Part 8 : Petaka

29 4 0
                                    

Jawa di masa lampau

Pusat kota Keraton

Tujuh hari selepas peristiwa alun-alun

Langit hitam bergulung diiringi gelegar petir di atas langit Keraton. Cuaca yang semula terang benderang mendadak gelap. Hujan dan angin mulai turun bersamaan. Angin seakan membawa terbang apa saja yang dilewati. Rumah-rumah mulai terangkat dari bumi. Ayam-ayam berkokok, berhamburan dalam kandang. Sapi melenguh, burung-burung berterbangan dan kuda meringkik kesetanan.

Penduduk sekitar Keraton berhamburan mencari perlindungan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Penduduk sekitar Keraton berhamburan mencari perlindungan. Seluruh tempat sudah tidak mampu membendung angin, hujan dan petir. Hanya tembok Keraton saja yang masih berdiri kokoh. Penduduk berbondong-bondong menggedor pintu Keraton, mencari tempat berlindung.

Prajurit Keraton tak mampu menahan penduduk yang merangsek ke dalam Keraton. Sebagian prajurit telah mengamankan Raja dan Ratu serta keluarga Keraton lainnya. Para abdi dalem dan pejabat Keraton bercampur dengan penduduk. Keraton telah berubah layaknya pasar.

"Ada apa ini?" teriak sang Raja demi melihat cuaca dan keributan dalam Keratonnya.

"Kami juga tidak tahu, Baginda. Semua terjadi tiba-tiba. Seperti ada angin topan, membabat habis rumah-rumah penduduk daam sekejap. Mereka memaksa masuk ke dalam Keraton karena hanya tempat ini saja yang masih berdiri utuh," jelas salah seorang prajurit Keraton yang berjaga.

"Bukankah sekarang musim kemarau, mengapa hujan, petir dan angin turun bersamaan?" sang Raja setengah berteriak.

Para prajurit penjaganya hanya menggeleng. Tak mampu menjelaskan keanehan alam pada hari itu.

Awal hitam bergumpal terus menerus membentuk satu kumparan besar. Gumpalan awan hitam itu mengirimkan petir yang terus menghujam bumi. Gumpalan awan itu seolah terus bergerak mendekati Keraton. Beberapa prajurit yang bertahan di pintu Keraton meregang nyawa karena sambaran petir.

Penduduk panik karena melihat alam mulai menyerang mereka. Cuaca bukan lagi sekadar berbeda tetapi mematikan.

Gumpalan awan itu kemudian membentuk sebuah bayang-bayang besar. Suara tawa menggelegar di antara petir yang terus menyambar.

 Suara tawa menggelegar di antara petir yang terus menyambar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Raja yang agung. Biarkan aku selesaikan urusan denganmu!" gumpalan awan hitam itu kemudian perlahan membentuk sebuah tubuh wanita yang tak asing.

Penduduk saling menjerit, saling injak, panik dan berhamburan dalam Keraton ketika gumpalan awan hitam itu berangsur turun di hadapan mereka.

"Aku mau raja kalian! Mana dia?" suara itu kembali menggelegar.

Prajurit Keraton mengambil tempat di hadapan wanita itu, menghunuskan tombak dan keris. Siap menyerang. Namun, sekali hentakan tangan, barisan prajurit itu porak poranda. Para prajurit meregang nyawa dengan badan gosong seperti tersambar petir.

"Raja yang baik. Masih ingat denganku? Selir kesayanganmu. Selir paling cantik yang telah memberimu keturunan sebelum permaisurimu. Di mana kamu Raja? Apakah kamu sudah tidak lagi rindu padaku?" gumpalan awan hitam itu kini telah sepenuhnya membentuk tubuh Bendara Raden Ayu.

Bukan lagi cantik rupawan tetapi wajah hitam dan tubuh yang membara bagai api. Prajurit dan pejabat Keraton yang menghalangi langkahnya seketika berubah menjadi mayat. Bendara berjalan mantap ke bagian tengah bangunan tempat Raja dan Permaisuri bersembuyi.

Penduduk kota berhamburan meninggalkan Keraton. Bagian depan bangunan telah rata dengan tanah. Para selir beserta anak-anak meregang nyawa saat itu juga. Sang Raja dan permaisuri terpojok dalam ruangan tersembunyi. Mereka sama takutnya dengan para penduduk. Raja tahu, mungkin hari pembalasan untuknya tiba hari ini. Bendara Raden Ayu yang disakitinya telah menuntut balas.

 Bendara Raden Ayu yang disakitinya telah menuntut balas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Permaisuri berserta dayang-dayangnya menangis ketakutan. Saling berpelukan di belakang para prajurit.

"Mohon maaf, Baginda harus segera lari dari sini. Ikuti saya." Seorang Patih Keraton memaksa sang Raja untuk segera meninggalkan istana.

Betapa terkejutnya sang Ratu, saat Raja berlaribegitu saja dari hadapannya, tanpa mengajaknya ikut serta. Seolah dia tak lagidipedulikan, bahkan nyawanya sekalipun.

LokatrayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang