[11] Terkejoed

519 133 6
                                    

"Diminun dulu, Dek." Seorang wanita paruh baya dengan serbet di atas daster menyodorkan segelas air sirup beserta beberapa kudapan ringan di atas nampan. Beliau sedikit merekuh, sejurus kemudian menata hidangan di atas meja ruang tamu.

Eflata mengangguk singkat, demi kesopanan. Sedangkan, wanita paruh baya itu balas tersenyum tak kalah lebar. Setelah pamit untuk undur diri, perhatian Eflata kembali tercurahkan kepada gadis kecil berkepang satu di sampingnya. Gadis ini, jika bukan karena pundi-pundi rupiah, Eflata pasti akan mendampratnya sekarang juga!

"Ih, Kak, susah banget, sih!" Gadis kelas lima SD yang Eflata ketahui bernama Sahila itu membanting pensilnya gusar, tangannya mengacak-acak rambutanya frustasi. Sementara kertas soal di depannya telah lecek tanpa terjawab satu soal pun.

"Kenapa juga sih, Kak, kita musti ngitung jari-jari di roda sepeda Anna!? Kenapa nggak Anna aja yang suruh ngitung! Ngerepotin banget, udah gede juga," keluh Sahila berapi. "Lagian, gabut banget ngitungin jari-jari roda di sepeda, lebih enak juga ngitungin duit!"

Eflata menghembuskan napas panjang. Berusaha sabar. Anak yang satu ini, ya, ada-ada saja keluhannya sedari tadi. Kalau begini terus, bagaimana mau belajar. Selain suka mengeluh dan banyak omong, Sahila juga cerewet. Tidak seperti murid-muridnya yang lain. Hal itu membuat Eflata naik pitam namun selalu ditahannya.

"KAKAKK, INI KENAPA BAK MANDI BOCOR DIITUNG VOLUME AIR YANG KELUARR?" Sahila tiba-tiba memekik.

"Nah, loh! Makin nggak waras. Masa bak mandi bocor kok diitung volume air yang keluar bukannya ditembel!? Ya keburu abis airnya, Bambang. Gimana Pak Andi mau mandi kalo air di bak mandinya abis gegara bocor. Ogeb, ah."

Oke sudah cukup. Kesabarannya habis.

Satu kali tarikan napas lagi, ia pun angkat bicara.

"Gini ya, Sahila, terkadang---"

"ASSALAMUALAIKUM SEMUANYA" sela seseorang di ambang pintu. Mulutnya benar-benar mirip toa, suara Eflata yang kecil jadi tertindih suara menggelegar tersebut. Eflata sejenak memijat pelipisnya yang nyeri.

"Abang, jangan teriak-teriak gitu, ih, adek kamu lagi belajar, tuh," sahut suara wanita di dalam ruangan

Mendengar suara salam yang sudah tidak asing lagi merayap di indra pendengarannya, Eflata seketika mendongak. Mengarahkan atensi di ambang pintu yang menampilkan sesosok pria berseragam putih abu-abu berbalut rompi kotak-kotak.

Saat itu juga, persendiannya menegang. Matanya terbeliak lebar dengan kedua alis yang saling bertaut. Sosok yang bergeming di ambang pintu juga tak kalah terkejut. Ekspresinya mencerminkan syok yang luar biasa.

"LO!?" pekiknya terkesiap.

Tiba-tiba, gadis kecil di sampingnya berteriak akrab kepada sosok cowok tersebut.

"Bang Ravien, pinjem laptopnya dong buat nonton Hyujung."

"Bang Ravien?" Eflata memandang Ravien dan Sahila secara bergantian. "Kalian adik-kakak?"

Sahila mengangguk singkat, lalu menyimpan alat tulis sambil merapikan buku. "Udahan ya, Kak, belajarnya. Sahila mau streaming dulu."

Kini, mulut Eflata benar-benar menganga.

Kenapa di antara 17,508 pulau di Indonesia, ia harus bertemu Ravien, lagi!? Tidak puaskah cowok itu mengusik kehidupannya setelah insiden tabrakan di sekolah?

Karena masih dikuasi oleh perasaan terheran, Eflata memilih bungkam sembari membuang pandangan. Ia memainkan rok abu-abunya di bawah meja ruang tamu, tidak memiliki keberanian sama sekali untuk beradu tatap dengan Ravien.

Berbeda sikap Eflata, berbeda pula sikap Ravien. Cowok beriris coklat madu itu mendekat ke kursi ruang tamu sesaat setelah mengangguk singkat pada Sahila tanda mengiyakan.

"Eflata, gue nggak nyangka guru privat baru yang dimaksud Mama itu elo," seloroh Ravien enteng, yang dibalas Eflata dengan rutukan sebal.

"Sahila emang gitu. Pinternya kebangeten."

Eflata meneguk ludah. Merasa janggal dengan perubahan sikap Ravien. Ravien menampakan seringai jahil. Ekspresi Eflata yang mati kutu semakin membuatnya curiga tidak kepalang. Lagi, dia menggoda Eflata terlebih dahulu sebelum mengutarakan tujuan utamanya.

"Maklum ya, Ta." Ravien melahap satu biskuit kelapa yang disediakan maminya untuk Eflata. "By the way, kita sekelompok lagi di tugas Kimia."

Sambil mengumpulkan keberanian dan menghela napas panjang, Shafiya akhirnya mendongak. Membalas tepat di manik mata Ravien yang coklat madu. Ia tidak boleh terlihat gugup. Itu akan semakin membuat Ravien senang.

"Iya," tukas Eflata, berusaha datar. "Masalah laporan elektrolistis, biar gue aja yang ngerjain." Sungguh, ia sebenarnya juga tidak ikhlas jika lagi-lagi, seorang diri yang mengerjakan tugas kelompok tersebut. Namun, kalau bukan karena kecurigaan Ravien, Eflata tidak akan mau.

Di luar dugaan, respon Ravien justru negatif. "Nggak usah, Ta. Biar gue bantu. 'Kan kita team," himbau cowok itu dengan senyum lebar. Tapi, palsu.

Eflata mendadak gelagapan sendiri. "Err ... serius nggak papa?"

"Iya."

Tidak ada angin tidak ada hujan kenapa kasta borju yang satu ini mau-mau saja?

Pasti ada maksud tertentu.

~

Sepulangnya Eflata, Ravien bisa leluasa menghabiskan waktu stalking di pendopo halaman belakang rumahnya. Pertama-tama, hal yang ia lakukan adalah mengecek akun lambe smantara melalui akun Instagram second-nya. Belum apa-apa, kiriman di postingan terbaru akun tersebut memuat Raja, anak kelas XII MIPA 5 dari kasta holkay yang celingak-celinguk hendak mencuri bala-bala Bu Sum di kantin sekolah, serta terdapat juga postingan Resha---kasta borju---dengan wajah derp tengah mencabuti bulu di bagian lipatan---ketek maksudnya---dengan menggunakam salah satu produk penghilang bulu.

Ravien terpingkal sesaat sebelum ingat tujuan utamannya membuka akun ini. Dengan cepat, ia pun mengirim dirrect message pada Jeng Minceun.

@tokdalangkw Jeng Minceun :( kenal Eflata nggak?

Itu masih rencana satu. Ravien menyimpan rencana-rencana berikutnya.

Investigasi Jeng MinceunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang