Bagian 36

116 11 3
                                    

Terhitung udah 10 hari Gue menjauh dari Kak Leo. Dan respon yang Gue dapet adalah Kak Leo yang sama sekali enggak peduli sama Gue. Enggak ada satu pun pesan yang Gue terima dari dia. Padahal dulunya sering banget spam chat ke Gue.

Kak Leo juga udah enggak pernah main ke rumah Gue lagi. Gue bingung harus gimana, jika menurut rencana udah jelas semua ini bukan prank, ini nyata. Kak Leo beneran ninggalin Gue, dan tunangan dia waktu itu benar adanya.

Gue enggak tahu kenapa semuanya jadi kacau, rencana Gue semuanya berjalan sukses. Tapi kenapa disaat-saat terpentingnya harus hancur berantakan kayak gini.

Bertahun-tahun Gue udah bareng Kak Leo, biarpun tanpa status Kak Leo enggak pernah seenggak peduli ini sama Gue.

Air mata kembali menetes di pipi Gue. Untuk urusan perasaan Gue emang secengeng ini. Tiga hari pertama Gue menjauh, rasanya masih biasa aja, tapi di hari ke empat sampai sekarang nyeseknya luar biasa. Jujur! Gue berharap Kak Leo dateng ke Gue dan minta maaf untuk semua perlakuan dia selama beberapa hari ini. Dan bilang, ini cuma prank. Gue enggak perlu nangis harusnya Gue tersenyum bahagia, Kak Leo kasih Gue kejutan.

Tapi sayang, itu semua cuma ilusi yang ada di otak Gue. Kenyataannya, Kak Leo enggak pernah datang, enggak nenangin Gue dan enggak ada kejutan impian buat Gue.

Gue capek! Gue mau semuanya di perjelas. Gue berdiri di depan kaca melihat penampilan Gue yang bisa dibilang berantakan banget. Rambut acak-acakan banget, masih pakai baju tidur yang udah lusuh, mata bengkak karna kebanyakan nangis, dan muka yang kucelnya ngalahin kain lap.

Gue sedikit merapikan penampilan, cukup menyisir rambut Gue supaya lebih rapi dan cuci muka biar lebih enak dilihat.

Gue bergegas keluar kamar, tujuan Gue adalah pergi ke rumah Kak Leo. Enggak peduli apa yang bakal Gue dapet nantinya. Beruntungnya Bang Nando lagi enggak ada di rumah. Jadi Gue enggak perlu pusing ngadepin dia.

Rumah Gue jaraknya deket sama rumah Kak Leo, tapi enggak tau kenapa kali ini Gue ngerasa jarak antara rumah kita itu jauh banget. Jalan udah cepet tapi tetep enggak sampai-sampai. Karena kesal Gue memutuskan untuk berlari, semakin lama di jalan cuma akan membuat keyakinan Gue goyah.

Baru sampai di depan rumah Kak Leo aja hati Gue udah dibuat hancur gini. Gimana enggak, di depan mata, Gue liat Kak Leo yang lagi meluk Reta. Pelukan yang terlihat begitu hangat.

Kaki Gue perlahan melangkah mundur, sesak di dada begitu menyiksa. Sekuat tenaga Gue mencoba bertahan, menyaksikan hal yang sebenernya hanya akan membuat Gue semakin terluka.

Karena merasa diperhatikan mereka berdua mengalihkan atensinya ke Gue. Terlihat jelas raut terkejut dari keduanya. Semua udah sampai tahap ini, enggak ada pilihan lain lagi.

Mengumpulkan keberanian, Gue melangkahkan kaki menghampiri mereka. Satu senyuman miris Gue berikan untuk Kak Leo. Seakan menggambarkan gimana kacaunya hati Gue.

"Ini semua apa Kak?" Tanya Gue lirih. Enggak ada jawaban yang Gue dapat. Mereka berdua menatap Gue lekat, dengan tetap mengunci mulutnya.

"Le..." Kak Leo berjalan mendekat ke arah Gue. Meninggalkan Reta yang masih diam di tempatnya.

"Kak Leo anggap Gue ini sebagai apa?" Keliatan banget kalo Kak Leo bingung mau jawab apa. Tangannya meremas rambut frustasi.

"Gue ini siapa buat Lo Kak?" Gue berjalan lebih mendekat ke Kak Leo. Gue genggam kedua tangannya, menyelami kedua bola mata Kak Leo. Berharap Gue bisa dapat jawaban atas semua pertanyaan yang ada di otak Gue lewat pancaran ke dua bola mata itu.

"Lo itu adik dari sahabat Gue yang udah Gue anggap sebagai adik sendiri," jawab Kak Leo. Matanya menatap Gue yakin.

"Sebatas itu?" Kak Leo mengangguk mantap menjawab pertanyaan Gue. Seketika pertahanan Gue runtuh. Emosi, kecewa, sedih, patah hati, semua rasa itu bercampur jadi satu.

"Gue cinta sama Lo Kak! Dan ini semua karena perlakuan Lo ke Gue! Perasaan ini enggak akan pernah tumbuh kalo Lo enggak ngasih pupuk dengan cara Lo selalu perlakuin Gue dengan begitu baik brengsek!!" Jari telunjuk Gue mengarah ke muka Kak Leo. Gue tau ini enggak sopan, tapi disaat seperti ini kesopanan enggak lagi penting buat Gue.

"Kenapa Lo kasih Gue harapan sebesar ini Kak? Lo buat Gue berpikiran Lo itu punya rasa yang sama kayak Gue, tapi nyatanya apa? Lo anggap Gue sebagai adik Lo? Bullshit!!"

Kak Leo masih tetap diam sembari menatap Gue yang menangis meraung di hadapannnya.

"Lo sendiri yang bilang Gue ini perempuan spesial di hidup Lo kan? Ini cara Lo memperlakukan orang yang Lo bilang spesial? Kasih dia harapan yang tinggi setelah itu Lo tinggalkan? Gue salah apa sama Lo hah?!"

"Ini semua salah Lo Le! Lo yang salah mengartikan kedekatan kita selama ini. Coba pikir! Semua perlakuan Gue selama ini cuma sebatas kakak ke adiknya. Enggak ada yang berlebihan sama sekali," jawab Kak Leo, yang seakan membuat dunia Gue runtuh seketika.

"Gue yakin Lo enggak sebego itu Kak!! Lo pasti bisa bedain gimana perlakuan seorang kakak ke adiknya atau yang lain."

Gue melangkahkan kaki Gue menjauh dari rumah Kak Leo, tempat yang mungkin enggak akan Gue datangi lagi. Enggak akan ada hal yang menyangkut Kak Leo di hidup Gue lagi. Semuanya bakal Gue buang, enggak peduli itu berharga buat Gue dulunya.

Menghapus air mata kasar, Gue mencoba terssnyum. Kak Leo boleh hancurin hati, tapi enggak dengan hidup Gue. Dia bisa dengan mudah melupakan, pasti Gue juga bisa. Semuanya cuma perlu waktu dan pasti akan kembali berjalan dengan baik.

"Loh, Ale kenapa?" Tanya seseorang yang udah Gue anggap sebagai Ibu kedua buat Gue. Siapa lagi kalo bukan Bunda. Tanpa banyak bicara Gue peluk Bunda erat. Mencoba membagi semua yang Gue rasakan ke Bunda.

"Udah jangan nangis! Kita ke rumah Bunda ya? Kamu bisa cerita semuanya ke Bunda" Gue cuma menganggukan kepala menyetujui Bunda.

Kita berdua berjala menuju rumah Bunda yang letaknya di samping rumah Gue. Sepanjang perjalanan Bunda terus menggenggam tangan Gue lembut.

Sesampainya di rumah Bunda, Gue kembali menangis terisak. Menceritakan semuanya dengan tangis tersedu-sedu.

Terserah kalo kalian mau bilang Gue ini lebay, atau apalah sejenisnya Gue enggak peduli. Hati yang terluka itu sakitnya enggak bisa dibandingin sama tangan Lo yang ke gores pisau, atau ketusuk jarum jahit pas masukin benang. Itu sama sekali enggak ada apa-apanya.

***
Give me vote and coment

Lampung, 17 juni 2019

EXPECT (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang