Part 16: Gagal Ruwat

39 6 0
                                        

Gita terus menyusuri setiap sudut rumahnya dan menemukan tanda kalimat dalam bahasa Jawa yang sama. Tulisan itu bermunculan tanpa henti, seolah mengejarnya. Setiap kakinya melangkah, kalimat itu menampakkan wujudnya. Gita hampir kehilangan kesadaran.

Seketika dia memanggil Aswa kencang-kencang.

Serentak Aswa diikuti Pak Sastro dan Mbok Darmi mendatangi Gita yang tengah terduduk di kursi dapur. Wajahnya pias, keringat dingin terus mengucur dari dahinya, mulutnya menggumam tak jelas dan tangannya pun gemetar tak terkendali.

"Gita, Sayang. Ada apa? Kenapa kamu menggigil begini?" Aswa memeluk istrinya erat.

Mbok Darmi dengan sigap membuat teh manis panas dan Pak Sastro duduk di sebelah Gita, memegang tangannya seperti berusaha membawa kesadaran wanita itu kembali.

"Den Gita, tarik napas panjang. Tenangkan hatimu, pikirmu dan dengarkan suara kami. Ayo, Den Gita, tarik napas panjang. Dengarkan suara saya," Pak Sastro mengulang kata-kata itu sambil Aswa terus mengusap punggungnya.

Lambat laun, napas Gita yang semula tersengal nampak mulai teratur. Mbok Darmi meminumkan teh hangat. Wajah Gita memerah. Matanya mulai fokus memandang sekeliling.

"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu teriak-teriak?" Aswa berusaha bertanya pada Gita yang nampak sudah kembali sadar.

"Aku. Aku melihat kalimat dalam bahasa Jawa. Ada di mana-mana. Seperti mengejarku. Mengikutiku. Ada di setiap sudut rumah. Di dinding. Lantai. Semua. Aku. Tak tahu artinya." Jawab Gita. Napasnya kembali memburu.

Segera Aswa mendekapnya, menenangkan. Aswa memberi tanda pada Pak Sastro untuk kembali bertanya perlahan pada Gita.

"Den Gita, bisa ceritakan pada kami secara runut? Apa yang terjadi?" tanya Pak Sastro.

"Cerita, Den. Biar lega." Mbok Darmi memegang dan mengusap kedua tangan Gita.

Setelah menarik napas panjang beberapa kali, Gita mulai bercerita sambil menggenggam erat tangan Mbok Darmi dan menyenderkan badannya pada Aswa.

"Aku mencari kalian," ujar Gita pada Pak Sastro dan Mbok Darmi. "Aku lihat kalian di halaman belakang sedang ngopi dan makan ubi rebus. Kalian membicarakan tentang sifat keras kepalaku. Bahwa semua yang terjadi di sini karena kekeras kepalaanku. Saat aku ingin bergabung dengan kalian, Bima menangis."

Gita kembali mengatur napasnya. Pak Sastro dan Mbok Darmi saling berpandangan penuh tanya.

"Setelah Bima kembali tidur, aku ingin bergabung dengan kalian. Tapi, kalian sepertinya sudah kembali ke dalam rumah. Kalian sudah tak di sana lagi. Aku tetap membuka pintu penghubung di belakang. Tapi, pintu itu kemudian tertutup setelah aku ada di luar. Seluruh pintu di rumah ini terkunci sedangkan aku masih di halaman belakang mencari kalian. Setelah berkeliling mencari pintu yang terbuka, aku kembali ke halaman belakang. Dan menemukan pintu penghubung di belakang sudah terbuka kembali. Entah oleh siapa."

Gita meminum teh hangat. Aswa, Pak Sastro dan Mbok Darmi kembali saling melempar pandangan penuh tanya. Tapi, mereka sama-sama tak ingin memotong atau pun menyela cerita Gita. Mereka ingin mendengar semuanya.

"Saat kembali ke dalam rumah. Tiba-tiba muncul kalimat bahasa Jawa yang aku tak tahu bagaimana cara baca dan artinya. Saat aku berkeliling rumah, seluruh dinding, atap bahkan lantai penuh dengan tulisan itu. Apakah kalian melihat tulisan itu?" tanya Gita sambil menatap mata mereka bertiga bergantian.

"Kami tidak terlalu memperhatikan isi rumah karena mendengar Den Gita menjerit. Kami hanya fokus pada suara Den Gita." Ujar Pak Sastro.

Aswa dan Mbok Darmi paham bahwa kalimat Pak Sastro hanya untuk menenangkan Gita. Mereka sama-sama tahu bahwa tak ada satu pun kalimat Jawa yang mereka lihat ada dalam rumah itu. Semua dinding, atap dan lantai tampak bersih seperti sebelumnya.

LokatrayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang