APP - 5

62.4K 5.3K 1K
                                    

Kim Taeri

Rasanya aku ingin muntah pada setiap kalimat yang Jimin lontarkan, namun nyatanya kami berdua sama. Saling bertatapan dan melempar senyum seolah sama-sama dimabuk cinta. Kaget melihat orang-orang begitu percaya dan tidak curiga sedikitpun. Konferensi pers yang kami lakukan perihal pernikahan berjalan sangat lancar. Awalnya aku cukup khawatir mengingat Jimin tidak ada latar belakang berakting sepertiku yang memang itulah profesiku, tetapi setelah melihat yang terjadi rasanya tak ada yang perlu ditakutkan. Jika menalaah lebih dalam, sejak dulu Park Jimin memang berada di posisi di mana dia harus terlihat sempurna, hal-hal seperti ini sudah terbiasa. Aku jadi diam-diam menatapnya sambil bertanya-tanya dalam hati sebenarnya sejauh apa sisi Jimin yang belum aku ketahui? Sisi seperti apa yang selalu dia sembunyikan? Atau aku merasa beruntung mengetahui sisi Jimin yang orang-orang tidak ketahui. Hanya saja, rasanya aku menjadi terlalu peduli karena berpikir mungkin selama ini dia melalui setiap harinya dengan begitu berat.

"Kami akan menikah minggu ini," ujar Jimin mengakhiri konferensi pers dengan pengumuman yang mengejutkan.

Seisi ruangan menjadi heboh seketika sementara Jimin begitu menikmatinya. Aku? Jelas kaget. Masalahnya dia bahkan tak mengatakan apa-apa. Tetapi di sisi lain memaklumi karena beberapa hari lalu bahkan dia mengatakan untuk menikah keesokan hari setelah dia memberikan penawaran. Setidaknya ini lebih masuk akal. Well. sebenarnya tidak ada yang masuk akal.

Aku dan Jimin segera pergi dari ballroom di mana kami melakukan konferensi pers dengan kilat kamera yang mengikuti. Kendaraan Jimin sudah menunggu di depan lengkap dengan supir yang membukakan pintu. Setelah kami masuk, mobil segera pergi melaju dari sana.

Aku merasa harus membahas apa yang tadi Jimin lontarkan karena rencana ini berjalan antar dua pihak, maka keduanya harus saling diuntungkan dan didengarkan pendapatnya. Tentu aku adalah salah satunya. "Jimin, aku tak mau pernikahannya dirayakan."

Jimin menoleh terlihat terganggu dengan ucapanku. "Kim Taeri, aku ingin pemimpin Perusahaan Park. Aku butuh sorotan"

"Tidak, kau tidak butuh. Banyak kok malahan yang ingin semua dilakukan private. Yang mau sorotan itu memang kaunya saja. Mau terlihat wah, kan?" ujarku malas.

Jimin terkekeh. "Bukankah kau juga harusnya begitu? Kau ini public figure."

"Ya. Tetapi aku tidak punya teman. Siapa yang mau aku undang?" tanyaku balik terlalu santai sampai membuat Jimin hampir tersedak karena ucapanku.

"Kau bukan tidak punya teman, kau yang tidak mau berteman," sindir Jimin. Aku tak mau berdebat karena kami berdua sama-sama tahu maksud masing-masing dan hanya melempar sarkastik belaka. Tentu kami dikelilingi banyak kenalan dan orang-orang yang cukup baik dalam berkomunikasi dan berhubungan. Hanya saja tidak ada yang sedekat itu, apalagi yang mau kuundang untuk datang di pernikahan.

Bahkan aku sendiri saja sebenarnya tidak mau menikah.

"Baik, baik. Tidak dirayakan. Menikah yang didaftarkan saja pernikahan kita dan selesai. Kau maunya begitu kan?" tanya Jimin.

Aku lumayan kaget dengan apa yang dia katakan karena memang seperti itu adanya—tepat. Hanya saja awalnya aku beranggapan dia pasti mengira tidak dirayakan itu tetap disaksikan atau perayaan kecil-kecil untuk orang terdekat. Kalau aku serius benar-benar tidak ingin hal seperti itu. Cukup didaftarkan di pencatat perkawinan. Lagipula di Korea Selatan sendiri memang jarang pernikahan yang dirayakan bahkan angka pernikahan itu sendiri begitu rendah. Selain memikirkan tentang tanggungan yang jauh berbeda, seksisme dalam pekerjaan juga lumayan mengganggu. Selain itu adalah prinsip di mana memang pernikahan tidak dibutuhkan dalam kehidupan mereka.

"Kau serius?" tanyaku begitu bersemangat.

Jimin terkekeh kecil dan lalu mengusap pucuk kepalaku. "Ehm, apapun yang kau inginkan. Lagipula ini kan pernikahan kita berdua, bukan hanya aku saja."

A Perfect Plan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang