Part 9: Terlambat

21 4 0
                                    

Ki Demang dan para abdi memacu kuda mereka ke arah keraton. Derap kaki kuda seolah berkejaran dengan angin. Ki Demang memimpin di depan sambil terus menatap ke arah Keraton. Langit hitam menyelubungi wilayah keraton. Burung berterbangan seolah menghindari sesuatu. Sungguh berbeda dengan langit di atas derapan kaki kuda ki Demang, yang masih nampak cerah.

"Semoga kita tidak terlambat," Ki Demang makin membungkukkan badannya seolah meminta kuda untuk berlari lebih kencang.

Ketika memasuki pusat kota, suasana sangat hening. Angin masih berhembus kencang. Petir masih menyambar tetapi hujan telah berhenti. Pusat kota itu seperti tak berpenghuni. Bau anyir menyeruak ke udara. Ki Demang dan para abdi menahan kuda mereka agar berjalan pelan-pelan.

Mayat penduduk bertebaran di sepanjang jalan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mayat penduduk bertebaran di sepanjang jalan. Tak ada darah, hanya bau gosong dan anyir. Tubuh mereka tergeletak dengan kondisi hitam legam, mengenaskan. Lelaki, perempuan, anak-anak bahkan binatang ternak.

Ki Demang dan rombongannya turun dari kuda dan berjalan menuju Keraton. Gapura, pintu gerbang dan bagian depan keraton sudah hancur berantakan. Mereka kembali menemui mayat yang bergelimpangan di sembarang tempat. Kondisi mereka sama, terbakar dan gosong.

Ki Demang mencari-cari sosok yang paling dia khawatirkan sejak berangkat.

"Demang, siapa yang kau cari?" gelegar suara Bendara membuat seluruh abdi serentak menghunuskan keris. Awan hitam serupa asap bergulung di depan mereka.

"Bendara, apa yang sudah kamu lakukan? Mereka penduduk yang tidak bersalah. Tidak perlu ikut menanggung kutukanmu."

Suara tertawa Bendara Raden Ayu menggelegar.

Suara tertawa Bendara Raden Ayu menggelegar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mereka harus menanggung. Mereka semua hanya diam saat aku diperlakukan tidak adil."

Jiwo yang diminta mencari jasad Raja dan Ratu telah kembali diam-diam dan membisikkan sesuatu pada Ki Demang.

"Jasad Raja dan Patih tidak ada. Pintu rahasia terbuka lebar dan ada jejak kuda. Ratu dan seluruh selir beserta penerus tahta sudah meninggal."

Ki Demang menunduk.

"Bendara, kembalilah ke duniamu. Raja sudah tidak ada. Dia akan merasakan perihnya hidup dunia dalam bayang-bayangmu." Ki Demang menghunus sebuah keris. "Jika kamu tidak kembali ke duniamu, aku sendiri kali ini yang akan menghabisimu. Dan kamu tidak akan pernah merasakan keindahan kayangan ataupun dendam yang tertuntaskan."

Keris Ki Demang menyala. "Segera kembali ke duniamu, Bendara. Raja sudah tidak ada lagi. Tenangkan dirimu."

Bendara menjerit tersiksa. Petir menyambar dan angina semakin kencang.

"Kembali atau aku yang akan menghabisimu!" Suara Demang yang tegas pasti akan membuat siapa pun yang mendengar ciut nyali.

"Aku akan kembali ke duniaku, Demang. Tapi, dendamku belum tuntas. Aku akan kembali suatu hari nanti." Seketika asap hitam menggulung diselingi suara petir. Dan Bendara pun menghilang.

 Dan Bendara pun menghilang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cuaca kembali cerah. Matahari bersinar terang seperti sedia kala. Ki Demang menyarungkan kerisnya.

"Kalian semua buatlah kuburan masal. Kita akan kuburkan mereka semua dengan layak. Jiwo segera kembali ke desa dan minta warga desa ke sini untuk menggelar ruwatan keselamatan." Segera seluruh abdi Demang menyebar ke seluruh penjuru, mengumpulkan mayat yang tercecer.

"Nyuwun sewu. Maafkan saya jika lancang. Apakah Bendara Raden Ayu akan kembali?" tanya Jiwo yang belum beranjak dari tempatnya.

"Saat ini, dia tidak akan kembali. Entah suatu hari nanti. Saat Raja atau keturunannya dapat dia temukan di muka bumi ini. Aku tak mampu membendung amarah dendamnya. Jangan khawatir Jiwo, kita sudah aman. Setiap perbuatan akan menuai hasilnya. Entah saat ini atau di masa depan nanti."

Ki Demang lalu bersimpuh di lantai menangkupkan kedua telapak tangannya di dada lalu mulai merapalkan doa-doa. Jiwo tak lagi berani mengganggunya.

LokatrayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang