Bab 1 - Dini

345 26 0
                                    

Writen by Mbok_Dee

Aku selalu suka melihat rumah-rumah lama, terlihat kokoh dan nyaman tetapi tetap mengedepankan fungsi. Seperti rumah-rumah jaman kolonial Belanda yang ada di Surabaya ini. Sebagian besar masih terawat, seperti beberapa rumah di jalan Dr. Soetomo. Meski beberapa sudah beralih fungsi tetapi masih mempertahankan bentuk aslinya.
Terkadang aku sengaja lewat jalan dimana masih terdapat rumah jaman Belanda tersebut. Kebiasaan aneh yang kumulai semenjak tertarik dengan dunia arsitektur.

Pagi ini, tujuanku adalah salah satu rumah di jalan Imam Bonjol untuk bertemu dengan Pak Junata yang akan merenovasi salah satu rumahnya. Kesan pertama saat kulihat rumah ini sebulan yang lalu adalah nyaman. Meski terlihat terbengkalai dan terkesan angker, tetapi bangunan yang terletak di ujung jalan ini menyimpan banyak potensi untuk menjadi rumah yang nyaman dan cantik.

"Pagi, Mbak Dini," sapa bu Jun yang tetap setia dengan kacamata hitamnya.

"Pagi, Bu. Apa kabar?" Standard memang, aku selalu bermasalah jika diminta untuk beramah tamah. Aku lebih cocok ngobrol dengan mereka yang tidak berbasa-basi.

"Baik, Mbak. Ayo masuk, kita ngobrol di halaman belakang saja, ya." Aku mempersilahkan Bu Jun untuk berjalan terlebih dahulu. Dengan begini aku bisa kembali menikmati penataan ruang rumah yang dari dulu hanya bisa kunikmati dari luar.

Aku mengeluarkan buku sketsa yang kukerjakan semalam, hasil print out, dan beberapa contoh gambar yang bisa dijadikan bahan acuan atau pertimbangan.

"Bisa saya mulai sekarang atau kita tunggu Bapak dulu?" Selama ini memang aku lebih banyak berhubungan dengan Pak Junata untuk masalah desain. Tapi entah kenapa hari ini yang menemuiku justru istrinya.

"Silahkan dimulai Mbak, nanti Bapak bisa nyusul saja." Kumulai mempresentasikan desain yang kukerjakan berdasarkan permintaan pak jun. Lelaki yang sudah memutih rambutnya itu menginginkan tidak terlalu banyak perubahan di rumahnya ini. Seperti diriku, dia ingin rumah ini bisa tetap mempertahankan keasliannya.

"Bentar, Mbak. Kenapa bagian depannya tidak berubah sama sekali. Lalu yang Mbak kerjakan selama ini bagian apanya?" Bu Junata memotong presentasiku yang baru berjalan lima menit.

"Maaf Bu, tetapi kemarin Bapak memang meminta agar bagian depannya tidak diubah sama sekali," sanggahku dengan suara setenang mungkin.

"Aduh, Mbak, tampilan luarnya terlalu kuno ini. Saya maunya, tuh, dua pilar ini dihilangkan diganti dengan dinding batu yang sampai keatas gitu. Terus jendela ini dilebarkan, jangan pakai bingkai jendela yang seperti ini. Mbak nanti pakai yang kayak besi gitu lho, jadi gak terlihat ada bingkainya. Warnanya sih saya setuju. Putih dan abu-abu, tetapi jangan yang seperti ini." Dan masih banyak yang di protes tentang desain rumahnya ini.

Hampir lima belas menit dia memaparkan setiap keinginannya mulai dari gerbang depan hingga dinding belakang yang berbatasan dengan rumah tetangga. 'Sabar sabar sabar, ... dia yang bayar kamu. Jangan dilempar pakai gulungan gambar' batinku.

"Gimana, Mbak? Bisa, kan?" Alhamdulillah aku bisa menutupi kejengkelanku dengan tetap tersenyum saat menjawab pertanyaannya.

"InsyaAllah, Bu. Nanti saya diskusikan bersama tim terlebih dahulu. Kita tentukan jadwal pertemuan berikutnya atau gimana, Bu?"

"Kalau besok sore di Sutos gimana Mbak, bisa?" Gila nih ibu, dikiranya sekali kibas rambut desain yang dia mau bakalan selesai.

"Maaf, Bu. Untuk lima hari ke depan saya ada site visit proyek Vila di Bali. Kalau Ibu tidak keberatan, kita jadwalkan minggu depan. Gimana?" Kulihat keningnya tidak terlihat ada kerutan sedikitpun meski aku tahu dia sedang berpikir mengatur jadwalnya. Mungkin dia harus menggeser jadwal suntik botoks demi bertemu dan menghancurkan lagi hasil kerja kerasku. Ya Allah, maafkan kelancangan pikiranku ini.

Dua Hati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang