Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Soal cerita Ayahku yang akan pergi ke luar kota karena pekerjaan itu benar-benar sungguhan. Yang ternyata tujuan Seokjin beranjangsana karena ia dipercayai ayah untuk menjagaku. Pagi sekali, Ayah mengecup keningku; sudah berpamitan ingin berangkat, seraya mengucapkan bahwa Seokjin akan kemari setelah mengantarnya ke bandara.
Tidak, Appa. Ku mohon jangan pergi.
Hanya bisa menahannya dalam hati. Kenapa ayah begitu memercayainya untuk tinggal serumah denganku? Walaupun di usiaku yang masih remaja ini, aku tahu sekali hubungan antara laki-laki dan perempuan saat di bawah satu atap. Mengingat aku dan Jungkook sering melakukan kissing di perpustakaan sekolah. Aku bahkan tak mengenal baik perangai Seokjin bagaimana jika bersamaku. Apakah aku harus memanggil Jungkook kemari setiap hari? Ah, itu mungkin akan sia-sia. Merenungi perkataan Ayah, aku harus mematuhi aturan-aturan seperti apa yang Seokjin buat. Argh, sebenarnya Ayah, aku ini anakmu atau bukan? Mengapa kau begitu mudahnya memberikan aku pada orang lain? (╥_╥)
Aku mengoles selai nanas pada roti, dengan wajah kusut tentunya. Sebenarnya aku terbiasa dengan eksistensi Ayah, tapi sekarang, aku harus membiasakan diri tanpanya, atau sekarang dengan orang baru, yaitu Seokjin. Aku tidak tahu dia akan sering melewatkan sarapannya atau tidak, yang jelas aku tidak peduli. Menggigit roti selai yang kubuat, lalu mengunyah dengan malas, dan sepersekon ponselku berdering, dengan nama Bunny Jeon terpampang di layar benda persegi panjang itu.
“Ne~ Pagi yang cerah, brengsek?”
Terdengar kekehan kekasihku di seberang sana. Wah, harusnya dia tidak usah terkekeh seperti itu. Itu kan memang julukanku padanya.
“Apa yang membuatmu tertawa huh? Aku sedang tidak mood bercanda.”
“Aku sedang menebak raut wajahmu pagi ini, sweety.” tuturnya diiringi kekehan, lalu berdeham. “Perlu tumpangangratis?”
Menunggu kunyahan terakhir tertelan, aku meminum susu buatanku dengan sekali habis. “Jika kau peka.”
Lalu berakhir dengan sambungan telepon putus dengan sepihak. Dasar Jeon Brengsek Jungkook. Selalu saja seperti itu ketika mengakhiri telepon.
Tak lama kemudian, bel rumah mengalun begitu aku menyelempangkan tasku dan bersiap turun dari kamar setelah meng-uploadmirror selfie ke SNS-ku.
Yang kuduga itu adalah Jungkook, namun aku salah mengira. Aku lupa jika ada Seokjin yang akan datang kemari setelah mengantar Ayah ke bandara. Dan aku kikuk harus berbicara apa.
Dia seperti biasa hanya memakai pakaian kasual, namun itu tetap saja tidak mengurangi kadar ketampanannya. Yang jelas, aku tidak tahu mengapa aku mengekorinya dari belakang, yang harusnya aku keluar dan menunggu si brengsek Jeon menjemputku.
“Oppa,” aku pertama kalinya memanggilnya langsung seperti itu, sepertinya terdengar aneh, karena biasanya aku hanya interaksi formal dengannya, dan Ayahku mengatakan harus memanggilnya dia Oppa karena dia belum setua itu untuk dipanggil paman, juga karena dia belum menikah. Aku agak kikuk sebenarnya.