Gita berusaha melepaskan pelukan tangan Bima di lehernya, tapi, tak bisa. Tangan Bima melingkar kuat. Bima terus melompat kegirangan dengan tawa yang semakin melengking nyaring. Gita mulai susah bernapas. Bapak maju membantu, berusaha melepaskan cengkraman tangan Bima. Seluruh tenaga sudah dikeluarkan, tangan Bima masih bergayut kuat.
Pak Sastro, menyeret tubuh Aswa dan Mbok Darmi yang masih lunglai. Ibu menekan kepala Mbok Darmi yang bercucuran darah dengan kain taplak. Detik berikutnya, Bapak terlihat rubuh menghantam jendela. Satu tangan Bima teracung ke atas dan satu tangan lagi masih bergayut di leher Gita. Kaca jendela berserakan di tubuh bapak yang tak bergerak, menelungkup.
Ibu menjerit menghampiri tubuh Bapak. Darah segar mengalir dari kepala bagian samping yang terhantam kaca jendela. Tawa Bima kian melengking diselingi teriakan kesakitan Gita.
"Lepaskan! Lepaskan Gita dan bebaskan mereka!" Seru Pak Sastro.
"Tidak! Setra datang untuk menuntaskan dendam Bendara!" tawa Bima menggelegar memenuhi ruangan.
"Bima. Lepaskan ibumu. Dia kesakitan." Pinta Pak Sastro, mendekat perlahan.
"Aku bukan Bima, Sastro. Aku Setra. Anak abadi sang Bendara. Dia akan datang bergabung dengan kita sebentar lagi." Seringai Bima.
"Setra. Aku mohon lepaskan Gita." Pak Sastro terus meminta.
Tiba-tiba Setra yang telah menyusup pada tubuh Bima, melemparkan tubuh Gita ke lantai. Pak Sastro dengan gerakan cepat hendak menyelamatkan Gita. Tapi, Setra lebih gesit. Dalam sekejap tubuh Pak Sastro terbanting ke belakang.
"Mundur Sastro! Kami tidak ada urusan denganmu!" seketika tubuh Gita yang terduduk di lantai dikelilingi asap putih tipis.
Aswa berusaha bangkit. Tak dipedulikan rasa sakit yang menderanya. Terlihat bapak juga sudah mulai siuman. Berusaha duduk bersandar. Pak Min menolong Pak Sastro yang terpental. Pak Sastro kembali berdiri tegak.
"Lepaskan Gita. Apa salah dia?" Aswa mulai berdiri tegak. Pak Sastro terus memegangi lengannya, menghalangi Aswa untuk meju lebih mendekat pada sosok Setra.
"Kamu tak tahu apa salah perempuan ini?" suara Setra terdengar dalam. Tubuhnya berdiri mematung di samping Gita yang kini menangis ketakutan. Setiap kali berusaha keluar dari lingkaran itu, Gita kembali terpental masuk dalam lingkaran.
"Setra. Saat ini sudah berada di zaman yang berbeda. Raja sudah tidak ada lagi." Ujar Pak Sastro yang berdiri di samping Aswa.
"Ha...ha...ha... Zaman memang sudah berganti. Raja pun telah mati. Tapi, Bendara Raden Ayu menemukan satu keturunan Raja yang masih hidup hingga saat ini. Sang raja diam-diam kembali mengingkari sumpahnya. Maka, Girilokalah yang akan menanggung seluruh akibatnya." Tubuh Setra melayang.
Dalam satu kibasan tangan mungilnya, langit-langit dipenuhi selubung awan putih tipis. Layaknya layar bioskop, gambaran-gambaran orang berpakaian Jawa kuno memenuhi langit-langit. Sosok wanita tengah tersenyum menggendong bayi. Seorang lelaki dengan pakaian biasa namun terlihat gagah juga tengah tersenyum memeluk sang wanita. Sorot gambar menjauhi kedua lelaki dan perempuan yang tengah berbahagia. Terlihat sebuah rumah kecil dikelilingi hutan pinus. Tanpa ada satu rumah pun di sekelilingnya.
Menit berikutnya, awan tipis itu hilang. Setra melayang turun di samping Gita. Pak Sastro, Aswa dan Pak Min berdiri berhadapan dengan Setra. Gita menjerit kesakitan saat asap tipis di sekitarnya membelit seluruh tubuh Gita. Aswa melompat berusaha menarik Gita keluar dari lingkaran, tapi, kembali terpental menghantam tembok.
"Lepaskan!" teriak Pak Sastro.
Setra mengibaskan tangannya dan asap tipis itu memudar. Gita kembali bernapas normal. Aswa berusaha berdiri dan mendekati Gita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lokatraya
HorrorGita dan Aswa sedang berbahagia karena kelahiran anak mereka, Bima. Kebahagiaan mereka bertambah saat Aswa mendapat kenaikan jabatan sebagai kepala produksi dan diberikan fasilitas sebuah rumah dinas. Mereka pindah ke rumah baru tersebut. Gita dan...