8 - Sekelumit Lara

136 29 1
                                    

Walau kita berdekatan entah kenapa kamu terasa asing.

Pagi itu Roseanne berencana memberi ucapan selamat kepada Chandra dengan membawakan laki-laki itu sarapan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi itu Roseanne berencana memberi ucapan selamat kepada Chandra dengan membawakan laki-laki itu sarapan. Jarak tempat kost dan rumah tante Rosé lumayan dekat. Hanya sekitar limabelas menit jika menggunakan kendaraan. Itu sebabnya jam tujuh pagi Rosé sudah berada di depan pagar tempat kost Chandra. Bersyukur walaupun tempat kost tersebut merupakan indekos khusus putra tapi tamu masih boleh berkunjung ke dalam. Jadi Rosé membuka pagar tanpa rasa canggung kemudian menyapa beberapa orang yang sudah dikenalnya.

"Cari Mas Chandra, Mba?" tanya
seorang pemuda berambut jabrik yang terlihat sedang mencuci motor vespa berwarna merah di halaman indekos.

"Iya. Chandranya udah bangun?"

"Aduh, Mas Chandranya malah udah pergi dari tadi Mba, Mas Ibam aja sampe misuh-misuh itu," jawab laki-laki itu.

Rosé tentu saja bingung. Mau ke mana Chandra pagi-pagi. Gerbang kampus pun belum di buka.

"Pasti kamu engga tau ya dia ke mana?" tanya Rosé.

Laki-laki itu mengangguk.

"Lho Teh Oce? Ayo sini Teh masuk, nanti berangkat sama abdi aja. Pacar maneh Teh kayak monyet. Ngeselin."

***

"Itu motornya engga apa dipake?"

Sarapan yang dibuat Rosé khusus untuk Chandra berakhir di perut buncit Ibam. Mereka duduk di taman fakultas teknik yang masih sepi. Tak ada satu pun batang hidung anak teknik terlihat. Dan mereka berdua sudah duduk di sana untuk memakan sarapan yang telah dibuat susah payah oleh Rosé.

Dengan mulut yang masih mengunyah nasi goreng mentega dengan taburan bawa goreng bercampur dengan gurihnya omelet. Ibam menjawab pertanyaan Rosé.

"Tenang aja. Yang punya lagi kosong mata kuliah. Yang penting mah pulang-pulang bensin penuh juga engga bakal protes."

Rosé menatap tak suka Ibam yang berbicara dengan mulut penuhnya. Jadi secara otomatis tangannya bergerak memukul kepala Ibam.

"Telen dulu kek baru ngomong. Entar keselek, Ibam."

"Perhatian banget sih jodohnya orang. Tapi engga usah mukul bisa kali," sahut Ibam dengan tangan yang tak berhenti mengelus kepalanya yang sedikit berdenyut nyeri.

"Eh. Maaf, Bam. Maaf. Reflek itu. Sakit ya?"

Ibam menganggukan kepala sebagai bentuk jawaban. Rosé makin merasa bersalah.

[0.1] Belum Usai (BangRosé) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang