Part 14: Pelarian

34 5 2
                                    

Jawa di masa lampau

Sebuah desa di pinggir hutan Roban

Tiga puluh hari selepas peristiwa keraton

Petaka keraton menjadi bencana bagi pemerintahan dan seluruh daerahnya. Keraton telah tumbang dan tak ada satu penerus pun yang memegang kendali pemerintahan. Masing-masing daerah berada di bawah kendali Tumenggung atau Demang setempat. Kabar kematian sang Raja, Permaisuri dan seluruh pejabat keraton menjadikan suasana mencekam.

Saat malam tiba, tak satu pun warga di berbagai daerah yang berani kelaur. Mereka takut jika Sang Bendara Raden Ayu kembali hidup. Meskpiun kabar bahwa Ki Demang mampu mengembalikan Bendara ke Lokatraya, tetapi, ketakutan masih berkembang diantara masyarakat.

Ki Demang Wratsongko, adalah pemimpin salah satu daerah keraton yang disegani bahkan sang raja sekalipun. Dialah yang selama ini mengemban tugas sebagai pengawal tahanan Bendara Raden Ayu dan dayang-dayangnya. Pemberontakan Bendara Raden Ayu pun dapat dihentikan oleh Ki Demang. Setelah ratusan korban berjatuhan di tangan Bendara, Ki Demang muncul dan menghentikannya.

Kemuliaan sikap, perilaku dan ketinggian ilmu membuat Ki Demang dihormati. Berbagai tawaran jabatan dalam pemerintahan keraton ditolaknya. Bahkan tanah pemberian raja pun ditolaknya. Ki Demang memang tidak terlalu menyukai Raja yang saat ini memangku jabatan.

Beberapa tindakan raja bahkan membuatnya gusar. Salah satunya adalah, kegemaran raja mencari selir dari warga desa tempatnya berkunjung. Setelah raja bosan dengan para perempuan itu, nasib mereka menjadi petaka. Para selir itu akan menjadi pemuas nafsu para pejabat. Keraton tak ubahnya seperti tempat pelacuran.

Para perempuan belia yang diambil sebagai selir tak dapat kembali ke keluarganya. Saat sang Raja menginginkan satu wanita, tak ada satu pun rakyat atau pejabat keraton yang mampu menahan. Tak sedikit orang tua yang sering menyembunyikan kecantikan anak-anak perempuan mereka karena takut akan menjadi incaran. Rakyat tak berani menolak, karena kesengsaraan menjadi ancaman.

Dari seluruh wilayah keraton, hanya wilayah Ki Demang saja yang tak pernah dikunjungi Raja. Bukan karena raja tak ingin berkunjung, tapi, segan karena Ki Demang adalah sosok penentang paling keras.

Diantara keheningan suasana malam di desa pinggir hutan Roban, sebuah rumah sederhana nampak meredupkan lampu minyaknya.

"Nyuwun sewu, Sinuwun. Ini adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawa Tuanku. Jika berkenan, Sinuwun harus menghabiskan sisa hidup dalam kondisi seperti ini." Seseorang dengan baju rakyat desa sederhana terlihat menunduk di hadapan lelaki dengan kulit halus dan sorot mata lelah.

"Apapun, Patih. Lakukan yang diperlukan. Aku tak apa menjadi rakyat biasa jika memang ini akan menyelamatkan banyak orang. Terutama nyawaku. Aku akan menjadi rakyat biasa selamanya." Jelas sang lelaki yang dahulu adalah Raja keraton.

"Ki Demang memang sudah mampu mengembalikan Bendara Raden Ayu ke Lokatraya. Tapi, kita semua tahu, bahwa Bendara telah mengeluarkan kutukannya. Kita tak pernah tahu sampai kapan Ki Demang akan mampu melindungi seluruh negeri ini." Jelas lelaki berpakaian sederhana itu yang dahulunya adalah patih keraton.

"Aku sudah tak memiliki siapa pun dan apa pun di dunia ini, Patih. Aku bukan lagi seorang Raja. Kamu sudah bebas menjadi rakyat, Patih. Ini semua terjadi karena perilaku tercelaku di masa lalu. Aku sudah membuat hati para orangtua patah dan harga diri seorang wanita hancur berantakan." Sang raja itu meneteskan air mata, menekan wajahnya keras-keras dengan kedua telapak tangannya.

"Aku telah membuat Bendara Raden Ayu menjadi sosok setan yang menjadi petaka untuk rakyat dan hidupku sendiri. Tahta dan harta dunia membutakanku. Patih, saat ini aku adalah Ogya, rakyat biasa yang akan menjadi penghuni desa kecil ini. Engkau sudah bebas, Patih. Aku tak akan menghalangimu jika ingin pergi dari sini." Raja sesenggukan diantara penyesalannya.

LokatrayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang