Memories 3

3K 270 2
                                    

Ubud's Tranquile Spot

Binar menatap keindahan kolam teratai di salah satu tempat wisata itu. Dewa menatap Binar mau mulai berbicara tapi selalu terhalang. Alhasil mulutnya hanya bisa buka tutup seperti ikan. Padahal susana yang tidak terlalu ramai, sejuk, cerah dan indah sangat mendukung.

Ketika ingin memulai pembicaraan. Dewa terkejut mendengar tawa Binar. "Kayaknya cukup deh pura-pura gak inget loe. Karena ingatan suatu hal yang sangat lucu bagi gue saat itu." Binar mengejek Dewa sambil menyeringai. Pria itu termenung mendapat tatapan geli dari Binar.

Flashback

Sepuluh tahun yang lalu...

Binar yang memakai dress terusan batik menangis di depan danau teratai kecil. Saat itu keluarga Binar, Dewa dan Anggi sedang berjalan ke tempat wisata. Berhubung seminggu lagi Binar akan pindah ke Jakarta.

Tak lama terdengar suara derap sepatu yang tergesa-gesa. Dewa muda sedang terengah sambil membungkuk dengan tangan memegang lututnya. "Ah... Hah... Ternyata kamu masih di sini. Ayo pulang sebentar lagi sudah sore, Binar."

Binar hanya terdiam masih setia menatap danau dengan nanar. Tangisnya tidak sebesar tadi. Anggi menyusul di belakang. Melihat rasa perhatian Dewa pada Binar terbesit rasa cemburu.

"Kalungku jatuh di sana," ucap lirih dan melirik sekilas pada Dewa. "Itu kalung dari ibuku." Binar mengelap ingusnya.

Tak perlu basa basi Dewa berdiri tegap dan melepas bajunya. "Kamu tenang saja, kalung itu akan aku dapatkan." Dewa mengusap pundak Binar dengan lembut dan senyum tulusnya. Dia sudah tahu bentuk kalungnya karena Binar selalu memamerkan padanya dulu.

Saat Dewa yang masih kurus dan legam itu hendak turun, Anggi menarik tangannya. "Wa, jangan kalau kamu sakit gimana? Walau kolamnya gak dalam bagaimana?!" gadis kecil itu terlihat khawatir. Dia mulai kesal dengan Binar yang tampak menyebalkan setelah ibunya meninggal.

Dewa melepas lembut tangan Anggi. "Sudah, gak apa-apa. Kasihan Binar."

Seiring angin berhembus, Dewa terjun ke danau teratai. Sampai kewalahan. Tak tahunya, Binar tertawa pelan dan makin lama makin kencang. Ternyata kalung perak berbebandul bunga matahari itu ada di tangannya.

Anggi sangat marah dan beradu mulut dengan Binar yang tampak tak berdosa. Dewa naik kepermukaan dengan geli dan gatal tak karuan karena dikencingi katak. Bahkan salah satunya ada yang tersesat di celana pendek Dewa yang sempit.

Flashback off

.................................

Mereka sudah berada si teras sawah Tegallalang. Salah satu destinasi wisata yang tak jarang dikunjungi turis asing. Dengan pemandangan sawah hijau membentang yang bertingkat memang pantas menjadi sumber ketenangan. Dan bisa menjadi sumber foto yang bagus.

Dewa dan Binar sudah duduk di salah satu gazebo. Sudah sampai sini Binar masih tertawa. "Lebih enak lihat kamu ketawa seperti orang gila daripada diam. Sudah selesai belum?"

Binar langsung berhenti tertawa. "Maafin gue ya dulu. Hahaha."

Dewa tersenyum lebar. "No problem, I'm usually until now. Sometimes, we must be happy if you sad."

Binar menatap lama pada Dewa dan bertopang dagu. "Kamu bahagia banget ya, kutu."

"Kamu belum bahagia sampai sekarang?" tanya Dewa dengan raut serius seolah tatapannya mampu menenggelamkan Binar ke jernih matanya. Tak ingin terbuai Binar memutus atmosfer aneh ini. "Eh, kita ke tempat lain lagi yuk. Gue masih belum puas. Pokoknya memory kamera dan gadget harus penuh. Oke!"

Binar berdiri dan berjalan duluan dengan agak canggung. Dewa menyusul kemudian dengan senyum simpul.

....................

Bertemu kembali dengan Dewa terbesit rasa iri juga. Mereka berdua termasuk dalam kalangan menengah ke atas di desanya. Apalagi leluhur Dewa berkasta Brahmana. Ninik Harum masih berkeyakinan Hindu.

Biang Sita, sebenarnya bukan ibu kandung Dewa. Melainkan sepupu dari mendiang sang ibu yang meninggal saat peristiwa bom Bali dua. Tapi, sampai sekarang Dewa bahagia. Ya tentu orangtua sahabatnya itu menikah lagi beberapa tahun setelah ibu Dewa dimakamkan. 
Ninik Harum juga dulu menjadi salah satu pemimpin doa lima agama saat sang teroris di hukum mati. Setelah Binar dipikir-pikir. Mungkin karena ketegaran dan ikhlas kunci bahagia mereka.

Ternyata perjalanan ini sedikit memberinya pelajaran.

.............................

Beberapa hari kemudian, Binar dan Dewa yang menjadi pemandu setianya, pergi ke Denpasar. Sahabatnya itu juga ingin mengunjungi monumen nama-nama korban Bom Bali.

Rasa bahagia itu harus pupus. Binar kembali bersikap angkuh dan dingin karena Anggi yang ikut serta. Alasannya mau beli kain tari baru untuk muridnya. Diapun berkutat dengan tablet untuk memantau usahanya.

Daripada berisik mendengar obrolan tak penting mereka. Dia memilih tidur di kursi belakang mobil memakai kacamata hitamnya.

............................

"Akhirnya aku nemuin kamu, sayang." Terdengar suara berat seorang pria yang sangat dia kenal. Binar yang sedang memisahkan diri dengan Dewa dan Anggi menegang.

"Lepasin gue," ucap Binar dengan penuh penekanan. Tapi Robby tetap memeluknya erat. Dia terlihat sedih.

"Adik kamu sungguh polos dan baik. Hanya dengan beberapa godaan dia luluh juga. Dia rutin kasih tahu keberadaan kamu. Yang pasti dari papa kamu." Robby melepas pelukannya. Tapi tak melepas tangan Binar. Padahal gadis itu sudah muak.

Rasa cinta yang mungkin masih ada bersatu dengan kecewa dan sedih. Binar berteriak seolah ada orang jahat yang ingin menjahatinya. Cara itu ampuh untuk mengusir Robby yang masih tetap ingin mengejarnya.

...............................

Dewa menemaninya ke berbagai tempat indah. Binar terlihat lebih ceria lagi karena tempat penuh kenangan ini ditambah sahabat lamanya sekaligus cinta pertamanya. Walau Robby juga selalu diam-diam mengikuti dan mendekati dia tanpa sepengetahuan Dewa.

Hingga satu pertanyaan dari Dewa seolah meruntuhkan dunianya. "Sebentar lagi aku mau tunangan dengan Anggi."

Ingin mencari kebohongan tapi tak menemukannya pada pandangan Dewa. Mata yang sempat menenggelamkannya sekarang justru menusuknya. Ini adalah kejutan kedua setelah dia mendengar penjelasan Biang Sita tentang Paula yang tak pernah merebut ayahnya.

Binar hanya mampu mengulurkan tangannya menampikan senyum tegar. "Selamat." Dengan nada suara yang sungguh dia rancang dengan sebaik mungkin. Baru Dewa akan berucap. Binar sudah pergi.

Senja di pantai Kuta menjadi saksi Dewa yang menendang pasir dengan kalap. Terbayang lagi di ingatan saat dulu dirinya yang masih kurus mengejar mobil Binar yang akan pindah ke Jakarta. Demi sebuah cincin plastik hadiah dalam snack. Hal itu yang dulu membuat Binar menangis karena setiap membeli tak pernah dapat.

Hari itu perasaan yang lalu dan sekarang bercampur aduk.

Tbc

Kumpulan Kisah PendekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang