Chapter 11 - Zaic

628 68 15
                                    

Seluruh penumpang bus turun berhamburan ketika kendaraan yang ditumpangi telah sampai di pemberhentian. Aries dan Ashley jalan berdesakan di antaranya. Mereka berhimpit-himpit melalui lorong kecil yang terbentuk di tengah rentetan kursi penumpang. Tak jarang alas kaki keduanya menginjak atau terinjak oleh orang lain.

"Rasanya aku baru tidur barusan," keluh Ashley saat tubuhnya benar-benar melewati kanal ke luar bus. "Kenapa cepat sekali, sial."

Aries mengeratkan tali ranselnya. Ia sudah berdiri beberapa langkah di depan Ashley yang tengah berlutut kelelahan. "Ayolah, kau bisa melihat kalau sinar dari zrinc ini semakin memancar kuat." Ia mengeluarkan sekantung kain yang di dalamnya berisikan sebelas cincin dari dalam saku celananya.

Ashley memutar bola matanya kesal. "Iya, iya. Aku tidak kelelahan, kok. Kau tahu aku suka berpetualang, 'kan?" ujarnya yang tiba-tiba berapi-api.

Gadis berambut bergelombang kemerahan itu berjalan mengabaikan Aries yang sudah tertinggal.

"Hei, kau ingin ke mana?"

"Mencari zaic tentu saja," jawabnya angkuh.

"Arahmu salah. Zrinc ini bersinar kuat ketika di arahkan ke barat, bukan utara." Sungguh, Aries ingin sedikit menertawakan kebodohan Ashley yang secara tidak langsung menganggap bahwa gadis itu berpikir dirinya lebih baik dalam hal kepemimpinan.

Ashley berdecak lidah. Ia membalikkan badan dan mendekati Aries. "Baiklah-baiklah, tolong tunjukan arahnya, Ketua," ungkapnya dengan sedikit nada hina.

Tanpa basa-basi, keduanya mulai berangkat menyingkat jarak. Melintasi Los Angeles yang lumayan hampa di tengah hari. Mereka sesekali beristirahat membeli makan atau minum di toko kelontong yang sejalur, lalu kembali bergerak mengikuti petunjuk zrinc.

"Kita sudah hampir dua jam berjalan kaki dan belum mendapatkan apa-apa." Kembali, Ashley kesal atas petualangan tak bertuannya itu. "Baru kali ini aku tidak menyukai sebuah petualangan," lanjutnya.

Jam tangan besi yang melingkar di pergelangan Ashley sudah menunjukan pukul tiga sore. Berarti sudah hampir empat jam keduanya berkelana. Selama itu pula, peluh yang menetes sedari tadi rasanya terbuang percuma.

"Di depan sana sepertinya ada universitas, mungkin orang yang kita cari ada di sana?" sebut Aries menerka-nerka. Matanya begitu gatal melihat pada keramaian remaja di kejauhan sana. Bahkan, tak jarang ia menjengketkan kedua kakinya demi arah pandang yang lebih baik. Setelah lima menit lamanya berteduh di bawah rindangnya pohon, Aries menarik lengan Ashley untuk bersetuju ke tanah lapang yang luas di hadapan gedung universitas.

Tingkah keduanya tidak diragukan lagi memanggil perhatian sekitar. Wanita dengan rambut kemerahan bergelombang dan lelaki berambut sedikit kecoklatan yang berdiri bimbang di tengah-tengah mereka, tampaknya asing untuk dikenali, baik oleh mahasiswa, dosen, maupun pengurus gedung. Belum lagi sinar-sinar riuh yang menyeruak dari saku si lelaki. Mereka berdua pun hanya tersenyum dan mengangguk berulang-ulang, seraya berjalan menepi ke tembok gedung perlahan-lahan untuk menghilangkan tatapan sangsi.

Aries menyandarkan bahunya pada tembok. Dikeluarkannya kantung tersebut dan langsung meraih satu-satunya zrinc yang beraktivitas. Beruntung tempat di sekitar tidak begitu ramai dan gelap, membuat keduanya sedikit mudah untuk tidak memikirkan akan diketahui orang asing. Namun, sinar itu semakin kuat. Netra keduanya tak kuasa menahan cahaya yang dipancarkan. Ketika terpejam, sinar itu tiba-tiba menghilang.

“Apa yang terjadi?” tanya Ashley dalam penglihatan gelapnya. “Ke mana perginya cahaya itu?”

Aries tidak menjawab. Ia justru berniat membuka bola matanya kembali perlahan-lahan. “Hei, Ashley, lihatlah!” Rayuan itu seolah merapalkan sebuah mantra untuk Ashley segera membuka matanya.

Suaranya begitu meyakinkan, pikir Ashley. Tak ragu dengan apa yang diucap kawannya, ia akhirnya turut memisahkan kelopak mata yang saling berpadu sebelumnya. Akan tetapi, hal yang dilihatnya kini lebih menakjubkan. Sebuah titik bercahaya hijau melayang di antara keduanya. Melayang-layang, seperti benda yang mengambang pada suatu ketidakpastian arah arus.

“Ini ....” Tangan Ashley berupaya menyentuhnya, tetapi tidak terasa apa-apa. “Apa cahaya itu keluar dari zrinc ketika kita semakin dekat dengan zaic baru?”,

“Mungkin,” jawab Aries penuh keyakinan di sela-sela keraguan. “Kita melihat titik cahaya ini dengan Dewa Uranus, bukan? Persis seperti ini. Mungkin apa yang kau katakan barusan, masuk akal.”

Cahaya itu hanya menaikturunkan tubuhnya hingga akhirnya melintas pergi ke sisi timur--dari arah pintu masuk--gedung universitas. Aries dan Ashley mengejar pertanda itu. Mereka kini berlarian dan menjadi pusat perhatian sekitar lebih buruk dibanding sebelumnya karena ada bisikan-bisikan berisik bernada menghina. Bahkan tidak sekali atau dua kali mereka menubruk mahasiswa yang sedang berjalan santai di sekitar kampus.

“Maaf,” ucap keduanya berulang, tapi tetap berlarian seolah mengatakannya tanpa bersungguh-sungguh.

Titik cahaya itu menembus melalui tubuh seorang lelaki. Aries dan Ashley melewatinya, tetapi tidak dapat menemukannya kembali. Kalau dipikir-pikir, sejak cahaya itu muncul, baru sekali ini ia menabrakkan sinarnya pada tubuh seseorang. Mereka pun langsung berdiri di hadapan lelaki itu, menghentikan langkah, dan memandangnya penuh pertanyaan.

“Minggir,” ucapnya merasa risi. Namun, satu kata itu tidak efisien untuk menyingkirkan dua orang--yang menurutnya aneh--di hadapannya. “Hei, apa indera pendengaran kalian aktif? Dasar aneh.”

Lelaki itu berjalan menubruk tubuh Aries dan Ashley demi membuka jalan. Kembali bergerak, kedua zaic itu spontan mengekori. Lelaki berawakan normal dengan rambut hitam pekat yang diikuti langsung mempercepat langkahnya, sampai akhirnya memutuskan berlari. Dengan gesit tubuhnya itu melewati tiap-tiap tubuh yang berjalan santai di hadapannya. Beralih arah di tiap-tiap belokan untuk mengacaukan pengejarnya.

“Hei, tunggu!” Ashley berteriak, tetapi tentu saja tidak dihiraukan. “Hei!”

Ashley tidak mampu melampaui kecepatannya. Mungkin Aries mampu, apabila luka-luka di tubuhnya tidak menghalangi sendinya untuk bergerak. Mereka pun kehilangan objek pengejaran di tengah keramaian orang-orang berpulang kerja. Bahkan beberapa kali mereka tertubruk oleh orang lain karena menghalangi jalan. “Jangan berdiri di sana,” ucap seorang pria berpakaian kantor.

“Bagaimana kita menemukannya sekarang?” tanya Ashley yang mengacak rambutnya kebingungan. “Cahaya itu sudah masuk ke dalam tubuh lelaki bodoh barusan. Tidak ada lagi petunjuk untuk itu.”

Aries menengadah, lalu menyapu pandangan ke sekitar. “Kita pasti akan bertemu lagi dengannya besok.”

Frasa itu membuat Ashley mengernyitkan dahinya. Aries tahu, perkataannya itu seolah bertentangan dengan kepribadian Ashley yang notabenenya mencintai petualangan. Namun, bertindak gegabah bisa saja membuat mereka terjatuh ke jurang yang salah.

“Kita akan beristirahat untuk malam ini,” lanjutnya, kemudian menarik tangan Ashley memasuki motel yang letaknya berada di samping mereka.

▲▽▲


Aries keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada dan handuk yang menutupi bagian tubuh bawahnya. Ashley sedikit terkejut karena itu. Ia memutuskan untuk tidak melihat otot-otot yang tercetak di perut temannya. Namun, dari ekor mata, pusat yang dihindarinya itu terpampang jelas.

“Pakai bajumu.” Akhirnya ia memerintah.

Ketika memandangi tubuh Aries tadi, Ashley melihat beberapa luka sobek di sekitarnya. Akan tetapi, tidak ada satu pun mimik kesakitan yang ditunjukan oleh pemilik luka tersebut. Sebenarnya ia hanya khawatir. Mengambil remot tv, Ashley langsung menekan salah satu tombol untuk menyalakannya.

“Kau pergilah mandi, lalu beristirahat. Besok kita akan menemuinya lagi.” Kini Aries sudah mengenakan kaos putih polos berlengan panjang kesukaannya. Ia berjalan mendekati Ashley yang terlihat enggan menatap kepadanya. “Kenapa?”

Tepat sebelum Aries menyentuh bahu Ashley, gadis itu bangkit dari kasur dan melengos ke kamar mandi. Ditutupnya pintu secara kasar, lalu dikunci. Ia menatap dirinya dari cermin wastafel.

“Bodoh,” bisiknya merutuki diri sendiri

Zodiac's Series: The ChosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang