Langit jingga mulai memayungi wilayah kedaton. Matahari hendak beranjak menuju peraduannya. Suasana hening dan senyap di lingkungan rumah Ki Demang. Dia duduk di kursi kebesarannya. Dua pesuruhnya tengah bersimpuh di hadapannya. Mata Ki Demang menerawang jauh, seolah tengah memikirkan beban berat yang akan ditanggungnya.
"Semua sudah dikumpulkan di alun-alun sesuai perintah Ndoro Demang," sang pesuruh dengan kumis tebal menangkupkan kedua tangan di dahinya, khidmat. Tetapi, tak ada sahutan apa pun dari Ki Demang.
"Nyuwun sewu, Ndoro. Sudah menjelang malam, warga sudah berjubel di alun-alun desa. Kalau kita tidak segera ke sana, kami takut tidak lagi bisa mengendalikan Bendara Raden Ayu," pesuruh bertubuh kekar ikut menangkupkan tangannya.
Seolah tersadar dari lamunannya, Ki Demang berdiri dan mengambil keris dari kotak kayu yang berjajar di sepanjang dinding rumahnya. Keris mengkilat dengan bau harum Melati dan Kanthil.
"Kita ke alun-alun desa sekarang. Apa pun nanti yang terjadi, aku harus menanggung semua ini. Perintah Tumenggung tidak bisa aku hindari lagi. Jauhkan rakyat dari Bendara Raden Ayu dan dayangnya. Biar aku saja yang menghadapi Bendara," Ki Demang menyarungkan keris dan melangkahkan kaki dengan mantap.
Sesampainya di alun-alun, Ki Demang melihat warga desa sudah memenuhi alun-alun kecil itu. Sorak-sorai rakyat bergemuruh seperti tengah menghujat sesuatu yang ada di tengah lapangan itu. Di sela gemuruh suara warga, jeritan perempuan melolong kesakitan. Ki Demang terkesiap, menghentikan langkahnya.
"Suruh semua warga mundur. Tidak ada satu pun yang boleh menyakiti Bendara dan pengikutnya." Suara Ki Demang dalam dan berat menandakan ketegasan yang tak mampu ditolak oleh siapa pun
Segera para abdi Demang membubarkan kerumunan hingga di luar lingkaran alun-alun desa, meskipun warga tetap tak mau membubarkan diri. Suara jeritan wanita mulai mereda. Ki Demang melangkah mendekati enam wanita yang tengah diikat di tengah alun-alun tersebut. Mereka meronta dari penjagaan para abdi Demang. Wajah dan tubuh mereka penuh lebam. Cengkraman lelaki-lelaki kekar itu tak menyurutkan keenam wanita untuk membebaskan diri.
Ketika Ki Demang mendekat, dia memerintahkan para abdinya untuk berdiri menjauh dari para wanita itu. Mata merah menyala sang Bendara Raden Ayu menatap marah Ki Demang. Wajah dan bajunya yang acak-acakan tak mampu menyembunyikan cantik parasnya.
"Demang! Berani-beraninya kamu berlaku seperti ini pada Bendaramu!" Sang Bendara Raden Ayu menggerung marah.
"Maafkan saya. Sungguh saya meminta maaf atas semua perlakuan terhadap Bendara Raden Ayu. Tapi, saya tak mampu berbuat apapun selain sendiko dawuh. Patuh terhadap perintah junjungan saya," Ki Demang bersimpuh di depan Bendara Raden Ayu dan menangkupkan kedua telapak tangannya dengan khidmat.
Suasana hening sesaat, hanya isak tangis pengikut Bendara Raden Ayu saja yang terdengar. Bulir air mata mengalir di pipi perempuan yang pernah mencuri hati Raja penguasa daerah itu. Perbuatan kejinya telah membawanya pada situasi hina seperti saat ini. Diikat, penuh luka, terduduk di tengah alun-alun desa dan menjadi cemoohan warga.
Meskipun Bendara Raden Ayu sadar bahwa seluruh pebuatan kejinya telah menelan banyak korban, tapi, hatinya masih dilimputi ambisi, amarah dan ketidakpuasan.
"Aku tahu, Demang. Aku tahu mengapa tugas ini dilimpahkan kepadamu. Karena kamu adalah sosok yang lebih agung dari junjunganmu. Kehidupanmu telah disamakan dengan para dewa di atas sana. Dan mereka tahu bahwa aku tak akan sanggup melawanmu." Gemeletuk gigi Bendara Raden Ayu terdengar di akhir kata-katanya.
Ki Demang meletakkan kerisnya di depan Bendara Raden Ayu. Tak ada satu kata pun yang terucap dari Demang. Hanya tindak-tanduknya yang mengisyaratkan banyak hal.
Setelah meletakkan sebilah keris di hadapan Bendara Raden Ayu, Ki Demang mengisyaratkan untuk mebebaskan ikatan para tahanan itu. Mendadak alun-alun desa senyap. Warga yang berkumpul tak lagi bersuara. Ada aura ketakutan menguar di udara ketika ikatan Bendara Raden Ayu dilepas. Ada aroma kekhawatiran warga akan amukan wanita sakti itu.
Ki Demang kembali bersimpuh di depan Bendaranya.
"Bendara Raden Ayu pasti tahu, bahwa saya tak akan melaksanakan hukuman ini. Saya hanya meminta kerelaan hati Bendara untuk melakukannya sendiri. Akhiri kekejianmu, mokswalah dan bergurulah kepada para dewa hingga jiwamu kelak diterima di Kayangan."
Tak ada balasan dari Bendara. Kilat mata marah masih terlihat jelas. Ada dendam, ada amarah, ada nafsu menguasai yang belum tuntas. Tapi, dia tahu, bahwa Demang bukan lawan yang seimbang untuknya. Demang terlalu hebat.
"Bendara tidak pantas mendapatkan hukuman dari saya yang hanya seorang Demang. Tapi, rupanya para junjungan di kerajaan juga tak sudi atau mungkin tidak berani membrikan hukuman. Saya tahu, Bendara Raden Ayu sadar, seluruh perbuatan dan ulah selama ini telah menelan banyak korban warga yang tak berdosa. Sudah memporak porandakan rumah tangga Tumenggung, bahkan para putra penerus tahta juga sudah meregang nyawa di tangan Bendara. Tak cukupkah itu semua Bendara?"
Kata-kata Ki Demang kembali menghujam dada Bendara Raden Ayu. Kelima pengikutnya merepet di belakang junjungannya. Para dayang itu seolah merasakan kekuatan Demang yang terpendam. Meskipun Ki Demang tak melakukan apapun, tapi aura kesaktian terasa jelas.
"Jadi, kamu tidak mau menuntaskan tugas dari majikanmu? Kamu tidak berani?"
"Bendara Raden Ayu tahu, apa yang bisa saya lakukan. Tapi, saya masih sangat menghormati Bendara sebagai junjungan. Saya hanya menawarkan keputusan yang akan tetap membuat kehormatan Bendara terjaga."
"Kamu selalu lebih berwibawa dari seluruh junjunganmu bahkan dari raja sekalipun. Kamu lebih memiliki harga diri. Kamu lebih digdaya. Lantas, mengapa kamu masih saja menjadi Demang? Kekuasaan tertinggi negeri ini bisa kamu rebut." Bendara menyeringai.
Ki Demang tak menjawab. Sekali lagi dia menggeser keris yang telah diletakkannya.
"Sudah saatnya, Bendara Raden Ayu. Tuntaskan kekejianmu."
Ki Demang berdiri menjauh dari Bendara Raden Ayu dan kelima dayangnya.
Angin tiba-tiba berhembus kencang, keris Ki Demang bergerak menggelepar di tanah. Bendara Raden Ayu berdiri memandangi keris.
Benar kata Demang, hanya ini cara dia menyelamatkan harga dirinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lokatraya
TerrorGita dan Aswa sedang berbahagia karena kelahiran anak mereka, Bima. Kebahagiaan mereka bertambah saat Aswa mendapat kenaikan jabatan sebagai kepala produksi dan diberikan fasilitas sebuah rumah dinas. Mereka pindah ke rumah baru tersebut. Gita dan...