Bab 37

132 14 1
                                    

Sebut namanya tiga kali.

Mbak dee, mbok dee, Mbok_Dee

Dan meluncurlah ke lapaknya.

😅😅😅😍😍😍

Bab 37

Apdeeeettt

"Brambang!" Aku teriak dari lantai atas begitu mendengar salam dari arah pintu, mumpung Mama gak ada di rumah bisa teriakin itu playboy cap kaki tiga. 

"Jawab dulu salamnya, Dek." Dengan santai dia menuju lemari es mengambil pitcher berisi es teh dengan irisan lemon. 

"Wa'alaikumusallam, kalau minum itu duduk Mas ganteng yang pengen Adek cincang sekarang mumpung gak ada Mama Papa." kataku sambil menarik pundaknya agar bisa melihat wajah murkaku. Tapi ternyata wajah Mas Bram terlihat lebih mengenaskan, wajah murkaku langsung berganti dengan wajah kuatir.

"Mas Bram kenapa?"

"Mbak-mu murka," jawabnya singkat sebelum meninggalkanku menuju kamarnya. Kuikuti langkahnya seperti saat masih kecil yang selalu mengikuti kemanapun kakinya melangkah.

"Mas ... Mbak Anis marah kenapa? Cerita dong." Mas Bram masih bungkam. Aku duduk sambil memeluk bantalnya, dan Mas Bram dengan tenang membuka lemari untuk mengambil baju ganti, handuk dan masuk kamar mandi.

"Maaaasss," panggilku sekali lagi.

"Sik to Nduk. Mas-mu berkeringat, capek, pengen marah, sedih, kesel pokoknya campur-campur. Tiduran situ aja dulu, Mas punya novel baru buat kamu di tas. Ambil sana." Mas Bram dari dulu memang sering bawain novel. Semenjak Mas Bram mendapatkan ijin untuk kemana-mana sendiri, dia selalu gak keberatan kalau aku titip belikan novel setiap kali dia bilang mau ke toko buku. Akhirnya menjadi kebiasaan, kapanpun dia ada kesempatan ke toko buku pasti belikan aku novel.

Didalam tas kerjanya ada 1 novel karya Danielle Steel dan 1 kotak beludru kecil berwarna merah maroon. Aku tertarik melihat isi kotak kecil itu, tapi untuk membukanya gak berani. Mungkin itu cincin untuk Mbak Anis.

Ceklek ...

Tumben mandinya cepat, biasanya dia paling lama kalau mandi. "Tumben cepat, Mas?"

"Capek, pengen tiduran. Temeni Mas disini ya." Aku merebahkan badanku disamping Mas Bram yang terpaku menatap langit-langit kamarnya.

"Mas ... bertengkar sama Mbak Anis ya?" tembakku langsung.

"Heem," jawabnya singkat, kali ini dengan lengan kanan menutupi matanya.

Kumiringkan badan dan menyangga kepala dengan tangan kananku, sengaja kutusuk-tusuk pipinya untuk mendapatkan perhatian. "Karena Nindy, bener?"

Sontak Mas Bram terduduk karena terkejut, "Kamu kok tahu? Anis telpon Adek?"

"Gak! cewek itu nungguin Mas didepan gerbang tadi sore, Alhamdulillah Mama Papa gak ada dirumah. Kalau Mama tahu, Mas bisa diuleg lembut." Mama memang sayang banget sama Mbak Anis, benar-benar calon menantu idaman Mama dia itu. Sampai-sampai aku membandingkan dengan diriku sendiri, kira-kira nanti Mama Mas Andy begitu juga gak ya. Pikiranku melayang membiarkan Mas Bram cerita. Sorry Mas.

"Terakhir ketemu Nindy waktu Mas bilang putus, satu dua hari sebelum ketemu Anis. Adek kan tahu, sekali Mas bilang putus ya putus. Tapi sepertinya Nindy menganggap putus yang Mas ucapkan itu hanya sekedar jeda. Tadi siang Mas anterin Mbak-mu ke kantor notaris di daerah juanda. Setelah dari kantor notaris Mas ajak dia makan di Pringgondani, pas kita berdua mau masuk Nindy mau keluar. Runyam deh. Mana Nindy pake peluk-peluk segala." Dia menggosok-gosok wajahnya kasar, kepalanya mungkin penuh memikirkan calon istri vs mantan manja.

"Mas Bram menang banyak dong, dipeluk-peluk cewek melon begitu." 

"Kamu ya, gak ngerti apa Mas-mu ini lagi diujung tanduk." Mas Bram menjatuhkan badanya di ranjang dan memejamkan mata sebelum bergumam, "Mas cinta mati sama Mbak-mu, Dek."

"Cinta aja gak usah pake Mati!" kataku sengit.

"Mas-mu ini butuh dihibur ya, bukan tambah dimarahi. Ice cream yuk." Tiba-tiba dia berdiri menuju lemari untuk berganti baju. "Ayo!"

"Dasar bapak-bapak galau, tungguin. Adek mau dandan dulu."

"Halah, gayamu. Paling-paling pake tunik itu-itu lagi." Mas Bram tahu kalau koleksi bajuku masih itu-itu saja. Dan seketika pikiran licik itu datang menyapa.

"Mas, belikan Adek baju yak. Kalau bisa sekalian sama jilbabnya." Rayuku dengan menaik turunkan alis.

"wis ayo, cepet ganti baju sana!" Setelah mengucapkan terima kasih dan memeluknya singkat aku berlari menuju kamar.

*
*
*

Galaxy Mall menjadi pilihan kita malam ini, karena lokasi paling dekat dengan rumah. Setelah makan malam dan ditutup dengan Ice cream, Mas Bram dengan sabar menemaniku mencari baju. Dengan perubahanku sekarang, semua outfitt harus di upgrade. 

"Dek, kamu sama Anis tinggian siapa?"

"Mas! Pertanyaanmu kok menohok gitu se? Jelas-jelas aku lebih kecil gini lho!" Badanku memang kecil, sepertinya aku ikut garis ibu. Karena Ayah memang terlihat tinggi dan ramping, sedangkan aku pendek dan cenderung berisi.

"Ini bagus kan untuk Anis?" Mas Bram mengangkat gamis berwarna biru dongker entah berbahan apa, yang pasti lembut ditangan dan tidak licin. Bagus banget, aku jadi pengen.

"Mas, aku juga mau lho baju itu." Rajukku sambil melihat pilihan warnanya.

"Sayang bajunya lho Dek, harus motong banyak itu. Cari dibagian anak-anak aja lah, pasti ada tuh yang bergambar dugong." Tangan ini auto nabok kalau dah begini.

"Mas! Sorry ya, aku tetap lebih cantik dibanding dugong. Lagian ya, Mas Andy mau pulang kok minggu depan," jawabku dengan senyum lima jari.

"Alhamdulillah, akhirnya berakhir masa galau adikku ini. Ngomong-ngomong, Andy itu cinta pertama Anis kan ya?" Yaelah Mas, kemana aja selama ini. Gak tahu apa calon istrinya lah yang membuat adikmu ini galau berhari-hari kemarin.

"Emang kenapa?"

"Gak papa sih, Mas cuma tanya. Gak usah cemburu sama kakak sendiri." Lah, orang sombong. Ngomong sendiri, dijawab sendiri. Dengan santai kuambl baju ditangannya dan kuambil satu lagi yang berwana abu-abu.

"Lha lha, itu kenapa pake bawa 2?" tanya Mas Bram.

"Anggep aja ongkos curhat." jawabku enteng sambil menengadahkan tangan meminta kartu debitnya.

"Kalau itu ongkos curhat, lalu ini ongkos apa?" Mas Bram mengangkat kurang lebih 5 kantong ditangan kanan dan 3 kantong di tangan kiri.

"Anggap saja kalau ini hadiah untuk Adek merangkap Adek Ipar tersayang," jawabku jumawa. 

Aku tahu Mas Bram gak keberatan membelikanku banyak baju, tapi aku harus berhenti meminta padanya. Apalagi kalau dia sudah menikah, meski yang dia nikahi adalah kakak kandungku sendiri bukan berarti aku boleh dengan seenaknya meminta ini dan itu.

"Love you Mas-kuuuhh." Kupeluk erat badan besarnya dari samping, aku gak perduli kalau orang-orang melihatku terlalu berlebihan. Aku merasa seperti mulai kehilangannya, karena sudah ada 1 lagi perempuan yang mengisi hatinya. 

Dua Hati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang