Bagian 42

123 14 2
                                    

  Sekarang udah jam setengah lima sore. Gue duduk di teras rumah dengan gelisah. Bingung mau pergi ke taman atau enggak.
Emang Kak Leo mau ngomong apaan sih? Mau enggak dateng, tapi penasaran. Mau dateng, tapi kok ragu. Ada rasa takut yang enggak bisa Gue jabarin.

  Ponsel di tangan Gue berdering. Menandakan ada sebuah panggilan masuk. Kambing jantan❤ nama yang tertera di layar. Dengan cepat Gue menggeser layar untuk mengangkat panggilan.

"Halo," sapa suara di seberang sana setelah panggilan terhubung.

"Halo, kenapa Niel?"

"Enggak papa. Emang nelpon harus ada apa-apa dulu?"

"Ya enggak."

"Le... tiba-tiba kok Gue pengen makan jambu air ya," terus kenapa bilang ke Gue? Mau nyuruh Gue nyariin? Jangan harap!

"Ngidam kali ah!," ledek Gue.

"Iya kali ya? Lo harus tanggung jawab Le! Nikahin Gue secepatnya!"

"Iya. Besok kalo enggak hujan Gue nikahin." Ini salah satu hal yang Gue suka dari Daniel, orangnya seru diajak ngobrol. Enggak bosenin, bukan tipe laki-laki yang kalo telponan atau chat hobinya nanya lagi apa doang. Basi! Macam enggak ada topik lain.

"Udah dulu ya Le, itu calon Mama mertua Lo bawel banget. Daritadi ngomel nyuruh Gue mandi mulu." Tanpa menunggu persetujuan dari Gue, Daniel memutuskan sambungan telepon.

  Gue kembali bingung, mau nemuin Kak Leo atau enggak. Lama Gue berpikir, akhirnya Gue memutuskan untuk menemui Kak Leo. Rasa penasaran Gue lebih tinggi dibanding rasa takut.

  Segera Gue berjalan menuju taman komplek. Tempat Kak Leo tentuin. Di perjalan Gue kembali berpikir, sebenernya yang Gue lakuin ini bener atau salah? Gue udah punya Daniel, gimana pun perasaan dia harus Gue jaga. Ini tadi aja Gue enggak kasih tau dia.

  Tapi enggak papa kali ya? Kan Gue enggak ada niatan yang salah. Lagian Daniel orangnya enggak tukang marah. Apalagi cuma masalah ginian.

  Sampai di taman, segera Gue mengedarkan pandang. Mencari keberadaan Kak Leo. Dan ya, Gue menemukannya. Kak Leo sedang duduk di bangku taman tepat di bawah pohon rindang. Matanya menatap kosong ke depan, sedangkan tangannya sibuk memainkan kaleng minuman soda.

  Gue berjalan mendekatinya.
"Kak Leo." Kak Leo mengalihkan pandangannya ke Gue. Memberikan satu senyuman manis. Senyuman yang dulu selalu Gue sukai, yang bisa buat Gue luluh seketika.

"Gue kira Lo enggak dateng Le," ucapnya.

"Penasaran sama apa yang mau Lo omongin Kak. Makanya kesini," jawab Gue jujur.

"Duduk sini!" Kak Leo menepuk tempat kosong di sebelahnya. Gue mengikuti perintahnya.

"Kak Leo mau ngomong apa?"

"Penasaran banget ya Le? Atau Lo enggak nyaman deket-deket Gue? Makanya pengen cepet-cepet."

"Eh!" Gue enggak tahu harus menjawab apa.

"Enggak kangen Gue apa Le?" Tanya Kak Leo sekali lagi. "Padahal Gue kangen banget," lanjutnya dengan lirih. Yang sayangnya masih bisa Gue dengar.

"Udah lama banget kita enggak duduk berduaan ya Le."

  Gue terkekeh pelan. "Sekarang udah beda Kak, yang ada disisi kita pun udah enggak sama. Kita punya hati dan perasaan yang harus kita jaga masing-masing."

"Le, Gue capek."

"Capek ya istirahat lah Kak," jawab Gue singkat. Kak Leo hanya tersenyum mendengar jawaban Gue.

"Harusnya malam itu jadi malam yang membahagiakan untuk kita Le." Secepat kilat Gue menoleh ke arah Kak Leo.

"Maksudnya?"

"Malam perayaan ulang tahun Lo, harusnya kita jadi pasangan yang bahagia. Tapi sayang semuanya cuma jadi angan." Diakhir kalimatnya Kak Leo tersenyum lagi. Bedanya, kali ini bukan senyum manis seperti biasanya, tapi senyum getir yang dipaksakan.

"Gue hancur saat liat Lo nangis di malam itu Le, dan penyebabnya kerena Gue." Gue semakin dibuat bingung sama kata-kata Kak Leo.

"Gue tahu semuanya Le. Gue tahu misi rahasia yang Lo lakuin. Gue tahu perasaan Lo ke Gue. Semuanya Le," ucap Kak Leo sendu.

"Di malam itu, harusnya kita yang tunangan. Bukan Gue sama Reta. Tapi berita yang dibawa Papa menghancurkan semua yang udah Gue susun. Bukan cuma Lo yang hancur, bukan cuma Lo yang menderita Le, Gue juga."

Dengan seksama Gue mendengarkan penjelasan Kak Leo.

"Sore itu Papa dateng, dia bawa Reta. Papa memohon sama Gue biar mau tunangan sama Reta, dan batalin rencana pertunangan kita. Papa nabrak Ayahnya Reta yang seketika meninggal dunia," jeda sejenak. Kak Leo terlihat mengusap sudut matanya yang berarair.

"Reta meminta pertanggung jawaban Papa. Dia enggak mau cuma sekedar uang. Dia minta keluarga Le, karena Papa udah ambil satu-satunya keluarga yang dia punya. Papa bingung harus gimana. Hingga akhirnya Papa memilih untuk menjadikan Reta sebagai anak angkat. Papa bawa Reta pulang ke rumah. Dan di situlah Reta ketemu Gue, dia berubah pikiran. Dia enggak mau jadi anak angkat. Dia mau dinikahkan sama Gue Le. Jelas Gue menolak! Tapi Reta mengancam akan melaporkan Papa ke polisi. Gue enggak bisa apa-apa Le, sebagai anak Gue enggak mau melihat orang tua Gue menderita."

"Kak," panggil Gue lirih.

"Lo enggak kepedean, semua yang Lo rasain emang bener. Perasaan Lo selama ini enggak pernah bertepuk sebelah tangan." Seketika air mata Gue luruh.

Kenapa disaat semuanya mulai berjalan seperti biasa, satu fakta buat Gue kembali terjatuh. Bukan cuma Gue yang tersakiti disini, tapi Kak Leo juga. Kita berdua hanyalah korban dari kesalahan yang bahkan enggak pernah kita lakukan.

Jalan yang kita tempuh udah beda. Kembali bersama hanya akan menyakiti banyak pihak. Disaat seperti ini buat Gue berkhayal, andai aja mesin waktu beneran ada. Gue bakal jadi egois buat tetap nahan Lo di sisi Gue Kak. Tapi sayang, semua hanya khayal yang enggak bisa jadi nyata. Sekarang kita hanyalah dua orang yang pernah saling mencintai di masa lalu.

Kak Leo menggenggam kedua tangan Gue. "Gue harus gimana Le? Apa yang harus Gue lakuin? Agar kembali ada kata kita antara Lo dan Gue."

***
Give me vote and coment

Lampung, 2 juli 2019

EXPECT (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang