Ketujuh belas

400 55 359
                                    

Aku berharap karma itu nggak ada, Nya. –Aditya Gananda.

**
Seharusnya Adit sadar, sepandai-pandainya seseorang menyimpan bangkai suatu saat akan ketahuan juga. Dan siapa yang harus disalahkan? Kalau bukan diri sendiri.

Mata Adit melebar, terkejut dengan apa yang Kanya ucapkan.

"Jangan bercanda, Nya."

Adit tertawa lirih, lalu mengacak rambutnya dengan kasar.

"Kamu nggak bisa mutusin kayak gitu. Ini bukan pacaran anak abg yang dengan mudahnya minta putus! Kita tunangan, Nya. Tunangan!" ujar Adit, menatap Kanya dengan tatapan memohon.

"Aku harus gimana, Dit?" lirih Kanya sembari mengusap air matanya di pipi.

"Tapi kamu nggak harus minta break! Kita bisa bicarain baik-baik, Nya. Aku mohon." Adit mengusap wajahnya, dadanya semakin sesak.

Isakan tangis Kanya membuat Adit kelabakan. Dia takut, Ibu Kanya keluar dari rumah dan melihat Kanya menangis. Dan yang paling dia takutkan... Ibunya meminta dia untuk meninggalkan Kanya.

"Besok."

Tangan Adit sisi wajah Kanya, memaksa Kanya agar menatap matanya. "Besok aku jelasin. Sekarang kamu masuk, terus tidur. Kamu harus tenang, jangan berpikiran macam-macam, apalagi buat ninggalin aku."

Adit mendekatkan bibirnya di kening Kanya. Mengecupnya cukup lama, kemudian mengelus rambut Kanya.

"Laptopnya aku bawa dulu. Sana masuk," suruh Adit, tersenyum tipis.

Kanya hanya mengangguk dan berlalu tanpa menoleh kebelakang.

Setelah memastikan Kanya masuk, tangannya merogoh saku celana. Menyalakan ponselnya lalu mencari kontak seseorang.

"Tunggu gue di warkop."

**

"Bangsat!"

Adit melayangkan pukulan di pipi Arjuna secara tiba-tiba. Sejak di jalan tadi sebenarnya Adit sudah menahan amarahnya.

Tonjokan kembali melayang namun dapat dihentikan oleh tangan Arjuna. Mereka saling menatap tajam, hingga tiba-tiba Adit tertawa kecil.

"Gue udah nyuruh lo hapus foto gue, Jun."

Arjuna terdiam. Sial, ternyata Kanya sudah melihat foto yang dia simpan!

"Lo boleh dendam sama gue, tapi jangan bawa-bawa Kanya dalam masalah ini. Oke, gue akuin dulu gue pernah rebut Siska dari lo. Tapi setelah tau lo musuhin gue, gue langsung mutusin dia," ucap Adit pelan.

Arjuna meneguk ludahnya sendiri, jujur Arjuna sudah tidak ada dendam pada Adit. Dia sudah mengikhlaskan semuanya.

"Gue mohon, jangan ganggu hubungan gue sama Kanya." Suara Adit serak, matanya memerah, dan dadanya semakin sesak.

Perlahan tangan Arjuna menurunkan kepalan tangan Adit. Dia tatap Adit dengan sendu.

"Gue udah nggak peduli sama masalah dulu." Arjuna memalingkan wajahnya. "Nanti gue jelasin sama Kanya. Lo tenang aja." Arjuna bergegas membereskan laptop beserta bukunya yang di meja.

Arjuna menatap Adit sekilas. "Udah gue hapus foto lo. Sori, Dit." Menepuk punggung Adit sembari berlalu.

Air mata menetes dari sudut matanya, namun dengan segera Adit seka. Dia tidak peduli bahwa malam semakin larut, dia tidak peduli bahwa semua orang yang berada di sini menatapnya dengan rasa iba. Sungguh dia tidak peduli, dia ingin semuanya baik-baik saja. Meskipun sulit untuk dia wujudkan---lagi.

Merci BeaucoupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang