Kesepuluh

412 124 439
                                    

Tiga minggu sudah Kanya lewati dengan bersantai di rumah. Kini saatnya ia kembali sebagai seorang mahasiswi yang super sibuk, apalagi kini dirinya harus mengurus biaya perkuliahannya. Mengurus biaya magangnya, mengisi formulir dan lain-lain.

Jangankan mengurus biaya, mengerjakan tugas yang diberi sebelum liburan saja belum ia kerjakan. Terlalu menyepelekan.

Bolehkah seorang mahasiswa mengeluh? Mengeluh dengan banyaknya kegiatan di kampus, dosen yang jarang masuk—tapi memberinya banyak tugas. Bukankah pengalaman memberi kita sebuah pembelajaran? Misal, dosen yang pernah jadi mahasiswa, diberi tugas menumpuk, lalu mereka mengeluh.

Dengan pengalaman seperti itu, tak adakah setitik rasa 'gue dulu pernah jadi mahasiswa, kasian kalo mahasiswa gue kasih tugas banyak.' bukan dengan 'gue dulu pernah jadi mahasiswa, harusnya mereka bisa ngerti tugas perkuliahan seperti ini.'

Buat adik-adik, tolong jangan pernah berpikir jadi mahasiswa/mahasiswi itu enak. Ternyata nggak seenak pemikiran kalian.

Getaran ponsel membuat Kanya menghentikan aktifitasnya, dengan gerakan pelan ia merogoh kantung celananya.

A. Gananda : lagi dimana?

Dirumah temen, krja klmpk

A. Gananda : lama?

Kayaknya, knp emg?

A. Gananda : yaudah

“Main HP mulu,” celetuk seorang lelaki yang sedang membolak-balik buku.

Kanya hanya melirik tanpa menjawab dan memilih melanjutkan kegiatannya.

“Eh, ini jawabannya di halaman berapa?” tanya cewek berkerudung hitam pada Kanya.

Kanya melirik lalu menggeser buku temannya. “Gue lupa, Al. Liat jawaban punya gue aja,” jawab Kanya, memberi kertas jawaban pada Aliyah.

“Oke.” Aliyah dengan segera mencatat jawaban di kertasnya.

“Tinggal lima soal nih. Serius, gue capek banget, gila aja tuh dosen, ngasih soal sepuluh tapi jawaban selembar,” keluh Reka sembari terlentang di sofa.

Pensil terlempar dan mengenai dahi Reka dari samping. “Apaan, kerjaan lo cuma nyalin jawaban doang njir!” kesal Hesa.

Reka meringis sembari mengusap dahinya. “Apa bedanya sama lo?!” desis Reka, bangun dari rebahannya.

“Udah kalian sama-sama pengen enaknya,” sahut Kanya yang masih sibuk mencari jawaban.

Aliyah dan Arjuna yang sedang menulis hanya terkekeh tanpa mengindahkan pandangannya.

Mengerjakan tugas h-1 sungguh melelahkan bagi Kanya, apalagi sekelompok dengan Reka juga Hesa bikin batin terus mengumpat. Bagaimana tidak, Reka yang selalu bermain game tanpa peduli dimana dia berada, dan Hesa yang terlalu bucin hingga tanpa memperdulikan tugasnya sebagai seorang mahasiswi. Kanya hanya menggeleng melihatnya.

“Jun, udah nemu nomer tujuh belum?” tanya Kanya, menggeser duduknya di dekat Arjuna.

“Udah, tapi ini masih di jabarin lagi.”

“Lo jabarin cepet, Jun,” suruh Kanya.

Arjuna mendengus, melirik Kanya yang sedang menidurkan kepalanya di meja.

“Al, lo nyari nomer delapan. Ka, lo nyari nomer sembilan, dan sisanya Hesa,” kata Arjuna, membagikan tugas kepada anggotanya.

“Gue nggak bawa buk—” belum sempat Reka menjawab, sebuah buku melayang tepat di depannya.

Reka tertawa kecil sembari mengambil tangan Kanya dan menyaliminya. “Terima kasih, Bu Guru Kanya.”

Kanya bergumam pelan dan melanjutkan tidurnya.

***

“Mau bareng?” tanya Arjuna diatas motor yang sudah dia nyalakan.

Kanya menggeleng. “Gue di jemput.”

Arjuna mematikan mesin motornya tanpa membuka helm di kepalanya. “Gue tungguin ya.”

“Eh, nggak usah! Rumah lo kan jauh, Jun. Lagian ini juga lagi mendung.” Kanya mengibaskan tangannya, menolak tawaran Arjuna.

Arjuna tersenyum manis di balik helmnya. “Santai, gue bawa jas hujan, Nya.”

Kanya tersenyum tipis dan mengalihkan pandangan ke ponselnya. Perlahan ia mendongak, menatap Arjuna yang sedang bersiul pelan.

“Gue... boleh nebeng?” tanya ragu Kanya sembari meremas erat ponselnya.

Kanya meringis, disambut dengan kekehan dari Arjuna lalu dia turun dari motor, membuka jok dan menyerahkan helm pada Kanya. “Yuk, naik.”

Kanya memasang helm di kepalanya dan di lanjut naik di jok belakang Arjuna. Kemudian mendekatkan kepalanya ke Arjuna hingga helmmereka bersentuhan. “Sori ya, ngerepotin.”

Arjuna mengangguk tanpa menoleh ke belakang lalu menyalakan motornya dan melaju dengan kecepatan seperti biasa.

A. Gananda : maaf br ngabarin. Aku ada urusan mendadak, ga bs jemput kamu.

***

“Sini!” Cindy melambaikan tangan saat melihat seseorang yang dia tunggu-tunggu.

Seseorang itu tersenyum lebar sembari mempercepat langkahnya menghampiri Cindy.

“Maaf lama,” ujarnya lalu duduk di kursi yang sudah di sediakan.

“Aku baru sampai kok,” jawab Cindy.

“Udah pesan makanan?”

Cindy menggeleng. “Nungguin kamu.”

“Kenapa nungguin? Kan kamu bisa makan duluan, Cin.”

Cindy menggenggam tangan sosok di hadapannya. “Kan kita makan bareng. Masa aku duluan, sih?”

“Yaudah-yaudah, buruan pesan gih.” suruhnya.

Cindy memanggil waiters, dan menyebutkan pesanan mereka masing-masing.

“Kamu udah pulang kuliah, hm? Makanya ngajak makan siang begini?” tanyanya sembari memilin jari tangan Cindy.

Cindy mendekatkan kursi yang dia duduki, lalu menjulurkan tangan untuk merapikan dasi yang terpasang di kerah baju seseorang di hadapannya.

“Nah, kayak gini kan rapi.”

“Makasih, Sayang.”

“Sama-sama, Dit.”

***

Bosenin nggak sih? :"
Saran dan kritik diterima🙌

Merci BeaucoupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang