Bonus Chapter 0.1

214 28 0
                                    

Memandangimu dari jauh sudah seperti keharusan.

Memandangimu dari jauh sudah seperti keharusan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mentari bersinar cukup terik. Di tengah lapangan semua mahasiswa baru fakultas teknik sedang berbaris dengan wajah lesu lebih tepatnya mereka sedang dijemur secara paksa sehingga membuat baju mereka yang telah basah oleh keringat makin dimandikan oleh kelenjar keringat yang berlebih. Jauh di pinggiran. Berbekal pohon sebagai tempat berteduh, Cici mengintip sang pujaan hati yang ikut menjadi salah satu panitia. Lelaki itu tampak tetap tampan dan gagah walau peluh membasahi. Rambut setengah gondrongnya sudah lepek tapi tetap saja wajah yang terlihat bersinar bermandikan cahaya mentari itu tetap terlihat menawan di lensa penglihat Cici. Jas almameter telah ditanggalkan laki-laki itu sejak udara makin terasa panas sehingga menyisakan seragam kebanggaan milik fakultas. Tak masalah jika Cici hanya bisa memandang dalam kagum sosok laki-laki itu dari jauh asal ia tetap bisa melihat senyum menawan laki-laki itu. Jika banyak orang berpendapat jika Chandra merupakan mahasiswa paling keren yang dimiliki fakultas teknik maka bagi Cici hanya laki-laki itu yang terlihat sangat keren di matanya. Berbekal modul tebal dan beberapa buku catatan yang hanya sebuah tipuan agar bisa melihat sosok itu dari jauh. Cici tetap betah memandangi walau dari jauh sekalipun. Berpura-pura sedang belajar walau sebenarnya ia tengah mengintip. Karena sebuah kesempatan langka bisa melihat betapa berwibawanya lelaki itu ketika sedang menjalani kegiatan semacam itu. Jiwa pemimpin seolah berkibar di dada laki-laki itu membuatnya makin terlihat keren seratus kali lipat. Oke. Sebut saja Cici berlebihan. Tak apa kok. Cinta 'kan memang seperti itu.

Cici tersenyum kecut tatkala seorang perempuan cantik menghampiri lelaki pujaannya dengan membawa sebotol air dingin yang langsung disambut baik oleh laki-laki itu. Sejak awal Cici memang seharusnya jujur akan perasaannya sendiri bukan justru bertindak seperti pengecut yang hanya bisa bersembunyi dibalik topeng bernama pertemanan. Ia bagai bunga yang sudah layu sebelum berkembang. Ia sendiri yang mematahkan hatinya dan enggan mengakui jika penyebab patahnya sang hati bukanlah perihal dirinya yang terlalu penakut namun karena lelaki itu yang tak menyadari akan perasaan Cici selama ini.

Jreng!

"Ku tak bahagia melihat kau bahagia dengannya, aku terluka tak bisa dapatkan kau sepenuhnya, aku terluka melihat kau bermesraan dengannya, ku tak bahagia melihat kau bahagiaaa ...."

Suara cempreng milik Ibrahim atau akrab dipanggil Ibam itu tampak tidak sinkron dengan alunan merdu yang berasal dari petikan senar gitar akustik yang digendong Chandra. Cici melotot. Seolah memberikan tatapan maut kepada lelaki jangkung itu walau tidak mempan. Ibam itu kebal omong-omong, hasil selama berguru di ujung provinsi jawa barat yang paling barat. Berguru pada badak bercula satu. Okeh lupakan. Tidak penting memang membahas seorang Ibrahim Bambang Narajendra.

"Harusnya aku yang di sana, dampingimu dan bukan dia. Harusnya aku yang kau cinta dan bukan dia, harusnya- akh, aduh! Woi rambut gue!"

"Bodo amat. Harusnya emang lo gue botakin kayak maba-maba itu! Rasain lo Bambang!" murka Cici yang tetap menarik rambut Ibam tak peduli jika ia harus naik ke kursi terlebih dahulu hanya untuk menggapai rambut gondrong laki-laki itu.

[0.1] Belum Usai (BangRosé) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang