Jeda lagi. Dandi menuntun Devia berdiri dan berjalan ke samping meja yang tadi mereka duduki. Dandi berjongkok di hadapan Devia.

Tentang DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang