Bagian 1

38.7K 1.4K 54
                                    

Adinda Dewi, adalah seorang penulis novel yang baru saja melahirkan anak keduanya. Suaminya baru saja dilanda kebangkrutan. Setelah kebakaran pabrik kapas yang menewaskan beberapa pegawai, juga kerugian besar pada pabrik itu yang membuat mereka sekeluarga terpaksa memberhentikan pabrik peninggalan orang tua mereka.

Suaminya bernama Dimas Darmono. Seorang pekerja keras yang selalu menyayangi Adinda dan Kirana, Anak pertama mereka. Sehari-hari bekerja membanting tulang untuk menafkahi anak istri.

Kebakaran itu seperti terlalu memaksa Dimas untuk segera menghemat pengeluaran. Dimas teringat oleh rumah orang tuanya di desa Warujati. Ia berencana menjual rumahnya yang berada dikota. Yang nanti akan digunakan olehnya, uang hasil penjualan rumah mereka.

Pindah rumah sama sekali bukan pilihan baginya untuk saat itu. Namun keadaan lah yang harus dimengerti, bilamana ia tidak segera menjual rumah itu, sementara pekerjaan pun sedang tidak ada, uang apa yang akan dipakai untuk menafkahi istri dan kedua anaknya.

"Mas, kamu yakin mau menjual rumah kita? Apakah tidak ada cara lain yang resikonya lebih kecil? Sekarang ini kita punya bayi. Anak kedua kita harus benar-benar kita perhatikan. Lalu bagaimana dengan sekolahnya Kirana? Dia sudah dewasa, umurnya sudah 17 tahun. Apa penjelasan kamu untuknya nanti?"

"Aku yakin Din, cara ini adalah cara yang tepat untuk kita. Lagipula aku juga belum punya pekerjaan tetap. Para pegawai banyak yang jadi korban kebakaran. Keluarga mereka masih berduka, sementara pegawai lain trauma dengan kejadian nya. Seandainya aku memilih untuk membuka kembali pabrik, juga tidak akan berhasil. Biaya yang harus kita keluarkan akan bertambah besar, justru Kirana sudah dewasa, maka aku ingin dia mengerti kondisi kita. Kirana akan dipindahkan dari sekolahnya. Dia akan sekolah di desa."

Di dalam hati Adinda, semua begitu kacau. Berantakan. Tidak mudah baginya untuk begitu saja memprotes keputusan suaminya. Ia tau, bahwa posisi itu memang sangat sulit untuk siapapun. Apalagi tentang pendidikan Kirana.

"Ya sudah, lebih baik kamu siapkan makanan. Sebentar lagi Kirana pulang. Aku nanti yang akan menjelaskan." Kata Dimas.

"Pabrik kapas yang kebakaran itu peninggalan orang tua kamu. Yang tinggal di desa Warujati. Aku merasa tidak enak kalau harus memberi kabar buruk ini kepada mereka." Kata Adinda merubah topik pembicaraan.

"Iya, kamu siapkan dulu makanannya. Jangan terlalu serius."

Tiba-tiba Kirana datang. Membuka pintu rumah dengan kasar, tak menyambut kedua orangtuanya yang ada di dalam rumah.

"Dari awal aku sudah tidak yakin, Kirana akan mengerti. Kondisinya saja seperti itu. Sepertinya dia sedang punya masalah. Sebaiknya aku menyusulnya ke kamar."

"Semoga berhasil," Bisik Dimas. Adinda menggeleng-gelengkan kepalanya.

Dibukalah pintu kamar Kirana. "Sayang, kok wajahnya cemberut begitu? Kalau kamu ada masalah di sekolah, cerita sama Bapak, sama Ibu. Jangan menyimpannya untuk diri kamu sendiri." Kata Adinda dengan lembut kepada putrinya.

"Uang SPP Kirana menunggak tiga bulan, Bu. Tadi guru sudah bilang, katanya, Bapak sama ibu harus bayar paling lambat besok."

"Terus, kenapa kamu sedih begitu? Kan nanti tinggal dibayar. Tidak ada orang tua yang tega membiarkan anaknya putus sekolah. Sementara anak lain masih ceria dengan dunia mereka."

"Tapi Kirana kasihan sama Bapak, sama Ibu. Nyari uang kan susah. Ibu kira, Kirana tidak tahu tentang kebakaran pabrik kapas Bapak? Kirana sudah tau Bu, justru Kirana mau bantu supaya kita sama-sama berusaha untuk mencari jalan keluar dari musibah ini."

Mendengar kata anaknya, Adinda luluh. Dalam hatinya hidup kembali sesuatu yang hampir sepenuhnya padam. Semangat untuk menghidupi keluarga. Menyayangi mereka, dan bagaimana supaya bisa tetap bahagia.

"Ternyata kamu anak yang pengertian. Ibu bersyukur punya putri yang cantik, berprestasi, dan bersifat baik sepertimu, Nak." Kata Adinda sembari memeluk putrinya, tanpa sadar, air mata Adinda menetes diatas pundak Kirana.

"Bagaimana cara Kirana membantu Bapak dan Ibu?" tanya Kirana.

"Belajar yang rajin, dan nurut sama orang tua."

Kirana memeluk ibunya kembali. Ia paham, betapa besar kasih sayang Ibunya terhadapnya. Walaupun ia masih gelisah, memikirkan cara supaya orang tuanya bisa keluar dari krisis ekonomi keluarga.

"Kirana belum makan, kan? Ayo makan dulu, Bapak udah nunggu di ruang makan."

Akhirnya, Seluruh anggota keluarga pun berkumpul di meja makan. Termasuk Si Kecil, Adik baru Kirana, yang diberi nama Galih Setya Adji. Adalah motivasi terbesar Adinda dan Dimas untuk optimis dalam menghadapi ujian ini.

"Eh, Kirana.. Ayo sini, duduk di sebelah Bapak, kita makan bareng ya." ajak Dimas.

"Alhamdulillah ya,pak. Kita masih ada makan malam enak, makan pakai ikan, lengkap sama sayur-sayuran. Mungkin beberapa hari lagi, tidak akan seperti ini." Ucap Kirana sembari mendekati Dimas, dan menata piring makan.

"Kok gitu ngomongnya? Kirana ada apa?" Dimas sedikit terkejut mendengar ucapan putrinya. Dia berharap semua akan baik-baik saja.

"Pak, Kirana ini setiap akhir pekan selalu berangkat belajar tambahan. Bahkan kadang-kadang Kirana pulang malam. Bapak tahu itu, kan? Tapi apa Bapak pernah berpikir, bahwa sebenarnya Kirana juga khawatir sama Bapak? biaya belajar tambahan yang diadakan setiap akhir pekan itu tidak murah, pak. Kirana mau berhenti saja ya? Daripada Bapak tambah repot. Belum lagi kebutuhannya Galih sehari-hari. Pabrik Kapas nya Bapak kan Baru saja Kebakaran."

"Maafkan Bapak ya Nak, tapi bagaimana pun juga, kamu harus fokus sama pendidikan kamu. Dan soal belajar tambahan, sama sekolah kamu, kamu tidak usah khawatir. Semua akan Bapak bayar lunas besok. Setelah itu, Bapak urusi urusan lainnya."

"Maksud Bapak?" Tanya Kirana.

Adinda menuangkan air putih di sebuah cangkir yang terletak di depan Kirana. Dimas menunduk bingung. Situasinya benar-benar sulit.

"Minum dulu." Ucap Kirana.

"Bapak sudah bilang sama Ibu, kita akan menjual rumah ini, dan pindah ke desa Warujati. Desa Nenek dan Kakek kamu. Kirana mau kan, tinggal disana? Kirana tenang saja, Bapak akan cari sekolah paling bagus di daerah sana buat Kirana. Bapak harap, Kirana tidak keberatan."

"Sebenarnya, kalau itu memang cara untuk Kirana, meringankan beban orang tua, kenapa tidak?. Karena, tidak semua sesuatu yang berada di dunia ini harus sesuai dengan keinginan kita. Kirana ikhlas. Semua terserah Bapak sama Ibu. Selama itu baik buat masa depan Kirana."

"Terima kasih sudah mengerti keadaan Bapak. Bapak bangga sama kamu. Setelah semua urusan sekolah kamu selesai, Kita siap-siap buat pindah ke Warujati,ya." Kata Dimas, bernapas lega.

"Pak, Anaknya pengertian ya.." ucap Adinda. "Ibu juga pengertian sama Bapak."

Mereka bertiga pun tersenyum kecil, Galih yang tidak tahu apa-apa, rupanya ikut tertawa melihat keluarganya bahagia. Ikatan batin sebuah keluarga memang kuat.

"Setelah ini, kita beres-beres. Menyiapkan diri untuk pindah ke Warujati. Supaya lusa kita tidak terburu-buru berangkatnya. Persiapan jauh dari awal itu lebih bagus." Kata Dimas.

"Oh, jadi kita berangkat lusa. Memang lebih baik begitu sih. Oh iya Bu, bagaimana dengan naskah Ibu? Apa masih belum selesai?"

"Sedikit lagi kok, bulan depan, Ibu mau kirim ke penerbit. Doakan ya Nak, semoga naskah Ibu diterima."

Kirana mengangguk. Seluruh anggota keluarga rupanya menyetujui keputusan Dimas. Tak terkecuali Galih. Sedari tadi bayi laki-laki itu tersenyum melihat kakak dan orang tuanya.

Keesokan harinya, Dimas pergi ke sekolah Kirana untuk mengurus biaya pendidikan Kirana. Perpindahan Kirana juga sudah disetujui oleh pihak sekolah. Hampir semua sudah beres.

Sementara, Adinda dan Kirana sibuk beres-beres rumah. Barang-barang sudah tersusun rapi di koper. Bahkan Dimas telah menyewa mobil pick up juga untuk menggotong barang besar seperti lemari, ranjang, dan yang lain untuk dipindahkan ke tempat tinggal nya di daerah Warujati.

"Semoga perjalanan besok pagi menyenangkan." Kata Kirana. Orang tuanya mengusap kepala Kirana dan memeluknya.

"Terima kasih sayang."

"Iya Pak, Bu. Kirana sayang sama Bapak, sama Ibu."

PRING PETHUK (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang