12 - Side Effects

143 29 0
                                    

Kamu dengar. Tak sekali pun aku membencimu.

"Maneh teh sejak kapan ngerokok?!" syok Ibam ketika melihat Chandra yang diam-diam sedang merokok di dekat toilet lantai 1 gedung fakultasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Maneh teh sejak kapan ngerokok?!" syok Ibam ketika melihat Chandra yang diam-diam sedang merokok di dekat toilet lantai 1 gedung fakultasnya.

"Heh jawab!"

"Bukan urusan lo," jawab Chandra datar. Ia kesal pada semua orang terlebih pada dirinya sendiri. Ia kesal akan semua masalah yang datang silih berganti.

Ibam berdecak. Hampir saja ia tak bisa mengendalikan diri.

"Jangan jadi Chandra yang dulu. Lo atlet. Lo engga mungkin 'kan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya?" Sesungguhnya walau Ibam masih kesal dengan Chandra. Ia tetaplah Ibam yang tetap menaruh peduli kepada Chandra. Sahabatnya sejak mereka sama-sama masih menyusui di ibu masing-masing.

"Kalau lo ada masalah cerita sama gue."

"Gimana mau cerita? Lo aja marah sama gue. Emangnya lo masih anggep gue sahabat lo?"

Chandra menjatuhkan putung rokok yang menyisakan seujung kuku itu lantas menginjaknya.

"Engga usah peduli sama gue. Gue engga butuh," ucap Chandra yang jelas membuat Ibam sakit hati.

Ibam mengepalkan tangan, merapal dalam hati untuk tidak melayangkan tinjuan di wajah Chandra. Bekas lebam kemarin saja belum hilang dari wajah Chandra. Ia tak mungkin menambah lebam baru. Itu bisa memengaruhi karir Chandra sebagai atlet.

"Okeh. Lo boleh aja nyuruh gue engga peduli. Tapi gue peduli sama Rosé dan lo juga harusnya begitu," sahut Ibam, "Lo seharusnya denger penjelasan dari Rosé. Bukannya malah main hakim sendiri."

Chandra berdecih, "Buat apa? Buktinya udah jelas kok."

Ibam membuang pandang sambil menghela napas. Kesabarannya terus diuji jika harus berhadapan dengan Chandra yang sikap keras kepalanya kambuh.

"Harusnya lo tuh sadar diri. Lo duluan yang ngekhianatin Rosé. Jadi wajar aja kalo Rosé deket sama cowok lain. Lo duluan yang begitu. Lo tuh kurang peka atau apa sih? Kedekatan lo sama Pamela, sikap lo yang mulai berubah, lo yang mulai berbohong. Semua itu awalnya. Awal dari kejadian ini. Jadi jangan salahin Rosé."

Ibam berjalan pergi dengan emosi yang tetap ia tahan. Sebenarnya ia ingin mengutarakan semuanya. Menyadarkan Chandra jika laki-laki itulah yang salah. Bukan Rosé. Tapi Chandra itu kepala batu. Dan rasa-rasanya Ibam hanya akan membuang-buang waktunya yang berharga untuk orang yang susah sekali diberitahu.

***

Burung berkicau merdu. Langit terlihat begitu cerah. Namun, semua itu berbanding terbalik dengan raut wajah Rosé. Tatapannya sendu. Beberapa kali terdengar helaan napas. Rosé mematikan ponselnya. Komentar-komentar buruk bahkan pesan-pesan teror semakin bertambah tiap waktu. Bohong jika Rosé mengatakan baik-baik saja. Ia tidak baik. Bahkan bertambah tidak baik semenjak foto penuh kontroversi yang membuatnya menjadi perempuan jahat terunggah di laman instagram kampus. Mendadak Rosé menjadi bahan perbincangan seluruh kampus. Gelar wanita jalang dan tukang selingkuh bahkan diperolehnya hanya karena satu foto yang bahkan kebenarannya tak mereka tahu. Rosé yang masuk rumah sakit mereka anggap lari dari permasalahan. Padahal sebelum foto itu tersebar. Rosé pun sudah di rawat. Rosé tidak salah jadi ia tidak sedang lari dari masalah. Ia tidak bersembunyi. Tapi efek dari foto tersebut ternyata cukup besar. Buktinya bukan semakin pulih. Rosé merasa badannya masih terasa demam; nafsu makannya berkurang; kepalanya pusing; dan ia kembali mimisan.

Rosé menggunakan tangannya sendiri untuk membersihkan darah yang keluar dari lubang hidungnya. Perempuan itu kembali menangis dalam diam. Jika bisa ia ingin menyerah saja sayangnya tidak bisa. Egonya mengalahkan logikanya. Rosé tetap ingin bertahan walau seharusnya ia menyerah. Buat apa mempertahankan jika yang ia dapat hanyalah luka.

"Butuh tisu?"

"Jayden?"

Jayden tersenyum lantas ikut duduk di sebelah Rosé. Tiang infus berada di sisi kiri gadis berponi dengan rambut panjang itu. Duduk di dekat pohon yang cukup rindang. Mereka membiarkan angin mengelitiki wajah.

"Lo bilang engga usah ngelakuin pembelaan atas berita bohong itu tapi lo sendiri kepikiran sampe mimisan. Nih bersihin pake ini."

Tangan Rosé terangkat menerima tisu dari tangan Jayden kemudian mulai membersihkan hidungnya.

"Dan ini buat ngebersihin air mata lo."

"Jay."

"Hm?"

Tangan kekar Jayden kembali terulur memberi selembar tisu  Rosé mengambilnya kemudian menggeleng.

"Gue harusnya benci Chandra. Tapi kenapa engga bisa ya? Gue engga bisa benci."

***

Chandra menaruh gitar listrik itu kembali ke tempatnya lantas berjalan ke meja bar.

"Mau gue buatin minuman terenak engga?" tanya Pamela. Perempuan itu sedang berdiri dibalik meja yang biasa digunakan barista untuk meracik minumam sedangkan Chandra sendiri duduk di kursi dekat meja bar.

"Boleh."

"Gue tahu lo akhir-akhir pasti banyak pikiran."

Menyadari jika apa yang dikatakan Pamela benar adanya. Chandra mendengus. Jika boleh jujur. Benar. Chandra memang sedang stres akhir-akhir ini. Itu sebabnya ia kembali merokok. Masalah terus silih berganti datang. Ketika masalah satu belum terpecahkan datang masalah yang lain. Rosé juga salah satu faktor kenapa ia bisa terjerumus kembali kejeratan nikotin yang hanya memberi efek menenangkan sebentar tapi bersifat adiktif itu. Selama ini Rosélah yang menyadarkan Chandra ketika dulu ia terjerumus pada lubang hitam. Rosélah yang telah dengan sukarela mengulurkan tangan membantu ketika ia sendiri merasa tak lagi berguna. Rosélah yang membuatnya berhenti merokok. Tapi kali ini tidak ada Rosé di sisinya. Ia harus bagaimana? Chandra bodoh. Ia merutuki dirinya sendiri. Menyadari jika ia mulai kehilangan sosok Roseanne. Ditambah perempuan itu kembali dekat dengan lelaki yang dulu menjadi cinta pertama Rosé. Jayden. Lelaki cerdas, tinggi, mapan dan tampan. Nyaris sempurna. Perempuan mana yang tak tergoda.

"Silakan, Mas. Pesanannya sudah siap. Ditunggu testimoninya okeh."

Satu gelas penuh milkshake coklat yang dicampur dengan pisang serta jangan lupakan white cream dan taburan keju serta coklat parut tersuguh di depan Chandra. Terlihat menggoda. Tapi Chandra tidak tertarik. Nafsu makannya hilang beberapa hari belakangan.

Chandra menatap Pamela yang sedang tersenyum lebar. Laki-laki itu kemudian kembali menyadari. Semua kerumitan yang terjadi di antara dirinya dan Rosé berakar dari Chandra. Berakar dari sikap terbuka Chandra yang membiarkan perempuan lain datang dalam hidupnya. Membiarkan atensi perempuan itu seutuhnya tertuju kepada Chandra dan sekaligus membuat perempuan itu salah mengartikan kebaikannya selama ini. Tapi hati siapa yang tahu. Chandra bahkan mulai merasa nyaman dengan Pamela. Entahlah. Ini terasa rumit. Chandra tak tahu harus bagaimana.

"Ya ampun. Wajah lo keliatan stres banget. Mau gue ajak ke tempat yang bisa bikin lo sedikit rileks?" tawar Pamela.

Chandra menatap Pamela dengan wajah datar. Namun, pikirannya berkelana. Menimbang-nimbang tawaran itu.

"Asik kok tenang aja. Lo engga bakal nyesel," ucap Pamela sambil tersenyum penuh arti.

 Lo engga bakal nyesel," ucap Pamela sambil tersenyum penuh arti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manusia itu engga ada yg sempurna gaes. Walaupun Chandra itu jago olahraga, menang di banyak kompetisi renang, pinter, cerdas, jago nyanyi, jago main alat musik. Chandra tetaplah manusia biasa ekekek.

[0.1] Belum Usai (BangRosé) ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang