[15] Terkenang

503 133 2
                                    

Ravien mengetuk-ketuk kakinya di lantai marmer rumah Eflata, penunggu sang empunya rumah selesai beres-beres dan berdandan. Selagi menunggu Eflata, sorot matanya menelisik sepenjuru ruangan.

Rumah ini tidak terlalu luas. Cenderung sempit dengan perabotan yang terlampau banyak. Aromanya lembap, khas bangunan lama. Banyak sisi temboknya yang terkelupas karena hujan. Ravien bergidik, Eflata benar-benar tinggal sendirian?

Seketika, ingatan tentang grup chat kelas yang membicarakan keadaan keluarga Eflata berputar di benaknya. Benar saja ia tinggal seorang diri. Saat matanya tengah berpendar mencari sesuatu yang membantu penyelidikan, Ravien menangkap sebingkai foto yang diletakan di atas nakas ruang tamu. Ravien mendekat, menggaet foto tersebut. Di sana tampak dua orang gadis yang saling berpelukan. Satunya memakai seragam SMA Nusantara, sisanya seragam putih biru. Ketika Ravien teliti siapa dua orang tersebut, ingatannya langsung terlempar pada keadaan Eflata tadi saat membukakan pintu tadi.

Ah, tidak salah lagi!

Ini pasti Eflata saat SMP, ciri-cirinya begitu mirip dengan sosok Eflata yang barusan membukakannya pintu. Seorang gadis berseragam putih biru kumal, berambut lurus terurai menyentuh punggung, mata bulat jernih tanpa bingkai kacamata, tidak ada behel gigi dan rambut kepang dua.

"Beda banget, sih, sama Eflata yang sekarang. Apa yang ngebuat dia mengubah penampilan seratus delapan puluh derajat, ya?" celetuk Ravien sambil menatap lamat-lamat penampilan Eflata semasa SMP dan yang barusan membukakannya pintu.

"Atau jangan-jangan ... dia fake nerd?"

"Terus, siapa yang foto di sebelah Eflata?"

Beribu tanda tanya menyergap batinnya. Cowok itu seakan terjebak dalam labirin yang diciptakan Eflata. Ravien tidak bisa keluar sebelum memecahkan semua teka-teki di dalamnya. Nyatanya, membongkar identitas Jeng Minceun tidak semudah membalikan telapak tangan.

"Ravien, kamu ngapain?" Kedatangan Eflata yang terlalu tiba-tiba di sampingnya sontak membuat Ravien berjenggit. Cowok itu mundur beberapa langkah sambil mengembalikan pigura tersebut ke meja ruang tamu.

"Itu lo?" Alih-alih menjawab pertanyaan Eflata, Ravien justru balik bertanya.

Jika Ravien mampu membaca raut wajah seseorang, bisa dipastikan ia dapat melihat perubahan wajah dari gadis yang ada di hadapannya sekarang.

"Iya," jawab Eflata singkat menyembunyikan degup jantungnya yang berpacu dua kali lebih cepat. Tidak! Tidak boleh! Ia tidak boleh keliatan gugup! Penyamarannya bisa gagal kalau hal tersebut sampai terjadi.

Ravien merupakan tipikal seseorang yang tidak bisa dihantui rasa penasaran. Maka, bertanya langsung pada Eflata adalah jawabannya. "Terus, yang ada di sebelah lo?"

"Tetangga gue."

"Hah? Kalian sedeket itu?"

Lagi, Eflata menjawab singkat. Menyembunyikan perasaan gugupnya. "Iya. Aku anggep dia kakak sendiri karena aku juga enggak punya kakak perempuan."

***

Eflata Rania Alfy. Siapa sih yang tidak mengetahui ketua organisasi Pengabdian Masyarakat SMP Bimasakti? Gadis manis bermata jernih yang puluhan kali mengikuti kegiatan kemanusian dan freelancer korban bencana alam.

Gadis dengan jiwa sosial yang patut diacungi jempol itu merupakan sosok yang cukup populer di sana. Eflata merupakan seseorang yang sangat benci tindakan kekerasan, amoral, pelanggaran hak asasi, dan penindasan yang sering dilakukan oleh siswa-siswi di Ibukota. Bagi Eflata, mereka itu tidak lebih sampah masyarakat yang sok jagoan. Ia tidak akan tinggal diam menyaksikan perilaku tersebut.

Alasan Eflata bergabung dengan organisasi Pengabdian Masyarakat simpel: ia tumbuh dan lahir dalam keluarga amoral yang seringkali melanggar norma-normal di masyarakat. Keluarganya dianggap 'menyimpang' oleh kebanyakan orang. Maka, satu-satunya jalan yang harus Eflata lakukan adalah: menghentikan tindakan-tindakan tersebut.

Sudah cukup dirinya saja yang terlahir di tengah keluarga dan lingkungan yang buruk. Anak-anak atau masyarakat yang lain jangan.

Jadi, berbekal alasan dan segudang rasa kemanusiaannya, Eflara bergabung dengan organisasi Pengabdian Masyarakat SMP Bimasakti.

"Ta, nanti kalo SMA mau lanjut ke SMA mana?" Saat itu, Nadia bertanya iseng kepadanya. Mereka berdua tengah menghabiskan waktu di rumah Nadia yang tepat bersebelahan dengan rumah Eflafa.

Mengedikan bahu singkat, Eflata menjawab gamblang. "Masih belom ngerti, Kak. Kayaknya, sih, cari SMA-SMA swasta yang bagus dan ada beasiswa gitu."

Sebuah bola lampu menyembul terang dari atas kepala Nadia. "Kenapa enggak lanjut di SMA Nusantara aja? Di SMANTARA dijamin bagus banget, deh, Ta, kualitasya baik di bidang akademik atau non-akademik. Sekolah favorit, loh. Alumninya juga banyak yang lolos SNMPTN."

Sontak, mata Eflata berbinar cerah. Ada beasiswa. Ia harus mengejar hal tersebut untuk melanjutkan pendidikan. "Serius, Kak?"

Nadia mengangguk mantap. "Iya. Kayaknya, sekolah itu bakal cocok banget sama kamu yang berjiwa sosial tinggi."

"Emang kenapa?"

"Di SMA Nusantara masih ada senioritas berdalih tradisi, Ta. Enggak cuma itu, di sana juga ada pembagian kasta yang nggak tertulis. Kasta atas, tuh, yang biasanya sering banget bully kasta bawah. Ngeselin, kan."

Mendengar cerita Nadia, emosi Eflata meluap-luap.

"Nah, kalo lo masuk SMANTARA, nanti kamu harus nerusin misi Kakak."

"Misi apa?"

"Investigasi Jeng Minceun."

***

Investigasi Jeng MinceunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang