Rumah Gita Nampak seperti rumah baru. Suasana menjadi cerah dengan sentuhan wallpaper kekinian. Gita sepertinya juga telah lupa akan insiden gelas pecah di dapur. Tetapi, tidak dengan Asri dan Pak Sastro. Mereka menganggap hal itu sebagai pertanda bahwa ruwatan harus segera dilaksanakan. Mereka pun memberanikan diri menceritakan kejadian tersebut pada Aswa.
Saat mendengar penuturan Pak Sastro sore itu, Aswa hanya mampu terdiam. Antara ingin mempercayai dan mengingkari. Dia meminta pak Sastro untuk tidak membahas hal itu lagi pada Gita. Dia yang akan berbicara langsung pada Gita.
Hari ini rumah mereka kembali ramai. Para tukang sibuk memasang lampu dan berbagai hiasan taman. Seperti biasa, Gita menjadi komando dari seluruh kesibukan pagi itu. Aswa yang hendak pergi bekerja pun mengurungkan niatnya dan memilih duduk di halaman depan.
"Lho, kok belum berangkat kerja? Sudah telat, kan?" tanya Gita heran dengan tingkah suaminya.
"Hari ini aku ingin libur saja." Jawab Aswa asal-asalan sambil menyesap kopi hitamnya.
"Wah, tumben. Ada apa, nih? Eh kamu engga lagi sakit, kan?" Gita menempelkan tangannya di dahi Aswa.
"Sehat seratus persen. Apalagi sambil ngeliatin kamu yang sibuk hilir mudik." Aswa menangkap pinggang Gita dan memangkunya. "Masih akan renovasi apalagi, Cantik?"
"Ah, engga banyak. Hanya pasang lampu sama hiasan taman aja. Biar halaman sama pekarangan rumah jadi ramai. Bima juga biar makin betah main di halaman. Rumputnya aku ganti sama yang empuk." Jelas Gita.
"Sayang, kamu engga mau mempertimbangkan saran Asri sama Pak Sastro tentang ruwatan?" tanya Aswa hati-hati.
Gita menarik napas panjang, memeluk Aswa. "Asri dan Pak Sastro juga bilang sama kamu kalau mau renovasi harus pakai acara ruwatan gitu?"
Aswa mengangguk. "Engga ada salahnya saran mereka kita lakukan. Kita kan, pendatang di sini. Ada baiknya mengikuti kebiasaan setempat."
"Sebenarnya aku antara percaya dan engga dengan ritual itu. Mereka mungkin masyarakat pedesaan yang memang terikat aturan itu. Sedangkan kita, masyarakat yang juga memiliki tata cara sendiri dalam menyikapi sesuatu." Jelas Gita masih dalam pendiriannya.
"Iya, aku paham. Cuma mungkin ga ada salahnya kalau kita mengadakan seperti yang mereka minta. Niatin aja sedekah makanan sama mereka." Bujuk Aswa lagi.
"Ya sudah, nanti kita lakukan. Tapi, kalau sudah selesai, ya. Masih ribet banget kalau mau ngadain sekarang-sekarang." Gita kemudian beranjak kembali ke taman yang masih penuh dengan para tukang.
Aswa memutuskan untuk bermain dengan Bima. Asri tengah asyik bermain dengan Bima saat Aswa menghampiri.
"Sri, saya sudah ngomong sama Gita masalah ruwatan. Dia setuju melaksanakannya. Tapi, tidak dalam beberapa hari ini. Masih banyak pekerja katanya. Sini, biar Bima main sama saya."
"Syukurlah kalau Non Gita mau mendengarkan. Tapi, tetap, sebaiknya dilakukan sebelum renovasi berakhir." Asri menurunkan Bima dari gendongannya.lalu beranjak pergi.
Aswa menimang Bima yang tengah asyik memainkan sebuah mainan kayu yang biasa ditemui di daerah Jawa.
"Pasti, Pak Sastro yang membuatkan mainan ini untukmu." Aswa menciumi wajah Bima yang hanya menggumamkan suara-suara lucu menggemaskan.
Bima sibuk menggerak-gerakkan mainan kayunya. Semakin kencang Bima menggerakkan mainan itu, semakin kencang pula suaranya. Bima bergerak riang mendengar mainannya berbunyi kencang. Bima terus menggerakkan mainan itu kencang. Suaranya terdengar semakin kencang.
Tiba-tiba terdengar seperti bola lampu yang meletus kencang. Bima menjerit dan menagis, kaget mendengar suara itu. Aswa menggendong Bima dan berlari menuju halaman depan tempat asal suara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lokatraya
HorrorGita dan Aswa sedang berbahagia karena kelahiran anak mereka, Bima. Kebahagiaan mereka bertambah saat Aswa mendapat kenaikan jabatan sebagai kepala produksi dan diberikan fasilitas sebuah rumah dinas. Mereka pindah ke rumah baru tersebut. Gita dan...