BAB 6 | Target Baru

185 42 7
                                    

Jogja, kembali ke masa sekarang.

Siang itu kantin sekolah mereka tampak sepi, mungkin hanya seperempat kursi yang terisi. Tentu saja, karena hari ini adalah hari Jumat. Dan di siang seperti sekarang, sekolah mereka akan ditinggal kaum Adam untuk pergi beribadah.

Setelah istirahat siang yang lebih panjang dari hari biasa ini, mereka pasti akan melakukan aktivitas ekstrakulikuler dimana setiap siswa wajib mengikuti minimal salah satu kegiatan yang ada.

Jumat ini merupakan hari pertama ekskul diadakan di semester ini, sekaligus semester terakhir untuk kelas dua belas boleh mengikuti kegiatan tersebut.

Seperti biasa, pendaftaran untuk tiap ekskul sudah dimulai sejak hari pertama sekolah. Jadi tiap awal semester itu kita boleh mengganti, menambah, maupun mengurangi ekskul. Sem misalnya, tapi dia tidak pernah mengganti ekskulnya, dia hanya menambahkan yang awalnya hanya Pramuka, lalu ditambah Klub Debat, dan terakhir ditambah Olimpiade Ekonomi. Lya juga sama, dia juga memegang tiga ekskul yaitu, Pramuka, Paski, dan Klub Tari. Dan dia juga melakukan hal yang sama dengan Sem, hanya menambahkan tanpa mengganti ataupun mengurangi.

Lalu bagaimana cara mereka mengikuti semuanya? Apalagi Sem yang memimpin dua ekskul, Pramuka dan Debat? Mudah saja, mereka akan memilih ekskul mana yang sedang membutuhkan mereka. Misalnya, ekskul tari akan mengikuti suatu lomba dalam satu bulan lagi, maka Lya akan ada di sana selama masa itu, begitu juga Sem.

Lalu bagaimana jika ada lebih dari satu ekskul yang membutuhkan mereka? Ya, mereka tinggal pilih. Toh, sekolah ini juga punya banyak siswa berbakat lainnya, secara sekolah ini termasuk sekolah unggulan nasional.

Tapi jangan salah, Lya dan Sem tidak asal ikut ekskul hanya karena ingin pergi lomba, sebelum itu mereka tetap harus mengikuti tes terlebih dahulu. Mereka berprestasi juga karena mereka menambah ilmu dan keahlian di luar. Seperti Lya yang ikut les tari dan selalu olahraga, sesekali juga nge-gym, untuk menjaga ketahanan tubuhnya. Begitu pun Sem yang les privat persiapan olimpiade dengan dosen-dosen yang dibayar ayah-bundanya. Dalam beberapa minggu ke depan, Sem akan mengikuti karantina yang kebetulan kali ini diadakan di kota mereka.

"Tidak ada orang yang terlahir hebat karena hakikatnya itu bukanlah bakat, melainkan buah dari tekad yang kuat."

Itulah yang diucapkan ayah Sem sejak dia pertama kali duduk di bangku sekolah, tepatnya bangku taman kanak-kanak, yang sampai kapan pun akan selalu dia ingat dan berusaha dia terapkan.

"Gue udah dapet nomor WA dia, Sem," ujar Lya. Sekarang dia sedang menyodorkan ponselnya ke hadapan Sem.

Mereka saat ini sedang makan mie goreng dikuahin di meja pojok kantin. Maksudnya, yang mereka makan itu mie goreng tapi dibuat seperti mie kuah. Mereka emang agak gitu.

"Alexander Theora Adityas? Nggak ada nama lain apa? Dia orang mana, sih? Blasteran?" heran Sem ketika membaca nama yang tertera di hadapannya.

"Yaelah elu, Neng, kayak nama lu nggak aneh aje," ledek Lya dan menarik ponselnya dari wajah Sem.

"Tapi kan bagus. Semilova, cinta di musim semi. Kebayang nggak, sih, kalo gue jatuh cinta di bawah bunga sakura yang lagi mekar pas gue ke Jepang besok? Hmm..." Sem malah mengkhayal disertai dengan nyengiran gaje khas dia.

"Eh, Maimunah! Ya kali lo ke Jepang besok lagi musim semi, yang ada musim kakak lo, tuh. Musim Kak Au." Lya menyadarkan Sem sambil menjitak keningnya dengan sendok yang baru dia ambil dari tempat sendok di atas meja mereka, tentu saja bukan sendok yang dia pakai untuk makan mie goreng dikuahin itu.

Kak Au, itulah panggilan kakak Sem. Nama lengkapnya Autumn Aureli, kira-kira artinya kebahagiaan di musim gugur, tidak jauh beda dengan nama Sem.

"Auh! Sakit tau, Bambang!" balas Sem juga disertai jitakan sendok pada kening Lya, sedangkan tangannya yang satu lagi digunakan untuk mengusap jidatnya.

Semilova [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang