Gita dan Aswa sedang berbahagia karena kelahiran anak mereka, Bima. Kebahagiaan mereka bertambah saat Aswa mendapat kenaikan jabatan sebagai kepala produksi dan diberikan fasilitas sebuah rumah dinas.
Mereka pindah ke rumah baru tersebut.
Gita dan...
Ki Demang masih duduk termenung di kursi goyangnya. Wajah terus tertunduk seolah tengah memikirkan sebuah beban berat. Para pesuruh dan abdi Ki Demang ikut berdiam diri, duduk menghadap pada junjungannya yang tengah gundah.
Ki Demang menghela napas. "Sudah kalian makamkan dengan layak?"
"Sudah, Ndoro. Semua sudah dilakukan sesuai dengan perintah. Warga juga sudah tidak lagi berkerumun. Prajurit utusan kerajaan yang terluka juga sudah kami obati." Jelas pesuruh berkumis tebal.
"Bagus, Jiwo. Terimakasih, kamu dan para abdi yang lain sudah mau bersusah payah mengerjakan seluruh tugas dengan baik."
"Nyuwun sewu. Maafkan atas kelancangan saya. Tapi, saya sangat khawatir dengan kutukan terakhir Bendara Raden Ayu. Akankah itu akan benar-benar terjadi? Apakah warga kita akan mengalami kesengsaraan?" Jiwo sang pemimpin abdi Ki Demang memberanikan diri menanyakan hal yang mengusik hati seluruh warga.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kembali Ki Demang menarik napas panjang. Dia beranjak dari tempat duduknya dan memandang langit yang sudah kembali beranjak pagi.
"Situasi ini sulit, Jiwo. Bendara melakukan kesalahan besar. Tetapi, Raja dan Tumenggung juga melakukan kesalahan yang menjadi pangkal kekesalan Bendara. Kesalahan tak dapat murni ditimpakan pada Bendara Raden Ayu." Jelas Ki Demang.
Semua abdi Ki Demang menundukkan wajah dalam-dalam. Masih segar dalam ingatan mereka tentang perilaku Raja dan Tumenggung yang berlaku sewenang-wenang. Terutama pada para selir kerajaan. Mereka memperlakukan para selir tak lebih seperti budak nafsu para pejabat kerajaan. Hidup dalam gelimang harta kerajaan, tetapi harga diri sudah hilang bersama dengan kehormatan mereka. Begitulah kehidupan para selir kerajaan.
"Ucapan Bendara mungkin akan terbukti. Kita lihat saja nanti. Bendara pun berhak mendapat keadilan atas keadaannya. Siapa wanita yang sanggup kehilangan harga diri dan nyawa anak semata wayangnya? Sebuah kewajaran jika Bendara berubah menjadi sosok yang jahat dan mengerikan." Jelas Ki Demang lagi.
"Lantas, apakah kita akan selamat?" tanya Jiwo.
"Asal kamu tahu, Jiwo. Pada mereka yang berjalan dan bertindak atas nama kebenaran yang sebenarnya, dia akan selamat. Pada mereka yang bertindak sewenang-wenang, hanya kesusahan akhirnya. Hanya itu pedoman saat ini. Kalian harus ingat itu."
Ki Demang berjalan menuju ke kotak kayu tempatnya menyimpan berbagai keris. Keris yang telah mencabut nyawa Bendara dan pengikutnya dikeluarkan. Dengan satu kali hentakan tangannya, Ki Demang mematahkan keris tersebut hingga hancur berkeping-keping. Semua terkejut. Keris itu kemudian menguap menjadi abu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku tak mampu melawan Raja dan Tumenggung sendirian. Mereka terlalu berkuasa. Jika aku bertindak lebih dulu bersama dengan Bendara, kalian dan seluruh warga tak berdosa di sini yang akan menjadi korban." Ki Demang membersihkan tangannya dengan kain lurik penutup peti kayunya.
"Tapi, Jiwo, mulai hari ini, semua akan berjalan berbeda. Jika kalian memang ingin berjalan di atas kebenaran, mari bersamaku. Jika kalian takut, aku paham dan tidak akan membebani kalian dengan hal ini. Jika kalian ingin kuasa dan harta, silahkan menuju rumah Tumenggung dan menghadap sang raja."
Jiwo dan seluruh abdi Ki Demang mengangkat kepala dan menangkupkan kedua tangan mereka. Tak ada satu pun yang beranjak dari tempat duduknya. Tanda takzim dan kesetiaan. Para abdi ki Demang telah mengambil keputusan.
Mereka tahu, hari-hari berikutnya akan dilalui dengan berat.