Setelah pembicaraan dengan Lya tadi, Sem langsung pergi ke kelasnya yang cukup jauh dari gerbang dan kelas Lya.
"Anak baru, ya? Kayak mau bikin novel aja. Hmm, ada-ada aja lo, Lya," pikirnya. Tanpa dia sadari dia malah senyum-senyum sendiri.
"Kayaknya lagi bahagia banget, ya? Udah dua minggu liburan, seminggu gak masuk kelas, mau nambah lagi, nih? Yah, nilai gue bakal anjlok, deh. Tutor gue kabur terus," ucap Friski tepat ketika Sem tiba di dalam kelas.
"Nyantai, dong, Ki. Ngeliat orang senang lo harusnya ikutan senang, dong. Muka jangan sangar gitu, rileks dikit. Nilai lo nggak bakal kenapa-napa, kok. Lagian baru minggu pertama," balas Sem sambil nyengir dan duduk di kursinya yang berseberangan dengan Friski.
Sem itu semacam tutor pribadi untuk Friski. Ini sudah tahun kedua mereka sekelas. Tahun lalu saat kelas sebelas, wali kelas mereka menitipkan Friski pada Sem karena beliau sangat perhatian pada siswanya dan tidak ingin ada di antara mereka yang gagal.
"Friski itu sebenarnya pintar, dilihat dari nilainya yang cukup bagus saat kelas sepuluh, walaupun cuma rangking sepuluh besaran, dan yang buat nilainya itu turun adalah sikap malas dan nakalnya. Dia sering cabut dan berantem, kadang juga ngejawab guru walaupun untuk ngoreksi ucapan guru itu." Ini yang diucapkan wali kelas mereka tahun lalu kepada Sem.
"Tolong jadiin dia anak yang pintar sekaligus baik, Sem. Dia butuh guru yang selalu bisa ngajarin dia setiap saat, yang bisa langsung negur dia saat dia salah." Dan ini harapan wali kelas mereka.
Menurut walasnya, Sem itu memiliki kemampuan tinggi dalam mempengaruhi orang, dan itu terbukti dengan dia bisa memimpin banyak organisasi. Jadi rasanya tidak akan sulit untuk membimbing satu orang saja.
Awalnya Sem sedikit ragu, secara Friski itu bisa dibilang berandalan sekolah. Bukan, dia bukan badboy yang punya banyak cewek. Dia malah tidak pernah digosipkan pacaran dengan siapapun, bahkan yang dari beda sekolah juga tidak ada. Menurut Sem, mungkin ini hanya sekedar kenakalan anak SMA biasa, jadi dia merasa mampu mengatasinya.
Semester lalu saat kenaikan kelas, Friski berhasil meraih ranking tiga. Dia juga tidak pernah cabut lagi, tapi kalau berkelahi? Entahlah, di sekolah mungkin tidak lagi tapi di luar bisa saja, kan? Sem tidak mau memikirkan yang seperti itu, bukan urusan dia juga, kan tanggung jawabnya hanya di sekolah.
Saat naik ke kelas dua belas, kelas mereka tidak diacak seperti sebelumnya. Sekarang mereka tetap sekelas dengan wali kelas yang sama. Buk Wati, itu nama wali kelas mereka. Dan ibuk itu sendiri yang minta untuk tetap menjadi walas di kelas itu. Kan sudah dikatakan kalau Buk Wati benar-benar perhatian pada siswanya dan akan dibimbingnya hingga tamat. Jadi otomatis Sem tetap menjadi tutor pribadi Friski hingga tamat juga.
"Hoi, Sem! Lo ngelamun? Aneh gue sama lo, tadi senyum-senyum, ketawa kagak jelas, sekarang dah bengong aja, lo mikirin apaan, sih?"
"Udah setahun, ya," gumam Sem.
"Apa? Lo Happy Annive sama cowok lo?" tebak Friski ngasal. Dilihatnya Sem menoleh dengan tatapan membunuh.
"Udah sering gue ditatap gitu ama lo, nggak bakal takut lagi gue, yang ada malah tambah suka," lanjut Friski sambil sedikit menggoda Sem.
"Udah sering gue digombalin gitu ama lo, nggak bakal pernah kegoda gue, yang ada malah tambah najis tau, nggak?" balas Sem tidak kalah sengit sambil mencibirkan lidahnya pertanda dia menang.
Oh iya, catat ya, Friski ini bukan target dan bukan korban php-an Sem, Sem murni menganggap dia teman didikannya.
"Maksud gue itu udah setahun gue ngembalain berandalan sekolah ini, rasanya masih kemarin Buk Wati minta tolong ke gue soal tuh anak, dan sekarang tugas gue cuma tinggal sembilan bulan lagi, waktu cepat berlalu, kan? Dan gue harap mulai sekarang bisa lebih cepat lagi biar gue juga bisa cepat bebas," lanjut Sem dengan pandangan lurus ke depan.
"Lo nyindir gue? Dan apa tadi? Ngembalain? Lo pikir gue Shaun the Sheep, hah?" protes Friski.
"Hahaha sorry, canda doang, kok," kekeh Sem sambil menolehkan wajahnya pada Friski lagi.
"Ki, lo pernah ngerasa kebebanin sama gue, nggak?" tanya Sem.
"Yang ada lo yang terbebani karena gue, selama ini gue yang bergantung terus sama lo, dari mana datangnya gue yang terbebani coba? Tadi aja jelas lo pengen cepat jauh dari gue. Kalo lo mau ngelepas gue sekarang, ya nggak papa, Sem. Gue rasanya juga udah bisa mandiri. Biar nanti gue yang bilangin ke Buk Wati kalo gue yang minta," balas Friski menatap serius Sem.
"Gak gitu juga, Ki. Kan, lo baperan banget, gue juga udah bilang gue cuma bercanda. Maksud gue terbebani tuh, ya lo harus nurut apa kata gue, nurut kalau gue koreksi, kayak yang setahun ini, gue ngatur-ngatur lo, harus ngelakun ini-itu, nggak boleh ini-itu. Lo nggak kesal apa? Gue tau diatur-diatur itu nggak-"
"Enak, buat gue enak-enak aja," potong Friski.
"Kan lo ngaturnya yang benar, negurnya yang salah, ngelarangnya ke yang buruk, terus apa yang salah? Sem, gue ngerti mungkin lo yang ngerasa gak enak mencampuri hidup orang. Gue ngerti lo itu orangnya gak mau diusik makanya juga gak mau ngusik. Gue juga ngerti lo itu orangnya gak pedulian kalau bukan urusan lo, dan gue itu urusan lo, mau nggak mau lo harus ngusik hidup gue. Buat gue oke-oke aja, Sem. Jadi lo nggak usah ngerasa gitu lagi, oke? Nanti gue yang jadinya malah gak enak, terus kita sama nggak enakan, dan semuanya bisa berantakan, lo gak bisa bimbing gue dan gue gak bisa nerima bimbingan lo. Kita udah di akhir, Sem. Sedikit lagi, gue mohon kalo lo masih mau nolongin gue," lanjut Friski panjang lebar sambil menatap lurus Sem.
Dia benar-benar serius kali ini, sebenarnya dia sudah lama tahu rasa tidak enak Sem padanya. Tapi dia tetap merasa sangat aneh dengan Sem, kenapa ada orang yang berbuat baik tapi merasa tidak enak? Aneh.
"Oke," jawab Sem singkat. Lalu dia mendengar ketua kelas mengatakan kalau empat jam pertama ini mereka jam kosong karena gurunya tidak hadir. Sontak seisi kelas bersorak dan Sem menarik nafas lega.
"Huft! Untung jam kosong, gue belum bikin tugas yang kemarin. Ki, lo udah bikin?" tanya Sem sambil mengeluarkan buku ekonomi dari tasnya.
"Belum, gue nungguin lo," jawab Friski.
"Nungguin lo peka, Sem. Maaf gue berharap beda ama lo, gue nggak mau waktu cepat berlalu," lanjut Friski di batinnya.
"Kan lo udah belajar minggu lalu, gue malah baru belajar dikit semalam. Ya udah, deh, kita bahas berdua aja."
"Hm," gumam Friski mengiyakan.
"Maafin gue, Ki. Sama kayak kata lo, gue juga nggak mau semuanya berantakan apalagi hanya karena perasaan. Lo cuma bakalan sakit hati sendiri, jadi gue mohon lo juga ngerti," batin Sem.
Sem tidak bodoh dan dia bukannya kegeeran, hanya saja dia sudah tahu bagaimana perasaan Friski sejak dia menjadi tutornya.
Alasan Sem tidak menjadikan dia target hanyalah karena tanggung jawab, dia tidak ingin merusak itu dengan permainannya walaupun Friski bisa dibilang sasaran empuk.
Tapi Sem menemukan cara lain untuk memanfaatkan perasaan Friski. Dengan itu dia tahu dia akan lebih mudah mengendalikan Friski untuk menjadikannya pintar sekaligus baik di mata orang-orang. Walaupun kesan berandalannya masih ada, tapi setidaknya sekarang dia tidak lagi dianggap remeh. Itu saja sudah cukup bagi Sem.
_____
-KhaKai💚
KAMU SEDANG MEMBACA
Semilova [TERBIT]
Ficção AdolescenteKetika kamu terlalu berani bermain-main dengan perasaan. "Seperti namamu, Semilova, cinta di musim semi. Aku jatuh cinta padamu seperti di musim semi, rasanya begitu indah. Tapi setelah aku mengenalmu, kau seperti musim dingin yang datang sebelumnya...