Kesebelas

343 111 448
                                    

Dari kecil hingga dia tumbuh besar, Kanya tidak terbiasa dengan rasa sabar. Seperti sekarang, sudah berapa kali dirinya mengumpat. Menatap kesal seseorang yang katanya tidak sengaja meninggalkan tugas kelompok di rumah.

“Maaf. Serius, gue nggak sengaja ninggalin flashdisk buat presentasi hari ini.”

“Tau gini mending gue aja yang bawa,” dengus Reka.

Kanya menatap wajah Hesa dengan alis yang terangkat, yang ditatap hanya meringis pelan sesekali menguap.

“Rumah lo, jauh?” tanya Kanya pada Hesa.

“Jauh, makanya gue tadi buru-buru,” ujarnya pelan.

“Sekarang gimana? Aliyah nggak masuk, flashdisk buat presentasi juga ketinggalan,” keluh Reka sembari menonyor kepala Hesa dari samping.

Arjuna terdiam, dia harus bisa berpikir cepat sebelum dosen yang mengajar masuk ke dalam kelas mereka.

“Tapi tugas individu, bawa semua kan?” Arjuna menatap satu-persatu temannya.

“Gue bawa dua, yang satu punya Aliyah,” ujar Kanya sembari mengeluarkan beberapa lembar folio yang penuh dengan tulisan.

Arjuna mengangguk. “Lo bawa?” dia bertanya pada Reka yang sedang berdiri di samping kiri.

Reka yang di tanya langsung mengeluarkan dua lembar folio dari tas nya dan memberikan lembar folio tersebut pada Kanya.

“Kalau, lo?”

Hesa yang sedari tadi menunduk, perlahan mendongak. “Em... anu—” Hesa menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Reka berjalan mendekat ke arah Hesa. “Lo niat kuliah nggak sih? Kalau udah tau semuanya ketinggalan, ngapain lo masuk, anjir!” geramnya.

“Emang kenapa kalau gue masuk?! Yang di hukum juga gue, bukan elo!” bentak Hesa, kesal pada Reka yang sedari tadi menyudutkannya.

“Tai, mana ada lo yang di hukum sendiri. Ini tugas kelompok, bego! Mikir!” Reka mengetuk dahi Hesa dengan jarinya.

Hesa menepis kasar jari Reka. “Lo nggak ngaca?! Ngaca sana! Lo juga pernah ada di posisi gue!”

Kanya memijit keningnya. “Kalian kalau mau berantem, sana keluar. Percuma kalian berantem, tugasnya nggak bakal ke sini.”

“Sana keluar! Anjir, ngerepotin aja lo!” Reka mendorong bahu Hesa untuk keluar dari kelas.

Arjuna menarik tangan Hesa untuk menjauh dari Reka. Sebelum menjauh Hesa menoleh ke belakang, memberi jari tengah pada Reka.

“Semoga aja dosennya nggak masuk,” gumam Kanya, ia tak tahu lagi harus bagaimana. Menyuruh Hesa menyalin soal beserta jawaban masih harus butuh waktu yang lama, apalagi mengingat betapa lambatnya Hesa saat menulis.

“Nya, gue boleh ke kan—”

“Duduk, Ka.”

Reka mendengus pelan sembari duduk di kursi sampingnya. Ia memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang.

“Nya? Kenapa nggak pinjem tugas anak sebelah?” tanya Reka, menopang dagu dengan tangan kirinya.

Merci BeaucoupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang