APP - 21

44.8K 4.3K 1.7K
                                    

Taeri memang kerap berharap Park Jimin menjadi tolol. Kalau dipikir-pikir, dia menginginkan itu sejak dulu agar dapat merebut posisi pria tampan kaya raya yang cerdas itu, tetapi begitu sulit. Kalau bisa malahan Taeri ingin menipu Jimin habis-habisan kemudian melangkah dengan sombong sambil menertawakan kemelaratan Park Jimin. Namun sekali lagi, hanya mimpi di siang bolong karena kekayan Park Jimin sepertinya tidak akan habis untuk tujuh turunan. Tetapi sudah dua kali Jimin menjelma menjadi pria tolol dan seperti biasa kembali lagi menyeret Taeri ke dalamnya. Tidak pernah ada dalam rencananya menjadi tolol bersama.

Seharusnya untuk sepasang suami istri, kamar adalah tempat intim saling memuaskan gairah atau hangat memadu kasih, tetapi tidak untuk Jimin dan Taeri. Kamar tidur menjelma sebagai ruang pertemuan (rapat) dadakan dengan lembar kertas berisi perjanjian. Setidaknya saat ini hubungan mereka berdua jelas, ada hitam di atas putih. Bukan tentang kejelasan status yang terdaftar di data pernikahan, tetapi apa yang tertulis pada kontrak pernikahan pura-pura mereka.

Taeri membaca poin-poin yang ada di dalam kontrak dengan begitu teliti. Mata memincing dengan kaki disilangkan dan tangan di bawah dagu. Sementara Jimin di seberangnya hanya tersenyum sambil memberikan tatapan yang sulit diartikan. Entah apa yang ada di kepala Jimin sekarang. Begitu misterius sekalipun senyumannya terlihat begitu lembut.

Tetapi dari semua poin, masih saja mengganggu tulisan aneh, Kim Taeri harus mencintai Park Jimin. Berkali-kali Taeri mengabaikan, tetapi tulisan itu benar adanya. Wanita itu menghela napas yang lebih mirip sebagai dengusan. Membanting kertas ke meja yang berada di antara dirinya dan Park Jimin. Memandang pria bermata tajam itu dengan sinis sambil melipat kedua tangan di depan dada. Sengaja menunjukan ketidak nyamanan dan kemarahan.

Alih-alih kebingungan atau terlihat tidak suka, Jimin malah terkekeh. Matanya menyipit dan terlihat begitu manis sekalipun tatapan aslinya bisa dibilang dapat mengintimidasi. Taeri jadi kelimpungan sendiri karena tidak siap dengan respon Jimin yang seperti ini. Dia ingin perdebatan panas, bukan tawa manis yang membingungkan. "A-apa!" ujar Taeri dengan nada yang menantang.

Jimin tak langsung menjawab dan masih tertawa sampai pada akhirnya menggeleng dan menggerakan tangannya. Berusaha keras menutup mulut agar berhenti sebab dia sendiri merasa tidak enak dengan Taeri. "Maaf! Maaf! Sungguh, aku minta maaf!"

Taeri memutar bola matanya sambil berdecih seolah begitu muak.

"Kau ini kenapa sih selalu saja tidak pernah berubah. Dulu aku berusaha terlihat biasa saja tetapi sekarang sudah tidak bisa lagi," ujar Jimin.

Kening Taeri berkerut dan langsung memberikan atensi penuh pada Jimin sekalipun tidak mengeluarkan suara. Jimin tahu bagaimana sekarang Taeri begitu penasaran sekalipun tidak diutarakan. Dia mengenal jelas wanita itu.

"Kau—selalu saja bersikap sok galak seperti itu ketika kesal. Padahal kau tidak benar-benar marah atau mungkin marah tetapi juga penasaran. Kadang kau marah dan gengsi. Dulu semasa sekolah kau selalu seperti itu. Mengerucutkan bibir dan memincingkan mata sambil melipat kedua lengan di depan dada," jelas Jimin begitu rinci seperti Taeri adalah buku yang sudah dia hafal tiap katanya di luar kepala.

Giliran Taeri yang balik merasa ditelanjangi. "Kalau iya, memang kenapa? Ha?"

Jimin menggeleng dan kemudian memajukan wajahnya—menumpu dengan kedua tangan di atas meja. "Tidak apa-apa. Hanya saja kau sangat menggemaskan saat seperti itu. Sulit untuk tidak tertawa atau tersenyum. Rasanya masih sama seperti ingin memeluk," jawab Jimin yang

What the—apa yang bajingan Busan ini katakan? Taeri sukses melongo. Butuh memproses semua ucapan Jimin. Bohong kalau pipinya tidak memerah malu. Debarannya juga jadi tidak karuan.

A Perfect Plan ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang