"Lho, katanya mau pakai pesawat? Kenapa engga jadi?" Tanya ibunda Gita ketika tiba di Madiun. Perjalanan hanya memakan waktu tujuh jam saja. Gita dan Aswa tidak memberitahu tentang perubahan rencana keberangkatan agar orangtua mereka tak khawatir. Kala itu masih pagi buta saat mereka sampai di tempat itu.
"Sudah, jangan banyak ditanya dulu. Biarkan mereka istirahat. Sudah, bantu Gita menggendong Bima. Biar barang-barang dibawa sama Sastro." Suara Bapak dalam, khawatir tapi tak berusaha menampakkan.
Aswa menceritakan singkat keputusan mereka mengubah rencana perjalanan. Bapak melihat kondisi Bima yang masih terlelap tidur. Tidak ada tanda-tanda bahwa Bima tengah sakit atau cidera.
Tetapi, sejak pagi itu Bapak sama sekali tak mampu memejamkan mata hingga Aswa dan Gita bergabung dengannya saat hari sudah menjelang siang.
"Kalian sudah makan? Sudah cukup istirahatnya?"
"Sudah, Pak. Rencananya hari ini saya mau melihat rumah yang akan kami tempati di Giriloka." Jelas Aswa.
"Bapak ikut ke sana. Sekalian nanti ketemu dengan beberapa orang yang akan membantu kalian membersihkan dan merawat rumah. Ada satu asisten rumah tangga yang akan tinggal menemani Gita merawat Bima selama kamu kerja," Sahut Bapak.
Aswa menyetujui rencana bapak.
Perjalanan ke Giriloka sungguh memanjakan mata. Jalanan masih lengang, tak seperti ibu kota atau kota hujan tempat mereka sebelumnya, selalu macet. Pohon pinus menghiasi hampir seluruh jalanan yang berkelok-kelok. Udara dingin dan segar semakin menambah sempurna Giriloka sebagai daerah yang indah.
Perjalanan mereka sampai di tengah pedesaan Timur Giriloka. Bangunan khas Jawa menjadi ciri dari hampir seluruh rumah yang ada di situ. Ketika mereka turun, sudah ada enam orang yang menunggu. Lima orang yang akan membersihkan rumah dan satu orang yang diminta Bapak sebagai asisten rumah tangga untuk Gita.
Nyatanya Gita sudah mengenal Asri, sang asisten rumah tangga, dia adalah anak angkat Bapak ketika mereka masih kecil. Gita seperti tengah reuni.
"Ya Ampun, Asri. Kamu ternyata pindah ke Giriloka? Bapak kok, engga pernah cerita, ya." Mereka berpelukan.
Segera saja mereka menuju rumah dinas Aswa. Rumah gaya Jawa modern. Halaman dan pekarangan yang luas penuh dengan rumput tinggi. Bangunan itu berdiri kokoh dikelilingi pohon pinus. Ada tiga kamar besar dan dua kamar mandi. Ruang tamu, ruang keluarga lengkap dengan dapur. Bangunan bergaya lama namun dipenuhi dengan peralatan modern.
Gita langsung jatuh cinta dengan rumah itu. Suasananya sejuk dan rumah besar namun modern Sebenarnya, jarak antar rumah tak terlalu jauh. Hanya karena luasnya halaman dan pekarangan membuat setiap rumah seperti berjauhan jaraknya.
Para pekerja itu langsung membersihkan rumput di halaman, pekarangan dan ada pula yang merapikan bagian dalam rumah. Semua sibuk dengan tugas masing-masing. Hanya Asri yang masih duduk terdiam memandangi rumah dari luar.
"Kamu kenapa, As?" Gita ikut duduk di sebelah Asri.
"Ah, engga apa-apa, Non." Jawaban Asri tak memuaskan Gita.
"Kamu masih seperti dulu. Tak pandai berbohong. Ayolah, katakana apa yang mengganggu pikiramu?"
"Saya hanya heran. Mengapa Den Aswa mau menerima pindah ke kota kecil begini. Di pedesaan. Kenapa ndak minta rumah dinas di Madiun saja. Kan, ke Giriloka bisa sambil naik mobil pulang pergi. Dan ndak jauh juga, tho? Maaf ya, Non Gita, saya lancang bertanya."
"Tadinya saya juga berpikir begitu. Malahan saya ingin tinggal sama bapak dan ibu saja. Tetapi, kamu tahu kan, pekerjaan Aswa sangat banyak. Jadwalnya sangat padat. Apalagi kantor Aswa di daerah sini terkenal sebagai cabang produksi terbaik. Sehingga tuntutan kerja pada Aswa pun juga besar. Saya takut jika Aswa terlalu sering bolak-balik dengan jarak tempuh tiga puluh menit akan membuatnya kelelahan. Apalagi Sabtu atau Minggu sering diminta untuk lembur. Saya enga tega, As."
Asri hanya mengangguk. Berusaha memahami kondisi Gita.
"Nanti malam warga sini mau ngadain selametan di rumah ini. Bapak Non Gita yang meminta. Semua keperluan selametan sudah disiapkan sama Pak Dhe Darmo. Masih ingat kan? Dia dulu guru ngaji kita. Sekarang jadi kepala desa di sini."
Gita mengangguk pelan. Pandangannya kosong mengarah ke rumah besar itu. Sudah menjadi adat di Jawa jika pindahan rumah, warga sekitar dan keluarga akan mengadakan selametan atau tasyakuran. Bersyukur atas tempat baru dan meminta perlindungan dari hal-hal buruk.
Sayang, Gita tak mungkin mengikuti selametan itu. Dia harus kembali ke Bima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lokatraya
TerrorGita dan Aswa sedang berbahagia karena kelahiran anak mereka, Bima. Kebahagiaan mereka bertambah saat Aswa mendapat kenaikan jabatan sebagai kepala produksi dan diberikan fasilitas sebuah rumah dinas. Mereka pindah ke rumah baru tersebut. Gita dan...