Bab 20

165 15 2
                                    

Hampir satu jam kami menempuh perjalanan menuju rumah orang tua mas Bram. Jalanan di Surabaya tidak pernah lepas dari kata macet, kecuali pada hari raya Idul Fitri. Karena penduduknya memang rata-rata pendatang yang akan mudik saat hari raya.

Melewati jalan Raya Dharmahusada Indah, mobil yang dikemudikannya berbelok ke sebuah gang besar berpagar besi. Sepertinya kami memasuki sebuah kawasan perumahan tanpa plang nama. Rumah-rumah yang ada di sana memang tidak sebesar yang ada di jalan Raya, tapi memiliki desain yang berbeda tiap rumahnya. Mungkin pemiliknya sudah merenovasi ulang rumah mereka.

Tak lama, mobil pun berhenti di depan sebuah rumah di ujung jalan. Halamannya luas sekali, tapi hampir seluruhnya tertutup rumput hijau yang halus dan rapi. Hanya bagian jalan menuju garasi saja yang berbentuk lantai semen bertabur batu-batu kecil berbagai warna yang berpola sangat cantik. Pagarnya pun tidak setinggi rumah-rumah di sekitarnya, menandakan sang pemilik sangat welcome dengan mereka yang hendak berkunjung. Dua pohon mangga yang berdiri kokoh dan sebuah kolam ikan yang lumayan besar menambah suasana semakin nyaman.

Gemericik air kolam sejenak melenakanku. Mengingatkanku pada suasana sebuah pedesaan yang tenang dan asri. Sebuah bangunan yang tidak seberapa besar namun bertingkat menjadi fokus utamanya.

"Ayo masuk, Nis," ajak mas Bram membuyarkan lamunanku. Aku melangkah di belakangnya, beberapa tangga kulalui sebelum mencapai pintu besar berwarna coklat khas kayu jati.

"Assalamualaikum." Mas Bram mengucap salam seraya memasuki rumah, sedangkan aku tetap berdiri di depan pintu. Kembali debar itu kurasakan. Maklum, baru pertama kali aku datang ke rumah lelaki. Ya Allah, semoga keputusanku tidak salah datang ke sini.

"Ma, Pa ...." Kudengar suara mas Bram memanggil papa mamanya, tapi kakiku masih kaku di depan pintu. Bahkan keringat dingin kurasakan mulai keluar di sela-sela jemariku. Aku menepuk pelan dadaku sambil menarik napas dan membuangnya perlahan.

"Bismillah, bismillah ...." Kurapal doa dalam hati semoga aku tidak salah mengatakan sesuatu nantinya.

"Anis. Kenapa tidak masuk?" Tiba-tiba saja si tengil Bram mengagetkanku.

"Astaghfirullah. Ngagetin aja," kataku sambil memajukan bibir, sebal dengan tingkah konyolnya.

"Ada yang bisa aku bantu?" Dia mengulurkan tangan, menawarkan kehangatan dalam genggamannya. Namun, aku berlagak cuek dan mengabaikannya.

"Assalamualaikum," salamku saat mulai melangkahkan kaki memasuki rumah yang terasa sangat nyaman itu. Sebuah sofa lebar berwarna krem khaky menempel di dinding di mana terpajang sebuah lukisan foto keluarga. Seorang lelaki gagah tampan memeluk wanita yang masih nampak cantik meski sudah terlihat tidak muda lagi. Sementara, duduk di depan mereka lelaki yang sama tampan dan gagahnya tertawa lebar sambil memegang tangan gadis di sebelahnya yang juga tersenyum bahagia. Keceriaan dan kebahagiaan nampak di sana. Sebuah keluarga yang sempurna.

Tiba-tiba mataku menghangat melihat lukisan itu. Sebuah pemandangan yang kurindukan selama 20 tahun ini.

"Bram, ada apa ini?" Mas Bram mendekati wanita separoh baya yang menyapanya. Subhanallah, cantiknya. Mataku tak berkedip saat memandangnya, seolah rendezvous. Memoriku bergerak dengan sendirinya membuka satu-satu kenangan di masa lalu. Apakah aku pernah bertemu dengan beliau sebelumnya?

"Aku menepati janjiku, Ma. Kubawa calon menantu untuk Mama Papa," kata lelaki itu sambil memeluk wanita di depannya. Pipiku memerah mendengar kata-katanya. Calon menantu? Apa dia sudah yakin dengan kata-katanya.

"Masya Allah, Bram. Kamu nggak ngancam dia, kan, buat kamu bawa ke sini?" Mataku kembali membola mendengar kata-kata beliau.

"Ish, Mama. Jangan bongkar rahasia, dong. Bram sudah mengerahkan segenap jiwa dan raga buat meyakinkan wanita cantik itu ke sini." Pertama kali kulihat lelaki sombong itu merajuk manja. Aku tersenyum di belakangnya.

Dua Hati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang