Seketika Dimas menusuk perut putrinya sendiri. Nafas Kirana tiba-tiba berat. Mulutnya juga mendadak seperti terbungkam. Dia hanya mengerang kesakitan dengan tusukan itu. Tapi Kirana mencoba untuk bertahan. Dia menyerang balik Dimas dengan merebut gunting itu darinya.
Darah bercucuran ke lantai. Dimas tergeletak saat itu juga. Sementara Kirana mencari kain untuk menghentikan darah yang keluar.
Adinda menahan pisau yang dipegang oleh Renaldhi. Dia tampak begitu beringas. Sulit sekali rasanya bagi Adinda untuk melawan serangannya. Berkali-kali ia berusaha untuk menahan tangan laki-laki itu. Hingga akhirnya, pisau terjatuh ke lantai.
Terjadi perkelahian hebat di rumah itu. Ketika perhatian Renaldhi dialihkan oleh Kirana, Barulah Adinda bergegas mengambil pisau itu dan menusuk punggung Renaldhi hingga berlumur banyak darah.
Jeritan kesakitan disertai suara burung gagak terdengar bagi siapapun yang masuk ke dalam rumah itu. Suasana begitu mengerikan. Bagai diselimuti oleh kabut hitam dan darah segar yang mengalir dari tubuh mereka.
Sesaat kemudian, Wong Pring hadir dengan nyata. Dan merayap di pinggang Adinda dari belakang usai Adinda menusuk punggung Renaldhi. Bunyi tulang belulang makhluk itu terdengar cukup keras di telinganya hingga membuat Adinda semakin ketakutan dan mengurungkan niatnya untuk melawan lebih banyak lagi.
Antara takut, dan rasa tanggung jawab kepada putrinya terus berputar-putar dipikiran Adinda.
Dengan rasa yakin yang masih ia miliki, Adinda melafalkan sebuah doa. Hingga tanpa disadari, Cengkraman Wong Pring sedikit melemah secara perlahan.
"Hentikan, Adinda! Atau aku akan membunuh putrimu sekarang juga!" Teriak Renaldhi seolah merasa kesakitan dengan doa-doa yang diucapkan oleh Adinda.
"Ibu, teruslah berdoa! Allah akan melindungi kita berdua. Ibu tidak usah takut. Hidup dan mati Kirana sudah diatur oleh sang pencipta, Apapun yang terjadi, Berdoalah, Bu! Lawan makhluk itu, kita lebih mulia daripada dia!" Kata Kirana.
Entah darimana datangnya, badai besar datang beserta angin kencang. Gemuruh petir menggelar. Membuat tanah bergetar pelan. Adinda menangis tak kuasa menyaksikan situasi ini. Sambil melawan makhluk itu, dan berdoa, Adinda hanya mengandalkan keimanannya saja.
"Kamu tidak akan menyelesaikan apapun dengan membunuhku, Renaldhi. Aku kira kamu adalah orang yang baik. Tapi rupanya, kamu lebih hina daripada seorang pembunuh! Semoga Allah mengampuni dosamu."
Dengan kondisi perutnya yang masih berdarah-darah, Kirana mengumpulkan seluruh tenaganya untuk melawan serangan itu. Renaldhi yang berusaha menyakiti Kirana, gagal berkali-kali.
Kirana berhasil berdiri, dan mengangkat sebuah meja kaca. Meja itu dipukulkan ke kepala Renaldhi hingga ia sekarat. Suara hembusan nafasnya yang keras berusaha untuk tetap sadar.
Namun, Renaldhi tak kuasa menahan rasa sakit tersebut, dan memejamkan mata.
Badai masih berlangsung. Keadaan sangat kacau. Tetapi akhirnya, Adinda mampu melawan Wong Pring dan mengusirnya dari rumah Pak Kades.
"Apa yang baru saja kamu lakukan, Kirana?! Kamu tidak seharusnya membunuh orang itu!" Teriak Adinda.
Kirana menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menangis. Tangan yang gemetaran berlumuran darah, serta Bapak kandungnya sendiri tergeletak tidak berdaya dihadapannya membuat hati Kirana Hancur berkeping-keping.
"Kita cek denyut nadinya, Bu.. Dia belum mati.." Ucap Kirana lirih dengan air mata yang masih membasahi pipinya.
"Iya, Kita akan mengecek. Siapa tahu dia masih hidup. Ambil kain untuk menghentikan darah di kepalanya!"
"Tidak ada apapun disini, tidak ada kain di ruangan ini. Aku tidak akan lancang memasuki ruangan-ruangan, bu.."
"Sobek saja lengan panjangmu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
PRING PETHUK (TAMAT)
HorrorSebuah keluarga mendapati keanehan ketika tiba di sebuah rumah yang baru saja mereka tinggali. Desas-desus pembicaraan warga desa mengenai benda yang bernama PRING PETHUK membuat mereka heran. mereka bersikeras untuk tidak mempercayai apa yang dikat...