Aku masih terpekur dalam ruanganku. Sepeninggal Dini, aku jadi malas melakukan apapun. Berbagai pikiran berkecamuk dalam benakku.Kenapa benda itu ada padanya? Mungkinkah itu barang yang sama, yang aku cari selama ini? Memikirkan kemungkinan itu membuat kepalaku jadi pusing.
Kubereskan semua berkas di atas meja, lalu kuperintahkan Agung dan Rini untuk menyelesaikan sisa pekerjaan itu. Kuambil kunci mobil dan bergegas pulang.
"Assalamualaikum, Ayah," salamku saat memasuki rumah. Tidak ada jawaban. Aku masuk lebih dalam dan kulihat ayah tengah tertidur di atas kursi malasnya di beranda belakang rumah. Kucium pelan dahinya dan aku kembali berjalan menuju kamar.
Aku duduk di depan meja rias. Kulepas kerudung dan kuamati lagi anting-anting yang menempel di telinga. Anting kupu dan bunga peninggalan ibu. Kuusap pelan benda keramat itu. Perlahan airmataku luruh, satu demi satu, hingga tak lama menjadi airbah.
Perasaan marah, kecewa, penasaran, dan bingung bersatu di benakku. Kenapa Dini punya anting yang sama denganku? Benarkah Dini itu Syifa? Kalau benar, kenapa namanya berubah jadi Dini? Kenapa juga Mas Bram tidak memberitahuku secara langsung? Kenapa dia mempermainkan hatiku? Kenapa? Kenapa?
"Ibu ... apa ibu juga melihatnya?"
Aku merintih dalam diam. Kututup mulut dengan kedua tanganku agar isaknya tak terdengar ayah. Aku tak ingin membuat ayah khawatir.
Hingga ketika kudengar azan Ashar, aku bergegas ke kamar mandi. Kubasuh tubuh dengan air dingin, berharap semua kalut menjadi lebih ringan.
Usai mandi, kuhamparkan sajadah dan kumulai shalatku. Kuadukan pada Allah dalam sujud panjangku. Bahkan seusai shalat pun, kembali kusatukan kening dengan sajadah hijauku, melarungkan keluh kesah dan doa-doa.
"Anis. Kamu sudah pulang, Nduk? Makan malam dulu, yuk." Terdengar suara ayah di depan pintu kamarku, berseling dengan suara ketukan di pintu. Aku menggeliat sejenak. Ya Allah, sudah gelap. Astaghfirullah, aku tertidur rupanya.
"Iya, Ayah. Sebentar. Anis shalat Maghrib dulu." Kujawab panggilan ayah supaya beliau tidak terlalu khawatir.
Setelah shalat maghrib. Aku bergegas keluar. Kulihat ayah sudah duduk di meja makan.
"Kamu kenapa, Nis? Pulang jam berapa tadi? Kok, Ayah ga dengar suara mobilmu?"
"Siang tadi, Yah, saat Ayah sedang tiduran di kursi belakang," jawabku sambil tersenyum.
"Ada apa? Ada masalah di toko?"
"Tidak, Ayah. Anis mau ada kegiatan di luar kota besok. Jadi, Anis mau bersiap-siap saja."
"Luar kota? Di mana?"
"Di Gresik, Yah. Ada undangan pelatihan wirausaha oleh pemprov. Hanya dua hari saja. Ayah, nggak apa-apa, kan, Anis tinggal sendiri?" Ayah tersenyum singkat.
"Ya, nggak apa-apa to, Nduk. Kan, masih ada Mbok Jum." Aku ikut tersenyum.
"Oh, ya, Yah. Anis sudah bilang, kan, kalau keluarga Mas Bram hari Sabtu besok mau ke sini?" Ayah nampak terkejut mendengarnya.
"Masa? Kapan, ya? Apa Ayah lupa?" tanya ayah sambil mengernyitkan kening. Aku tertawa kecil.
"Ya Allah, maaf, Yah. Mungkin Anis yang lupa bilang." Aku mengelus punggung tangan ayah yang mulai terasa kasar karena keriputnya.
"Jadi ...."
"Iya, jadi besok Sabtu mereka mau kesini, katanya, sih, mau lamaran gitu." Aku tertawa menunjukkan deretan gigiku. "Tapi, Anis ga yakin, deh, Yah. Mungkin itu hanya gurauan mas Bram aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati [Complete]
RomanceKolaborasi dengan @mbok_dee. Bercerita tentang dua gadis, kakak beradik yang terpisah karena suatu keadaan. Mereka saling mencari, tapi ternyata mereka dipertemukan oleh keadaan yang tidak disengaja. Setelah terpisah selama 20 tahun, bisakah mereka...