bab 33

114 14 0
                                    

Ya Allah....

Beneran kesambet dugong nih kayaknya...

Kita diajak lompat melompat

🤣🤣🤣🤣

Yuk ah, cek lapak Mbok_Dee

Bab 33

Ibu ....

Sebanyak apapun mereka bercerita tentang beliau, aku tetap merasa ada bagian kosong yang sampai kapanun gak akan pernah terisi. 
Meski mereka berusaha menggambarkan paras cantiknya, aku tetap merasa itu kurang.

Ya Allah .... aku ingin sekali saja bisa menyentuh wajahnya, melihat senyumnya, menghirup wangi tubuhnya.
Ya Rabb ... aku rindu Ibu

Dalam diam aku menangis malam ini, hari terakhir di RS sengaja meminta semua orang untuk pulang. Mas Bram dan Mbak Anis yang paling panik ingin menjagaku, entah mereka terasa aku sedang bersedih atau mereka hanya ingin mencari kesempatan untuk berdua disaat aku tidur.

Sengaja aku tolak semua permintaan mereka, aku hanya ingin sendiri. Ingin bisa mencerna semua yang terjadi beberapa hari ini, bahkan nama Mas Andy juga menjadi bahan pikiranku malam ini.

Malam ini aku ingin mencerna semua informasi tentang Ayah dan Ibu. Aku ingin malam ini adalah malam terkahir aku merasa bersalah kepada mereka berdua. Ini akan menjadi malam dimana seorang Dini berdamai dengan masa lalunya. 

[Mbak, besok pagi bisa datang lebih pagi ke RS?] Setelah melewati perenungan aku menguatkan hati.

[Kenapa, Dek?]

[Adek pengen pakai jilbab. Mbak bisa bantu?]

[Alhamdulillah. Mbak kesana sekarang. Jangan ditolak!] 

Aku gak mengharapkan jawaban seperti itu darinya, tapi untuk menolaknya lidah ini pun mampu. Jadi kubiarkan saja dia dengan rencananya.

Tok tok tok ...

"Assalamu'alaikum," Salamnya diambang pintu dengan senyum terkembang di bibirnya.

"Wa'alaikumusallam. Mbak ngapain malam-malam kesini, aku bilang kan besok pagi?" Aku belum merasa sepenuhnya nyaman berdua dengannya tanpa Mas Bram. Tapi sepertinya aku harus lebih membuka hati untuknya, disini bukan hanya aku yang menemukan kakak. Tapi disini ada kakak yang setengah mati kehilangan adik dan baru dipertemukan kembali.

"Gak papa, anggap aja girl's night out." Aku lihat dia membawa 1 tas jinjing ukuran sedang, "Mbak mau kemana bawa-nawa tas?"

"Ini?" Tunjuknya sambil mengangkat tas jinjing di kaki ranjangku. 

"Iya."

"Ini adalah semua yang bisa Adek pakai untuk melaksanakan niatanmu, Mbak bantu ya." Aku melihat beberapa hijab instan, pashmina dan semua pernak perniknya dan juga beberapa gamis dan tunik.

"Mbak, tadi kan aku minta tolong bantu untuk memulai memakai hijab. Bukan untuk memintamu merampok outlet baju musllim." Ada rasa suka yang membuncah didada saat melihat kakak yang baru 2 hari yang lalu aku temukan sibuk memperlihatkan satu persatu koleksi baju dan hijabnya.

"Ini bukan baju koleksi ku, Dek. Ini koleksi daganganku, Mas mu gak tahu kalau selain punya usaha retail itu aku juga punya bisnis sampingan."

"Mbak pilihkan baju dan jilbab yang pas untuk dipakai besok. Setelah sholat subuh, Mbak bisa make over adikmu ini." Kau tahu apa yang terjadi selanjutnya, Mbak Anis memelukku erat. Benar-benar erat seolah dia takut aku akan menghilang lagi. Aku merapa pundakku basah, dia menangis.

"Mbak ... aku disini, Adek disini. Gak kemana-mana lagi kecuali Allah yang meminta kita berpisah lagi. Jangan buat aku menangis lagi."

"Maaf, sudah lama aku bermimpi saat seperti ini. Terima kasih sudah tumbuh menjadi wanita hebat." katanya dengan tangan menangkup pipi kiri kananku.

"Yang hebat itu Mbak," jawabku yang mengundang pertnyaan diwajahnya.

"Kok bisa?"

"Perempuan manapun akan kuanggap hebat, jika tahan hidup satu atap sama Mas Bram. Emangnya Mbak gak tau semenyebalkan apa dia itu."

"Sebenarnya Mas mu gak separah itu kok, cuma ada satu yang bikin Mbak penasaran. Ngototnya untuk nikahin Mbak secepatnya itu lho, jangan-jangan dia sudah tahu kalau kita bersaudara," gumam Mbak Anis yang juga membuatku penasaran.

"Terlepas dari Mas Bram sudah tahu lebih dulu atau gak, aku benar-benar bersyukur. Tanpa kenekatan Mas Bram kita mungkin belum ketemu sekarang. Aku mungkin belum bisa memanggilmu Mbak." 

"Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Kita masih diberi kesempatan untuk berkumpul."

"Mbak," panggilku.

"Heem." jawabnya sambil memilih baju yang pas dengan bada mungilku.

"Mbak benar-benar gak ada masalah jika aku dekat sama Mas Andy?" Mbak Anis langsung berhenti dan memandangku dengan heran.

"Aku bersyukur Andy mendapatkan gadis sepertimu. Aku tahu selama ini dia hanya menganggapku adik dan sampai kapanpun dia akan selalu menjadi kakak bagiku. Asal kau tahu, Mas mu sudah masuk terlalu dalam ke dalam hatiku."

"Mbak, makasih ya." Kami berdua memang berbeda, tapi sepertinya kita mulai menemukan satu persatu kesamaan diantara kita berdua.

*******

"Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari arah pintu, aku yang masih didalam kamar mandi menenangkan hati belum berani untuk keluar.

Sayup-sayup terdengar suara Mama menanyakan keberadaanku dan keterkejutan Mas Bram menemukan calon istirnya sudah dikamar inapku.

Pelan-pelan kuputar handle pintu kamar mandi yang menyembunyikan penampilan baruku, "Hai."

"Masya Allah, ada bidadari keluar dari kamar mandi." Celetuk Mas Bram begitu melihatku dengan hijab warna biru menutup kepala dan tunik bahan jeans sebatas mata kaki.

"Alhamdulillah," ucap Mama sambil memelukku. "Semoga istiqomah ya sayang."

"Adek. Alhamdulillah, semoga berkah Allah selalu bersama Adek. Papa jadi tambah sayang kalau begini."

Damai, hati ini sudah berdamai. Aku menerima takdir Allah yang memisahkanku dengan orang tua dan kakak kandungku, bukan karena Allah menghukumku ataupun Allah tak sayang padaku. Tapi karena aku tahu Allah sayang padaku dan orang-orang disekitarku.

Saat aku sudah bisa berdamai dengan masa laluku, mari mula memikirkan laki-laki yang sepertinya dibawa lari oleh dugong.

Dua Hati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang