Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perihal krusial yang membuatku tergesa-gesa langsung turun dari motor Jungkook adalah pesan yang dikirim oleh Seokjin tadi. Apalagi aku mengingat, dia punya own rulesby himself tapi aku malah lengah. Jungkook sempat bertanya dan aku sudah menghentikannya dengan ciuman kilat dan berujar, “Akan kuceritakan nanti, bye Jeon.”
Tak menunggu lama, aku langsung bergegas masuk ke dalam pekarangan rumah meninggalkan Jungkook dengan segala pemikirannya. Entahlah, pikiranku sudah dirundung gamam sehingga tidak memikirkan apapun selain perkataan Seokjin lewat chat. Agak ragu sebenarnya untuk masuk ke dalam memikirkan apa yang akan Seokjin lakukan padaku. Sial.
Aku sudah berjalan masuk ke dalam rumah, tapi aku tak menemukan eksistensi Seokjin di ruang tamu, maupun ruang tengah. Mungkin saja dia sedang di ruang baca atau ruang kerja Ayah. Sering sekali dia berada disana untuk mengobrol penting yang kuduga seputar masalah pekerjaan.
Setelah menaiki tangga, lalu belok kiri melewati kamar Ayah, aku berdiri stagnan di depan ruang kerjanya. Masa bodoh dengan aku yang masih memakai seragam sekolah, aku dengan spontan mengetuk pintu, berharap Seokjin memang berada di dalam.
“Oppa, apakah kau berada di dalam?”
“Hm, masuklah.”
Suara decitan mengalun ketika aku membuka pintu dengan pelan, kemudian melangkah masuk;ㅡtak lupa menutupnya kembali sembari memandang Seokjin yang ternyata pandangannya memaku pada ipad yang ia pegang. Dia sedang duduk di meja kerja Ayah, kupikir memang ia tengah bekerja di sela waktu luangnya. Atau, memang ia selalu bekerja di rumah maupun di kantor? Mengagumkan. Padahal kukira ia tidak se-kerja keras itu.
“Apakah sudah puas memandangiku?”
Bola mataku membesar. Dengan tiba-tiba ia menangkap basah aku yang sedang menatapnya dengan takjub. Bodoh, mengapa aku jadi gemar melamunkan sosoknya sih?
“A, anni-yo,” ujarku agak terbata-bata. Sial, aku jadi gugup seperti ini. “Tidakkah oppa ingin membahas pesan yang oppa kirimkan padaku?”
“Benar juga.”
Ia mengetuk-ngetuk pen touch yang ia pegang ke pelipisnya, terlihat berpikir keras. Aku semakin gugup karena hukuman seperti apa yang ia inginkan untukku. I'm a troublemaker, now. Dia seperti jelmaan sosok Ayah sungguhan, padahal Ayah ku sendiri tidak pernah memberiku hukuman kecuali jika aku memang bersalah.
“Baca rules yang sudah kubuat terlebih dahulu, lalu aku akan memikirkan apa hukuman yang cocok untukmu,” ujarnya sembari menyodorkan sebuah map hijau terbukaㅡyang isinya terdapat lembaran kertas. Aku melihatnya sekilas dan terbubuh dua materai di bawahnya. Niat sekali, sepertinya. Apakah sifatnya memang bossy seperti ini? Wah, tipe dom sekali.
Hush, buang jauh-jauh pikiran kotormu Yuna. Sangat tidak tepat memikirkan hal itu di saat seperti ini.