Ketiga belas

319 92 403
                                    

“Tumben ke sini nggak ngajak tunangan lo?”

“Lagi sibuk.”

Adit menghempaskan tubuhnya di sofa yang sudah terlihat busanya. “Rokok, satu.” Tangannya menjulur, meminta.

Febri yang duduk di sebelahnya, langsung memberi sebatang rokok yang sudah menyala pada Adit. “Stres lo?”

“Hm,” gumam Adit, setelah menghisap rokoknya. “Dawin mana?”

“Lagi pacaran.”

Adit berdecih. “Dasar bucin.”

“Lo juga, goblok!” Febri menggeplak kepala Adit dari belakang.

Adit terkekeh lalu menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya.

“Tadi ada cewek ke sini, nyari elo,” ujar Febri sembari memainkan rokok di meja.

“Kanya?”

Febri mendengus kasar. “Tai, kalau Kanya gue tau!” ucapnya tak santai.

“Terus?” tanggap Adit santai.

Febri meletakkan rokonya di asbak, dan menatap tajam Adit. “Lo udah putus sama Kanya?”

“Enggak lah. Emang siapa yang nyari gue?”

Tatapan Adit yang semula menatap meja, langsung mengalihkan pandangannya pada Febri.

“Cindy,” balas Febri pelan.

***

Kanya terus menerus menelepon Adit. Tersambung, tapi tidak diangkat. Ia berjalan ke kanan dan ke kiri, sesekali menyelipkan rambutnya di belakang telinga.

Sudah dua puluh pesan dan tiga belas panggilan, hasilnya pun tidak ada yang menunjukan tanda-tanda bahwa tunangannya akan menjawabnya.

Kanya melirik jam dinding di kamar, jam menunjukkan pukul empat lewat sepuluh menit, sore hari. Bukankah tunangannya di rumah? Lagi pula, ini hari minggu.

Sekali lagi, Kanya menatap ponselnya, berharap ada satu notifikasi dari tunangannya. Namun setelah ditunggu selama lima menit, ponselnya tak bergetar seperti biasa.

Dengan gusar, Kanya menelepon Bunda—ibu dari Adit— dan berharap juga beliau mengangkat telepon darinya.

Halo?”

Kanya menghembuskan napas lega. “Assalamualaikum, Bun. Ini Kanya.”

Waalaikumsalam, kirain Bunda siapa tadi.”

Kanya terkekeh kecil. “Adit di rumah, Bun?”

Loh, bukannya keluar ya sama kamu? Tadi Adit sudah rapi, Bunda tanya, katanya mau keluar sama kamu.”

Ekspresi Kanya langsung berubah, namun dengan cepat ia tertawa pelan. “O-oh, iyaaa... ini Adit udah didepan, Bun.”

Dasar anak muda jaman sekarang,” Bunda terkekeh. “Bilangin sama Adit, kalau bawa motor pelan-pelan aja.”

Kanya mengusap sudut matanya dengan cepat. “Iya, Bun. Assalamualaikum...”

Waalaikumsalam.”

Kanya terduduk di tepi kasurnya, ia masih memikirkan perkataan dari sang Bunda. Adit bosan padanya?

Kanya menggeleng, ia gigit bibir bawahnya dengan keras. Nggak boleh nangis, nggak boleh nangis, batinnya. Dengan cepat jemarinya bermain di layar ponsel, mencari kontak Arjuna. Setelah dapat, Kanya menekan tombol panggilan.

Kenapa, Nya?”

Kanya menghembuskan napas dalam-dalam, guna menyamarkan suaranya yang lagi bergetar. “Lo kemaren ketemu Adit di mana?”

Ha?”

Lo kemaren ketemu Adit di mana?” ulang Kanya, menekan setiap kata.

Oh, gue ketemu di tempat tongkrong yang deket sama SMA FATMAWATI.”

Tanpa mengucapkan kata terima kasih, Kanya menutup sambungan dan memasukan ponselnya di saku baju yang ia kenakan.

SMA FATMAWATI.

Jarak antara sekolah dengan rumahnya sangat jauh. Kira-kira membutuhkan waktu satu jam hingga tiba di tempat tersebut--itupun kalau tidak macet. Gapapa jauh, yang penting dirinya harus bertemu dengan Adit, batinnya yakin.

***

“Ngapain?”

Tongkrongan Rene ayo sangat jadi trending bagi kalangan anak muda. Bagaimana tidak, harga kopi dan sebagainya masih terbilang sangat murah. Apalagi tempatnya terpasang wifi, sungguh nikmat bukan?

Dan Adit sedang berada di sini. Di tempat yang penuh dengan asap rokok. Menatap lurus seseorang yang sedari tadi mengganggunya.

“Kapan lo mutusin Kanya?”

Adit mengangkat satu alisnya. “Putus? Lo ngarepin gue sama Kanya putus?”

Seseorang itu tersenyum miring. “Kenapa emang?”

Adit mengangguk-angguk. “Mimpi,” desisnya sembari menyeruput kopi di hadapannya.

Seseorang itu masih menatap tajam wajah Adit. Tangannya mulai mengepal, menahan emosi yang siap dia semburkan. “Lo tau, gue bisa kapan aja ngehancurin perasaan Kanya tanpa sepengetahuan lo.”

“Lakuin,” jawab Adit singkat, menaruh kopinya kembali di meja.

Orang itu terdiam, tak percaya.

“Lakuin aja. Dan, bom! Persahabatan lo sama dia hancur karena omong kosong lo!” ujar Adit, tersenyum miring.

“Yakin cuma gue aja yang hancur?”

Adit mengangkat alisnya, “Ya.”

Orang itu berdiri dari kursi yang dia duduki, dan memajukan tubuhnya lalu berbisik di telinga Adit. “Lo sama gue yang bakal hancur.”

Kemudian Adit merasakan sesuatu yang menempel pada bibirnya.

***

Saran dan kritiknyaa

Merci BeaucoupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang