[14] Terkejoed

497 123 3
                                    

Akun Instagram tukanghack memiliki prinsip: retas dulu, bayar kemudian. Kurang lebih, sistem akun tersebut akan meretas sosial media target terlebih dahulu, baru setelah itu klien harus men-transfer sejumlah uang yang telah disepakati. Setelah kedua hal tersebut terpenuhi, admin segera memberikan akun target yang berhasil dibobol kepada klien.

Harusnya, seperti itu. Praktis sekali, bukan?

Ravien tinggal membayar dana yang disebut dan  ... yash! Ia dapatkan informasi pribadi seputar Jeng Minceun. Tetapi realitnya, tidak semudah yang ia harapkan.

Sore tadi  tiga jam setelah kesepakatan akun tukanghack dengan Ravien dimulai, jasa peretas tersebut tidak mampu membobol akun lambe smantara karena 'security' yang dilakukan olen akun tersebut dibilang cukup berat.

Ravien mendengus. Menduga kalau admin tukanghack saja yang kurang profesional! Masa iya dirinya harus menyewa hacker kelas atas supaya membobol akun tersebut!?

Tidak. Bukan pilihan yang tepat.

Sambil mengetuk-ketukan jemari di atas meja belajar, Ravien memindai kalender duduk yang tergeletak tidak jauh dari sana. Terdapat salah satu tanggal merah di akhir bulan yang diberi spidol warna biru.

Ngumpulin kerkel elektrolistis

Begitulah kalimat yang terpampang. Tugas elektrolistisnya dengan Eflata memang belum dikerjakan sama sekali. Kata gadis berkepang dua itu, ia bisa mengerjakan sendiri. Tanpa meminta bantuan Ravien. Jadi, Ravien tidak perlu repot-repot membantu.

Tapi....

Tunggu sebentar!

Bukankah ini peluang emas jika ia datang kerja kelompok bersama Eflata? Dengan berdua saja bersama gadis culun tersebut, ia akan mengetahui lebih banyak sisi gelapnya. Bahkan, lebih ekstrimnya lagi, ia bisa masuk ke kamar Eflata untuk mengorek barang bukti.

Seolah mendapat ilham membongkar kedok Jeng Minceun sialan yang telah menyebar foto ciumannya dengan Monica, Ravien menyambar kunci mobilnya. Beranjak dari kamar cepat, tapi, sebelum itu sempat mencari tahu alamat Eflata melalui direktori online sekolah.

Sesaat setelah ia dapatkan, Ravien segera menuju TKP. Ia telah berikrar pada dirinya sendiri, di Minggu pagi ini, Ravien harus membuktikan jika Eflata adalah Jeng Minceun. Harus.

***

Gedoran pintu rumahnya yang semakin mengeras, membuat cewek berambut acak-acakan itu mengerang berat. Ia menggaet bantal, menutup indra pendengarannya rapat-rapat, berharap suara tamu yang datang tidak tahu waktu---begitu pikir Eflata---akan menyingkir jika tidak dibukakan terlalu.

Namun sayangnya, hal itu tidak berhasil. Si Tamu bersikukuh menggedor pintunya dengan sahutan namanya berkali-kali.

Oke, Eflata menyerah! Ia tidak akan bisa tidur dengan nyenyak kalau suara berisik ini masih saja meyeruak. Dengan berat hati, cewek yang memiliki bekas liur di piyama merah jambu itu mengusap wajah bantalnya, mengambil kucir rambut lalu merapikan rambutnya yang dibiarkan tergerai mirip sarang tawon.

Sambil mengumpat mengeluarkan nama-nama hewam di kebun binatang, serta sesekali menguap lebar, ia berjalan melewati ruang tamu kontrakannya yang sempit. Sejurus kemudian membukakan pintu reyot dengan sekali sentakan.

"EH?" pekik tamu yang berkunjung.

Karena kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul, Eflata hanya menguap lebar-lebar sambil mengangguk-angguk tidak jelas.

Kekagetan Ravien berada pada titik maksimal tatkala menyadari perubahan penampilan Eflata ketika di sekolah dan mendekam di rumah. Cewek culun itu benar-benar Eflata Rania yang ia kenal!

Tidak ada kacamata silinder yang biasa bertengger di hidung mancungna---hal itu membuat Ravien menyadari betapa indah iris mata coklat Eflata Rania Alfy.

Tidak ada sorot mata polos dan culun.

Tidak ada raut ketakutan seperti yang ia tunjukan ketika berhadapan denga kasta borjuis di sekolah.

Tidak ada pula kunciran kepang dua yang sangat menggelikan itu.

Saat ini ... Eflata terlihat lebih ... beringas?

Dan sialnya lagi, Ravien harus mengui, err ... Eflata jauh lebih cantik tanpa kacamata dan rambung kepang dua.

Saat kesadaran Eflata telah kembali normal, gadis berpakaian piyama itu baru menyadari siapa yang kini berdiri di hadapannya.

"KYAAAA!" Ia mundur selangkah. Hendak menutup pintu, akan tetapi, terhalang dengan gerakan cepat Ravien yang mencegahnya.

"Tunggu, Eflata."

"Mau apa lagi?" sahut Eflata sambil menyembunyikan separuh wajahnya di pintu.

"Kita 'kan sekelompok elektrolitis. Lo inget? Masa tugas kemarin lo ngerjain sendiri sekarang nggak beda jauh?"

"Tapi, kenapa harus sepagi ini?" Eflata masih tampak syok. Gadis itu mengucek indra pengelihatannya berkali-kali, meyakinkan diri jika sosok di depannya itu memang Ravien.

Refleks, raut wajah Ravien berubah kecut. "Udah pagi menurut lo!? Sekarang udah jam 12, Tha!"

Eflata mengangguk-angguk. Baginya, hari Minggu jam 12 siang termasuk masih pagi. Biasanya, gadis itu akan terbangun jam tiga sore ketika weekend.

"Udah-udah, yuk kita kerkel." Ravien menerobos masuk. Mendorong pintu rumah Eflata dengan sekali sentakan, lalu dengan tidak tahu dirinya tanpa dipersilahkan duduk di atas sofa reyot rumah Eflata.

Eflata mendengus. Tangannya gatal ingin mendamprat cowok yang satu ini dengan vas bunga di dekat meja.

Sabar Eflata, sabar.

Ia berusaha mendoktrin dirinya sendiri. Ia tidak boleh terlihat mencurigakan. Mau bagaimana pun, Ravien ini dari kalangan borjuis. Belum lagi keganjilan, dari sikap cowok tersebut. Jarang sekali ada kasus kasta borjuis mau bertandang ke gubuk reyot kasta missquen. Pasti ada sesuatu. Maka, Eflata lantas pamit undur diri untuk menjadi Eflata di sekolah.

"Eh, bentar ya." Ia setidaknya butuh dua kepangan dan kacamata bulat silindernya.

Ravien mengangguk. Mencurigakan.

Apa selama ini Eflata hanya berkamuflase?

Saat berada di rumah, itulah Eflata yang sebenarnya.

***

Ravien mengetuk-ketukan kakinya di lantai marmer rumah Eflata, penunggu sang empunya rumah selesai beres-beres dan berdandan. Selagi menunggu Eflata, sorot matanya menelisik sepenjuru ruangan.

Rumah ini tidak terlalu luas. Cenderung sempit dengan perabotan yang terlampau banyak. Aromanya lembap, khas bangunan lama. Banyak sisi temboknya yang terkelupas karena hujan. Ravien bergidik, Eflata benar-benar tinggal sendirian?

Seketika, ingatan tentang grup chat kelas yang membicarakan keadaan Eflata berputar di benaknya. Benar saja ia tinggal seorang diri. Saat matanya tengah berpendar mencari sesuatu yang membantu penyelidikan, Ravien menangkap sebingkai foto yang diletakan di atas nakas ruang tamu. Ravien mendekat, menggaet foto tersebut. Di sana tampak dua orang gadis yang saling berpelukan. Satunya memakai seragam SMA Nusantara, sisanya seragam putih biru. Masih SMP. Ketika Ravien teliti siapa dua orang tersebut, ingatannya langsung terlempar pada keadaan Eflata tadi saat membukakan pintu.

bersambung


Investigasi Jeng MinceunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang