[17] Terniat

540 142 4
                                    

"Hai, Jeng Minceun."

Seketika, tubuh Eflata menegang. Jantungnya memompa puluhan kali lebih cepat, keringat dingin sebesar biji jagung turut hadir memenuhi pelipisnya.

"Itu lo, kan?" Ravien tersenyum sinis. Cowok itu menepuk bahu Eflata yang tengah membelakanginya.

Jangankan untuk menoleh, meneguk salivanya saja terasa berat bagi Eflata. Ia berusaha tidak panik, tetapi degup jantungnya tidak bisa diajak berkompromi. Ia tertangkap basah sedang membidik target. Lebih parahnya lagi, yang memergoki tindakannya saat ini adalah Ravien, si anak baru yang selalu ingin tahu.

"Gue bukan kayak anak Smantara yang lain, Ta." Ravien mulai bermonolog.

"Anak-anak itu gampang lo kibulin dengan dandan cupu kayak gini. Tapi, gue nggak, ya, Eflata Rania Alfy alias Jeng Minceun."

Sontak, kamera ponsel yang sedang dipegang Eflata terjatuh. Mata gadis itu diliputi selaput kristal bening. Bodoh. Sungguh! Bagaimana kata Kak Nadia jika ia tertangkap basah? Bagaimana nasib akun lambe Smantara, reputasinya di SMA Nusantara? Misi-misinya memberantas segala tindakan amoral yang dilakukan siswa-siswi SMA ini?

Karena bunyi kamera ponsel yang sedang terjatuh lumayan keras, hal tersebut memancing lima orang yang berada di sana. Satu di antara mereka lantas berseru, "Bentar, itu suara apa? Jangan-jangan Minceun?"

Saat ini, otak Eflata tidak bisa mencerna informasi dengan cepat. Ibarat sistem di internet, ia sedang eror 411. Kekalutan akan terbongkarnya akun lambe Smantara membuatnya sangat panik dan tanpa sengaja menjatuhkan ponselnya sendiri.

Ravien yang segera sadar dari situasi lantas menarik tangan Eflata pergi menjauh sesaat setelah menggaet ponsel cewek itu yang terjatuh.

"Cari mati aja, sih!" rutuk Ravien kesal ketika membawa Eflata menjauh dari lokasi kejadian.

Lain Ravien, lain juga Eflata. Cewek berkacamata silinder itu hanya mampu mematung dan pasrah terhadap keadaan ketika Ravien membawanya ke koridor laboratorium yang jarang dikunjungi siswa lain.

Ketika sampai di lokasi tujuan, Ravien melepaskan tangan Eflata. "Bodoh," geramnya sebal. "Lo bisa tertangkap basah kalo cuma diem bego di sana. Mau kedok Jeng Minceun lo ketahuan?"

Bibir Eflata terasa amat berat untuk mengucapkan barang sekata dua kata. Bibir itu seolah terkunci rapat dan tidak membiarkannya membalas perkataan Ravien. Kata-kata yang ia persiapkan seakan hanya mampu di pangkal lidah.

"Yeah untungnya, gue menyelamatkan nasib lo dan akun lambe Smantara," gerutu Ravien sekali lagi.

Tidak mendapat tanggapan apa pun dari lawan bicaranya, Ravien tetap bermonolog. "Lo tahu kan Eflata, tidak ada yang gratis di dunia ini? Termasuk, tindakan gue barusan."

Seketika, Eflara mendongak. Pandangan matanya yang buram karena tertutup air mata seolah mengatakan tajam pada Ravien lo-jangan-bongkar-rahasia-gue.

"Tenang-tenang, gue nggak akan bongkar penemuan hebat ini." Ravien berdecak kagum. "Woa! Bisa lo bayangkan betapa hebohnya saentro SMA Nusantara ketika tahu siapa admin di balik akun tersebut? Eflata Rania Alfy, cuy. Cewek cupu yang selalu ditindas."

Susah payah, Eflata mengeluarkan sebuah kalimat meski suaranya parau. "Gue mau kasih lo duit berapa supaya tetep jaga rahasia?"

Tawa Ravien kontan menyeruak. "Duit? Bukannya sombong, orang tua gue udah tajir, kali." Eflata memutar bola mata mendengar keangkuhan Ravien.

"Bayaran gue simpel banget kok," ujar Ravien setelah menimbang-nimbang beberapa saat. "Lo hanya perlu merekrut gue jadi bagian Investigasi Jeng Minceun."

Rahang Eflata terasa jatuh dengan kedua mata terbelalak tatkala mendengar perkataan Ravien.

"Ini udah win-win solution. Lo rekrut gue, nggak akan gue bocorin rahasianya. Begitu juga gue yang menguntungkan lo karena bisa membantu."

Eflata menghela napas berat. Semoga saja ini hanya mimpi buruk....

***

"Jadi?" Ravien memecah keheningan di ruang tamu rumah Eflata yang sepi.

Gadis berkacamata tersebut meneguk ludahnya. Tegang. Sudah tidak ada pilihan. Ceritakan atau bocor semua rahasia Investigasi Jeng Minceun.

"Itu bukan gue." Yeah, saat seperti ini, Eflata harus membuka diri. Tak ada lagi kamuflase. Inilah Eflata Rania Alfy yang sebenarnya.

Ravien berusaha menyembunyikan keterkejutaan. Namun, di sisi hatinya yang terdalam, ia menyukai Eflata yang sebenarnya. Tidak ada raut kepalsuan, ekspresi takut yang dibuat-buat, kepang dua, atau kacamata silinder tebal yang sangat menganggu keindahan mata teduhnya. Tanpa sadar, ia tersenyum kecil.

"Maksudnya?"

"Yang punya ide bikin itu bukan gue."

"Lantas?" Alis Ravien refleks terangkat.

Eflata bangkit dari sofa, beranjak menuju bingkai foto di lemari dekat ruang tamu. "Itu Kak Nadia. Jeng Minceun pertama."

"Terus?"

"Lulus SMP, gue bingung mau lanjut sekolah ke mana. Saat itu, gue cari sekolah yang akreditas bagus dan nerima beasiswa akademik." Ingatan Eflata dilempar jauh pada masa-masa tersebut. Menciptakan kilas balik setiap kejadian di otaknya. "Lalu, gue punya tetangga. Namanya Nadia. Dia sekarang alumni SMA Nusantara. Dia yang nawarin gue untuk daftar ke SMA Nusantara setela jelasin panjang lebar apa yang bakal gue temui saat menjadi murid di sana kelak."

Ravien menunggu Eflata menyelesaikan kalimatnya dengan raut penasaran.

"Yeah seperti yang lo tahu ... gimana bobroknya moral anak-anak SMA Nusantara dari dalam. Hal itu yang menjadi pendorong utama gue mau bersekolah di situ."

"Plus berkamuflase seperti nerd?"

"Seratus!" Eflata mengambil kacang goreng dari toples camilan di meja ruang tamu. Meraupnya segenggam, lalu mulai melanjutkan penjelasannya meski antipati kepada Ravien. "Gue enek liat anak SMA Nusantara sok berkuasa dan songgong abis!"

Sambil mencibir setengah hati, Ravien ikut meraih toples isi kacang goreng. "Ih, gue nggak termasuk ya."

Tawa Eflata meledak. Sinis. "Ha-ha-ha lawakannya lucu. Terus, perlakuan lo ketika di sekolah itu apa, Bambang."

Sekarang, ganti Ravien yang menatap sinis. "Gue tuh juga kamuflase!"

Serta merta, gerakan peristaltik Eflata terhenti. "Kamuflase? Jadi, selama ini lo sok-sokan jadi kasta borju padahal aslinya missquen?"

"Bukan, gue emang holkay," sela Ravien mengklarifikasi yang disambut dengan erangan Eflata. "Gue sebenernya nggak sebobrok anak-anak kasta borju. Hanya saja, gue berusaha mengikuti gaya hidup mereka. Karena lo tau kenapa? Supaya gue bisa masuk BK. Dengan begitu, nyokap bakal malu."

"Lah?"

"Serius. Nyokap gue tuh gengsinya tinggi banget. Apalagi kalo udah menyangkut sama temen-temen arisannya. Bagi dia, kenakalan gue dan temen-temen di sekolah lama bisa membuat prestice-nya terjun payung. Daripada gosip itu terendus sama temen arisannya, nyokap pindahin gue ke SMA Nusantara dengan harapan akan menemukan pergaulan yang lebih baik. Nyatanya, di sini lebih bobrok."

Ditatapannya Ravien sebentar lalu berbisik lirih "Apa lo siap berkomitmen untuk bergabung di Investigasi Jeng Minceun?" Kini, suara Eflata sarat ketegasan. Sorot matanya memancarkan keseriusan yang mampu diindra.

"Iya. Dengan satu syarat, jangan bocorin aib nista gue di akun lambe-lambe. Dengan begitu, semua berjalan lancar."

"Bentar, gue telpon pencetus Investigasi Jeng Minceun."

bersambung

Investigasi Jeng MinceunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang