[4] Tersongong

653 165 18
                                    

Konsekuensi utama yang harus dihadapi kasta missquen ketika bersekolah di SMA Nusantara adalah, dikucilkan oleh teman sekelas dan satu sekolah.

Tetapi, Eflata memilih masa bodoh. Ia sudah terbiasa sejak kelas X. Seakan, telinganya terlalu kebal mendengar hinaan kasta borju. Baru satu langkah kakinya menapak di lantai mengkilat ruang XI IPA 3, tiba-tiba saja dua murid dari kasta borju menghampirinya.

"Heh, Cupu! Mana PR gue?" tagihnya galak. Ia mulai menarik tali tas ransel Eflata secara paksa. Memuntahkan seluruh sinya di lantai. Ketika sorot matanya mendapati buku tulis bersampul coklat, cewek itu segera memungut.

"Udah kok, Ren," seloroh Eflata dengan suara bergetar yang dibuat-buat.

Hah! Eflata ingin sekali melawan. Paling tidak, menjabak rambut si Mak Lampir---jika tidak ingat misinya selama ini.

Renatta memicingkan mata, membolak-balik buku PR-nya dengan cepat. Senyuman lebar mengembang tatkala melihat semua PR Matematiknya terisi sempurna.

"WOI, ADA BU NURLI," teriak Berlin, sang ketua kelas yang sok berkuasa seraya berlari memasuki kelas.

Suasana XI IPA 3 yang semula riuh redam dipenuhi celotehan para penghuninya, sontak berubah hening saat terdengar gesekan sol sepatu dan high heels tujuh senti saling beradu. Satu hal yang dapat dimengerti para siswa jika bunyi gesekan sepatu itu terdengar: Bu Nurli sudah semakin dekat.

Sebelum Berlin melangkah ke bangkunya di sayap timur, sepatu kets putih gadis itu dengan sengaja menendang punggung Eflata yang tengah berjongkok memungut buku pelajaran akibat ulah Renatta.

"Minggir lo, Cupu!" bentaknya, dingin.

Eflata meringis, menyaksikan bekas kotor sepatu kets Berlin yang menjejaki kemeja putih berompinya. Dengan cepat, gadis berkacamata itu membersihkan noda tersebut sambil menggendong tas ransel menuju kursi kosong di depan meja guru.

"Selamat pagi, anak-anak," sapa guru honorer muda berblazer abu-abu seraya memasuki kelas.

Sebenarnya, tidak ada yang aneh dengan kehadiran Bu Nurli.
Hanya saja, ada yang tak biasa dengan kedatangan beliau kali ini. Wanita berusia akhir dua puluhan terseut tidak sendiri. Ada sosok jangkung yang mengikuti langkahnya. Kasak-kusuk mulai terdengar mengisi ruangan kelas. Karena dituntut menjadi pencuri dengar yang baik dalam situasi apa pun, Eflata menajamkan indra pendengarannya.

"Siapa, sih, yang di belakangnya Bu Nurli?"

"Cakep bat, ya."

"Dari luar kayaknya kasta borju."

Desas-desus itu tak berhenti sampai Bu Nurli mengacungkan tangan kanannya---tampak meminta perhatian penghuni kelas XI IPA 3.

"Perhatian semuanya, ada teman baru kalian nih yang mau memperkenalkan diri. Silahkan." Beliau tersenyum ramah. Mundur beberapa langkah. Sejurus kemudian, mempersilahkan seorang cowok bergurat wajah timur tengah memulai interaksi pertamanya.

"Hai semua," sapanya, datar. Tak menampilkan seulas senyum. Alih-alih terkesan loyo, cowok itu justru memancarkan aura karismatik.

Eflata mengatur letak kacamata silindernya, memicingkan mata pada sosok jangkung di hadapannya sesaat. Beberapa detik kemudian; melakukan analisis data dalam catatan mental sambil membatin.

Hm, bau-bau sengak. Kayaknya songong banget nih anak baru. Belum apa-apa udah gitu, gimana nanti!?

Di balik penampilan luarnya yang nerd dengan behel dan kacamata bulat, Eflata Rania Alfy sebenernya tidak seperti itu. Cewek tersebut doyan sekali mengomentari hal dan menjurus ke nyinyir. Tidak salah dirinya menjadi admin di akun lambe-lambe, bukan?

"Nama gue Ravien Altair. Pindahan dari SMAN 98 Jakarta, salam kenal semuanya." Sebagai penutup perkenalan singkatnya, Ravien tersenyum sebagai bentuk formalitas.

Namun, meski begitu, nyaris beberapa siswi menjerit tertahan oleh tarikan bibir asimetris milik Ravien.

"Oke, Ravien, kamu bisa duduk di bangku yang kosong itu ya."

Tanpa diperintah dua kali, Ravien mengarahkan kakinya menuju sayap barat ruang kelas yang ditunjuk Bu Nurli. Mata coklat madu cowok itu tak hentinya mengitari sepenjuru kelas. Beberapa kali beradu pandang dengan mata jernih milik Eflata yang terbingkai kacamata sesaat, sampai akhirnya berhenti di dua meja persis belakang cewek tersebut.

"Baik anak-anak, keluarkan bukunya Matematikanya, ya. Kita mulai pembelajaran," titah Bu Nurli seraya meletakan tas tenteng dan tumpukan buku di meja guru.

"Apakah sekarang ada PR?"

Hening. Tak ada yang menjawab sama sekali.

Lidah Eflata gatal ingin mengucapkan, "Iya, Bu. Sekarang ada PR Uji Kompetensi hal 27-28 di buku paket. Mampus, anak-anak pada belom garap kecuali saya, kasta missquen dan si Mak Lampir alias Renren. Lagian Renren PR-nya udah selese karena saya yang ngerjain."

Namun, karena tidak mau dicap cari perhatian ke guru, gadis berbehel itu pun memilih tak angkat suara.

Karena merasa ada yang janggal, Bu Nurli mendekat ke salah satu siswi paling teladan dengan IQ tak diragukan lagi. Siapa lagi kalau bukan Eflata Rania. Tanpa aba-aba, beliau membuka buku PR Eflata, matanya menyipit meneliti satu persatu jawaban yang tertuang.

"Oh, ada PR. Ayo anak-anak kumpulkan tugasnya di depan meja Ibu sekarang. Kecuali Ravien."

"Lho, Bu, itu bukan PR. Si Cupu aja yang terlalu rajin sampe garap Uji Kompetensi hal 27-28," protes cowok di sebelah Ravien. Cowok itu melayangkan tatapan tak suka pada Eflata. Sorot matanya seakan berbicara awas-aja-lo-pas-istirahat.

"Eflata tidak mungkin berbohong jika masalah tugas." Bu Nurli menghela napas berat. "Sudah, kumpulkan semua tugasnya. Saya tidak mau tahu. Jika ada yang belum selesai, selesaikan di luar kelas!"

Terdengar helaan pasrah memenuhi sepenjuru kelas, juga cibiran samar yang ditujukan kepada Eflata. Tatapan-tatapan benci itu diiringi dengan jari tengah yang terulur di hadapannya. Kini, di kelas hanya tersisa tiga kasta missquen dan si anak baru.

"Ravien, kamu pindah duduk sebentar di samping Eflata? Mungkin aja kamu nggak keliatan kalau di belakang?"

Dua kasta missquen yang tersisa di kelas selain Eflata adalah Rafi dan Rafli, si kembar non identik tersebut menatap Eflata dengan sorot yang sulit diartikan.

"Nggak, Bu, makasih. Males duduk sama cewek yang nggak errr... Udah gitu nerd lagi. Nanti, yang ada saya malah...." jeda sejenak, Ravien memandang Eflata ngeri. "Gitulah, Bu, pokoknya."

Saat itu, tiga kata yang terlintas di benak Eflata perihal catatan mental si anak baru Ravien Altair.

1. Sengak.
2. Songong.
3. Senewen.

Orang-orang seperti ini, nih yang cocok masuk akun lambe_smantara.

to be continued

Investigasi Jeng MinceunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang