Satu minggu sudah berlalu. Tapi tak sesedih yang lalu, karena bagaimana pun ayahku pasti tenang di sana, kendati membuat diriku merasa ada yang sedikit mengganjal. Mengapa, sebab kematian ayahku terasa aneh? Apalagi beredarnya rumor bahwa alasan kecelakaan beruntun itu adalah pembunuhan yang direncanakan. Hingga melibatkan banyak populasi yang meninggal di sana dan sedikitnya luka-luka parah. Cctv jalan pun seperti diretas karena tidak ada rekaman pada hari itu yang menimbulkan banyak pertanyaan.
Jika benar, aku tak bisa memaafkannya. Karena hal itu membuatku kehilangan ayahku. Tapi aku tak punya bukti dan aku masih sekolah untuk bisa menyelidikinya. Kepahitan yang kualami ini ternyata juga sudah terdengar sampai sekolahku. Banyak yang iba padaku, namun tidak ada yang kutanggapi, karena mereka tak pernah seakrab itu sebelumnya. Seperti melihat wajah palsu.
Tak ingin memikirkan berlarut-larut, aku kini lebih sering membaca buku pelajaran, menulis esai, mengerjakan dan sebagainya. Biasanya aku jarang, kulakukan karena sebentar lagi adalah ujian masuk universitas. Aku ingin kuliah di universitas favorit. Mendapat tempat terbaik agar aku bisa membuat ayah bangga di sana. Kendati ia tak pernah memaksaku untuk mendapat nilai tertinggi. Beliau mengatakan padaku, bahwa nilai tak berpengaruh karena yang penting aku bisa naik kelas. Apalagi ayahku sangat mendukung jika aku menyukai salah satu pelajaran untuk fokus ke sana saja agar aku bisa mendapat ilmu yang banyak. Hidup bukan hanya soal ranking pertama bukan? Kendati pada akhirnya aku selalu mendapatkannya. Karena aku terlahir pintar.
Aku sepertinya mulai tidak fokus. Mengayun langkahku di tengah malam, aku turun ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Ketika berada di pijakan terakhir, aku melihat Seokjin yang berjalan kemari tanpa menggunakan pakaian atas. Hell, apakah aku baru melihat bahwa ia sering seperti ini jika tengah malam?
“Sedang apa?”
Sepertinya wajahku memerah. “A-ani. Hanya ingin mengambil minum.”
Kemudian ia berbalik badan, sedangkan diriku sendiri hanya berdiri stagnan dan melihatnya ke dapur. Sepertinya mengambilkan apa yang kuinginkan tadi. Apa dia tak merasa risih ketika aku melihat ia bertelanjang dada seperti itu? Visual tampannya jadi bertambah berkali lipat di mataku. Kurasa melihat hal seperti ini membuat keadaan hatiku membaik yang sebelumnya mendung karena mengingat ayah.
“Ini.” Ia kemudian menyerahkan segelas air putih padaku, dan kuterima dengan senang hati. “Tidur larut malam lagi? Masih memikirkan ayahmu?”
“Begitulah.” Aku mengendikkan bahu, lalu berputar badan untuk kembali ke atas; menuju ke kamarku. Walau aku tak sedih lagi, membahas tentang ayah, masih membuatku sensitif.
“Tidurlah bersamaku.”
Langkahku terhenti. Diriku yang minum sambil berjalan tiba-tiba membuatku tersedak hingga terbatuk-batuk. Sungguh, apa aku tak salah dengar?
“Tentu saja tidak.” Kudengar suara pijakan dirinya terdengar menghampiriku.
“Tidurlah bersamaku,” ulangnya lagi ketika ia sudah di sampingku. Hingga aku tolehkan atensi padanya. “Bukan dalam konteks tidur yang itu jika itu yang kau harapkan. Hanya tidur, saling memeluk dan terlelap.”
Aku mendengkus. Bagaimana aku tak berpikir yang ia maksud adalah tidur yang itu? Dia terlihat menginginkan seperti itu kendati berkata lain.
“Tidak.” Aku memberikan senyum miring. “Nanti kau memasukkan benda menjijikkan itu atau menyentuhku agar objek fantasimu terpenuhi.”
“Itu tidak akan terjadi jika kau tidak melanggar rules-nya.” Seokjin menarik pinggangku, hingga membuatku mendekat sedikit intim. Pun berbisik di telingaku dengan suara beratnya. “Tapi, aku bisa melakukan apa saja padamu, Sugar. Jika dirimu tidak patuh padaku.”
Aku menariknya menjadi lebih dekat. Ikut berbisik pelan. “Bukankah tidak adil? Kau punya kendali atas diriku tapi aku tidak.”
Seokjin menjauhkan wajahnya. Sepasang netranya memandangku dengan lama. “Aku punya rules untuk diriku sendiri. Ketika aku mempunyai perasaan padamu, kau akan sepenuhnya punya kendali atasku. Bahkan aku tidak akan segan untuk membuatmu berada di atasku, bercinta denganku. Maka dari itu, jika ada salah satu dari kita melanggar poin ketiga, poin kedua bagian ketiga adalah hukumannya.”
***
Aku terbangun. Ternyata aku tertidur di perpustakaan. Aku terbayang lagi perkataan Seokjin malam itu. Susah sekali melupakan perkataannya, apalagi ketika tahu bahwa aku bisa membuatnya bertekuk lutut padaku jika ia mencintaiku. Hell, apa yang sebenarnya aku pikirkan? Aku tidak akan termakan perkataannya apapun itu karena kedua, sekarang yang harus kupikirkan adalah hubunganku bersama Jungkook. Pertama adalah ujian masuk universitas tentunya.
“Ada apa? Kenapa melamun?” Tiba-tiba saja Jungkook datang menghampiriku, membawakan ice latte kesukaanku seperti biasanya. Perpustakaan sepi karena ini sudah lewat jam pulang. Tapi aku masih menyibukkan diri untuk membaca buku sampai malam sekali. Sebentar lagi pasti akan ditutup. Karena tak banyak orang sepertiku membaca begitu lamanya. Pasti mereka memilih membacanya di rumah.
“Kemari, Brengsek. aku butuh semangat.” Langsung mengerti, Jungkook tersenyum, kemudian menempelkan labiumnya di antara labiumku. Melumat sebentar sebelum melepaskannya.
“Masih memikirkan ayahmu?” ujarnya, masih di depan wajahku satu senti. Jungkook memegang rahangku dengan lembut. Lantas aku menggeleng, kembali menciumnya lagi. Pikiranku sekarang campur aduk berkat Seokjin, bukan lagi memikirkan tentang ayah yang muncul dalam mimpi dan tersenyum melambaikan tangan dan mengatakan, “kau berada di tangan orang yang tepat. Jangan bersedih.”
Kau mengerti maksud mimpi itu? Sepertinya ayahku sebelumnya, ia tahu kapan ia meninggal makanya memberikan tanggungjawabnya pada Seokjin untuk menjagaku.
“Ayo pulang.” Terbuyarnya lamunan, Jungkook ternyata sudah melepaskan pagutan. Sialan, kenapa aku akhir-akhir ini banyak berpikir sih?
“Kau terlihat lelah sekali, Sweety. Ingin mampir ke apartemenku?”
Aku mengangguk saja. Lagipula aku sudah izin untuk tidak pulang. Seokjin mau tak mau mengizinkan karena dia berada di luar kota. Tak ingin berlama-lama, aku kemudian mengemas peralatan tulis dan beberapa buku yang kupinjam ke dalam tas.
“Aku akan menginap.”
Jungkook menaikkan alis, terlihat heran. “Boleh?”
Aku mengangguk malas. Dari tempatku duduk, ekor mataku seperti melihat bayangan seseorang. Terlihat seperti seorang perempuan. Aku tidak percaya dengan hantu. Itu terlihat seperti orang. Diam-diam aku berpikir, bahwa seseorang yang berani menampakkan eksistensinya padaku seolah-olah ia bisa menyaingiku, merebut kekasihku ini, karena berani memandang Jungkook kendati aku berada di sekitarnya. Itu, Choi Jooeun.
Aku berbalik badan. Memberikan senyum termanisku pada Jungkook. Ia terlihat bingung. Katanya, melihat senyumanku yang seperti ini adalah langka. Tentu saja ia bersikap seperti ini.
“Jangan lupa ya, Sayang. Nanti mampir beli yang rasa strawberry, ya.”
Jungkook terlihat melongo. Namun, ia benar-benar terlihat senang ketika aku bicara seperti itu. Padahal aku hanya mengelabui supaya stalker itu merasa kesal ketike mendengar suaraku di balik pintu.[]
Ig. Its.yourscrittlare
Juni 06, 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
Rule Breaker
Fanfiction[Croire Cluster Project] Too bad at the romance between the two of them is against of rules. Ranked at; #14 in suspense 22/08/2019 #9 in suspense 13/04/2020 Started at 06/30/2019 End at - Copyright ©2019 By Scrittlare