"Saya penasaran dengan anak-anak itu. Tapi saya lebih penasaran dengan orang yang bersama dengan anak-anak itu."
-Cut Tian Humairah-Anak muda itu menggendong tasnya sambil berjalan menuju tempat yang disebutnya sebagai
rumah. Selama ia bersekolah di madrasah itu, belum ada satupun temannya yang tahu menahu
dimana ia tinggal. Jawaban yang mudah untuk perjuangan yang membosankan. Ia baru akan pulang
setelah memastikan semua santri pulang ke asrama dan rumah masing-masing. Setelah itu, ia baru
akan melangkahkan kakinya menuju tempat itu. Tempat yang disebutnya sebagai 'rumah'.
Rumah. Dua tahun yang lalu adalah pertama kalinya setelah enam tahun tak mengerti apa
yang namanya rumah. Ia hanya tinggal di rumah kerabatnya yang bersedia menyekolahkannya.
Sekolah dasarnya adalah masa paling pahitnya, dimana ia dipekerjakan sebagai pembantu bergaji
makan siang dan malam hari. Teman-temannya tak pernah bisa membayangkan bagaimana bisa jajan
sesuatu dengan uang selembar bertuliskan angka seribu. Terkadang ia lebih memilih untuk
menabungnya daripada membelanjakannya. Ya. Untuk apa? Kalian semua pasti lebih tahu
jawabannya.
Sekolah menengah pertamanya adalah masa dimana ia harus menyadari perjuangan tanpa
seorang pun. Diasramakan di sebuah pondok pesantren induk di kota. Dikelilingi oleh anak-anak dari
berbagai macam daerah dan kebiasaan. Perbedaan yang begitu kontras membuatnya merasa asing
dan tak memiliki tempat untuk bisa menampilkan diri. Mungkin selama ini, ia adalah santri paling
asing dalam sejarah di sekolah menengah pertamanya itu. Bayangkan saja, jika teman sekelasnya
kadang tak mengenalnya saat ia mengacungkan tangan jika namanya disebut oleh guru yang sedang
mengajar.
Namun, selama menempuh sekolah menengah pertamanya di Mts. As'adiyah Putra 1
Sengkang, satu-satunya yang bisa ia bawa hanyalah seni tulis-menulis aksara Arab. Itulah yang
dibawanya hingga ke sekolah menengah atasnya di MA. Nurul As'adiyah Callaccu Sengkang. Di
tahun pertamanya masuk ke sekolah ini, itulah saat dimana ia menemukan arti rumah yang
sebenarnya.
Sedikit tentang sekolah menengah atasnya, MA. Nurul As'adiyah adalah ponpes yang sering
disebut-sebut sebagai pesantren musuh bagi ponpes As'adiyah. Awal kehadirannya adalah saat
pencetus kehadiran Nurul As'adiyah ingin membangun Madrasah Aliyah di pusat kota Sengkang,
karena Madrasah Aliyah As'adiyah Putra pusatnya ada di daerah terpencil, Macanang, sehingga
santri-santri amat kesulitan masuk ke sana karena harus melalui hutan beberapa kilo agar bisa
sampai.
Namun sangat disayangkan, pihak As'adiyah tak membolehkan untuk membangun cabang
Madrasah Aliyah As'adiyah di pusat kota, sehingga diputuskanlah untuk membangun Madrasah
Aliyah yang punya yayasan tersendiri yang terpisah dengan As'adiyah, yakni yayasan Nurul
As'adiyah. Karena itulah beberapa tahun setelah kelahirannya, santri-santri yang tamat di sana tak
dibolehkan untuk masuk dan mendaftar di Sekolah Tinggi Agama Islam As'adiyah dan Ma'had Aliy
As'adiyah.
Persengketaan ini berakhir setelah beberapa alumni yayasan Nurul As'adiyah memberanikan
diri untuk mendaftarkan diri di Ma'had 'Aliy As'adiyah. A.G. KH. Abunawas Bintang, yang
memegang kendali pendaftaran saat itu dengan senang hati menerima mereka. Sejak saat itu, Nurul
As'adiyah sudah dianggap sebagai teman, bahkan saudara dari Pondok Pesantren Induk As'adiyah.
Tapi untuk anak muda itu, ia lebih mampu menemukan dirinya di jenjang menengah atasnya
dibanding saat masih bermukim sebagai santri As'adiyah. Santri yang waktu menengah pertama
yang tak dikenal oleh siapa pun kini sudah dikenal luas seperti santri-santri yang lain.
Tapi satu hal itu yang temannya belum ada yang tahu sampai sekarang. Ia tinggal dimana?
"Kak Baso!!!"
Seruan anak-anak dari dalam menyambut kedatangannya. Tubuh pendek mereka hanya
mampu memeluk sebatas pinggang Baso. Anak-anak itulah yang selama dua tahun setengah ini
menjadi teman bermainnya sekaligus adik-adiknya.
"Kok pulangnya lambat sih, kak? Ini kan sudah mau Ashar." Keluh seorang anak berambut
panjang sepunggung.
"Iya. Masalahnya, guru kakak semuanya masuk hari ini. Jadinya, lambat deh pulangnya."
"Gimana dong, kak?" Gadis kecil itu tak hentinya merengek.
Dengan sabar, wajah letihnya disembunyikannya demi untuk melihat senyum dari mereka
semua. "Sebagai gantinya, nanti malam, kakak akan bawa kalian semua ke bioskop. Setuju?"
Semuanya sontak berteriak kegirangan. Si botak, Ryan melompat-lompat. Gadis berambut
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Child Anymore (End)
RomanceJika kita masih dianggap anak kecil oleh dewasa-dewasa disana, biarlah disini kita yang merasa lebih dewasa dari mereka.