Bab 2 Dia Lagi?

17 4 0
                                    

Sosok itu sepertinya terus mengikutiku. Aku tak kenal dia, dan aku ragu apakah dia mengenalku
atau tidak. Aku hanya perlu tahu, apakah aku benar-benar pernah mengenalnya atau tidak.
-Baso Rahmat Hasyim-

Pagi yang cukup cerah itu belum mampu membuat Baso tersenyum. Kalimat-kalimat yang
keluar dari lidah Ibu Khairah tak henti-hentinya menggaung di dalam kepalanya. Dan itu pun
membuatnya semakin takut menghadapi waktu yang terus berjalan. Ia tak ingin meninggalkan waktu
sekarang. Tapi apa boleh buat. Teori waktu berhenti ataupun waktu berjalan mundur belum pernah
terpecahkan sampai sekarang.
Berjalan menuju sekolah, ia hanya terus menatap jalanan, memperhatikan dimana kakinya
akan menapak tanah, seakan takut tersandung sesuatu. Setidaknya, jalanan yang masih lengang itu
bisa memberinya sedikit ketenangan.
Sementara itu, dari arah berlawanan di seberang jalan, seorang gadis berhijab dengan tas
yang tergantung di belakang punggungnya melihat sosok lesunya. Gadis itu merasa pernah menemui
anak laki-laki itu. Benar! Di parkiran mall.
Cut berhenti sejenak, mematung di tempatnya hanya demi melihat anak lelaki yang sedang
lesu itu. Tapi anak laki-laki itu hanya terus berjalan sambil menundukkan wajahnya. Matanya
menatap trotoar tanpa mengerling barang sejenak pun. Bahkan sampai melewati Cut yang diam di
tempat sambil memperhatikan gerak geriknya.
Sampai anak laki-laki itu berada beberapa meter darinya ia masih tetap memperhatikannya.
Apa yang spesial darinya? Itu yang akan ditanyakan orang-orang yang melihat gelagat Cut. Dan Cut
tak akan ragu menjawab bahwa ia penasaran dengan siapa semalam pemuda itu pergi ke mall. Siapa
anak-anak kecil yang bersama dengannya. Dan lebih-lebih lagi, siapa yang bersama anak-anak kecil
itu. Siapa anak muda itu?
Dari arahnya berangkatnya yang berlawanan, Cut sudah bisa menyimpulkan, bahwa pemuda
itu, Baso, adalah santri MANAC—Madrasah ‘Aliyah Nurul As’adiyah Callaccu. Karena santri
MC—Madrasah ‘Aliyah As’adiyah Putra Macanang, pasti akan mengambil jalan yang sejurus
dengannya jika hendak ke sekolah.
Cut segera melangkahkan kaki, melanjutkan perjalanannya setelah Baso sudah agak jauh
darinya. Dalam lengang, Cut tersenyum. Ia jadi teringat Ali. Wajah lesu, tatapan datar yang tak bisa
teralihkan. Memori itu membuatnya seperti diberi dorongan untuk terus maju dan tak patah
semangat. Dan dengan langkah pastinya itu, ia putuskan untuk menolak mentah-mentah keputusan
ibu dan bibinya yang ingin mempertunangkannya dengan putra Pak Abdul Ghani.
Sesampainya di sekolah, Baso segera mengambil air wudhu. Dalam wudhunya, ia kepikiran
dengan gadis yang berpapasan dengannya. Dari penampilan dan seragamnya, ia bisa menebak bahwa
gadis itu adalah santri MALPI—Madrasah ‘Aliyah As’adiyah Putri Pusat. Dalam hatinya, ia heran.
Untuk apa gadis itu berhenti di tengah jalan sambil memperhatikan dirinya. Mungkin ada yang salah
denganku, pikir Baso.
Setelah berwudhu, ia segera menuju cermin yang tergantung di samping pintu belakang
masjid. Ia melihat seragam yang dikenakannya. Tak ada yang salah dengan seragam putih abu-
abunya itu, kiranya. Mungkin songkoknya yang miring? Ia tak yakin, karena sebelum memasang
sepatu, ia bercermin dulu saat memasang songkoknya. Apa yang salah, pikirnya. Akhirnya ia
mendengus, menyerah dan memutuskan untuk naik ke kelasnya.
Sedikit tentang sekolahnya, MA. Nurul As’adiyah Callaccu berpusat di sebuah masjid besar
yang bernama Masjid Jami’ Nurul As’adiyah Callaccu. Dari nama masjid itulah dijadikan nama
yayasan untuk madrasah aliyah putra ini.
Masjid ini, lebih tepatnya sekolah ini memiliki tiga tingkat. Tingkat pertama adalah pusat
masjid yang ditempati orang shalat. Lantai dua adalah aula dan terdapat beberapa ruang kelas.
Tingkat ini adalah ruangan cadangan jika lantai bawah dipenuhi jama’ah. Sedang di lantai atas
adalah pusat yayasan. Kantor, laboratorium dan perpustakaan ada di sana. Tempat itu tertutup untuk
umum. Jika bukan santri ataupun guru, paling tidak ia harus berstatus tamu untuk bisa naik ke sana.
Kebetulan, karena masjid, maka mereka memiliki keterbatasan pada lapangan. Pekarangan
masjidlah yang menjadi tempat upacara sebagai pelarian. Sedang untuk futsal, volley ataupun olah
raga yang butuh lapangan, maka santri-santri akan beralih ke lapangan milik umum. Yakni Lapangan
Merdeka, Sengkang, atau lapangan umum lainnya.
Kabar baiknya, sekarang, MANAC ini sudah punya kampus baru yang sedang dalam
pembangunan. Luasnya kurang lebih ada dua hektar. Lahan seluas itu diutamakan untuk pembuatan
lapangan, sehingga kelas-kelas akan dibuat bertingkat nantinya untuk menghemat lahan. Dan
rencananya, seluruh santri laki-laki akan dipindahkan ke kampus itu, dan generasi pertama santriwati
MANAC tahun depan akan dipusatkan di masjid ini.
“Baso!”
“Ada apa?”
“Tugas matematika kamu sudah selesai?”
“Hm.” Angguknya.
“Aku nanti lihat, ya?”
“Hm.” Angguknya lagi.
Andi Afdal Ma’arif. Ia adalah teman yang cukup menyenangkan bagi Baso. Kepala lonjong,
mata bulat dan suara yang dalam. Karakter khas itu membuatnya bisa dikenali oleh Baso tanpa harus
melihat lebih jauh.
Ia adalah sosok pecinta aktris dangdut dari tanah Bugis yang lagi naik daun setelah mengikuti
ajang LIDA 2018. Selfi. Afdal juga adalah salah satu member dari Grup Selfitta. Kefanatikan yang
dimiliki Afdal terhadap aktris pujaannya itu terkadang membuat Baso geleng-geleng kepala. Bukan
karena apa dan apanya. Ia akan rela melakukan apa pun untuk melihat penampilan Selfi selama
konser itu masih berada di kawasan tanah Bugis. Pernah satu hari dia membolos hanya karena ingin
menyaksikan konser Selfi di kampung halamannya sendiri. Padahal ia dikenal sebagai santri yang
cukup rajin. Mungkin memang benar kata orang. Mau diapakan jika memang hobi?
“Nanti malam, Selfi punya konser di Salopokko. Itu dekat kampungmu, ‘kan?” Ucap Afdal
dengan semangat.
“Iya.” Jawabnya. “Kamu mau ke sana?”
“Iya. Rencananya saya mau ajak kamu ke sana. Kamu mau tidak?”
“Em… bagaimana, ya? Nanti malam ‘kan ada praktek da’wah. Bagaimana kita ke sana?”
Afdal melirik ke sana kemari, mencari jalan agar bisa menjalankan misinya berburu konser
aktris idolanya itu. “Setelah kita praktek, kita ke sana.”
“Yakin kalau Pak Akis akan beri izin pulang lebih awal?”
“Kita lihat saja nanti. Semoga saja nasib kita baik.” Ucap Afdal penuh kekhawatiran. “Tapi
kamu mau, ‘kan?”
“Hm.” Baso mengangguk. “Semoga ini menjadi pengalaman pertamaku lihat konser
dangdutnya Selfi.”
***
Cut duduk termenung seorang diri di ruang kelasnya. Seorang diri. Bukan berarti ia yang
pertama datang. Sudah ada beberapa tas yang bertengger di sandaran setiap kursi. Mereka semua
lebih sibuk bercengkerama di taman kelas sambil menunggu kegiatan pagi dimulai.
Berbeda dengan Cut yang lebih memilih untuk menyendiri. Jika sudah begitu, dapat ditebak
bahwa dirinya sedang mengulang-ulangi halafan al-Qur’annya. Di sekolahnya ini, ada kelas khusus
pengembangan diri yang setiap santri harus memilih satu dari empat kelas khusus. Keempat kelas itu
adalah kelas menjahit, kelas MTQ, kelas kaligrafi dan kelas tahfidzul qur’an. Dan ia memilih untuk
masuk ke kelas tahfidzul qur’an, mengingat ia begitu cinta dengan al-Qur’an dan pria pujaan hatinya
yang sudah hafal 30 Juz.
Beberapa menit tenggelam dalam hafalannya, akhirnya suara panggilan dari pengurus OSIS
menggema lewat speaker yang terdapat di setiap gedung sekolah. Setelah menutup hafalannya, ia
segera bergegas menuju aula yang terletak di bangunan sisi utara sekolah.
Kelasnya berada di sisi sebelah selatan sekolah. Bangunan bertingkat tiga yang dipoles cat
hijau berpadu dengan kuning, seperti semua bangunan yang ada di kompleks itu. Karena letak
kelasnya yang berada di tingkat dua paling pojok sebelah selatan, ia harus menempuh rute memutar
yang amat melelahkan. Tangga utama dan tangga satu-satunya berjarak lima ruang kelas dari
kelasnya. Dan aula yang menjadi tempat kegiatan pagi, seperti dzikir ataupun tadarrus, berada di
tingkat dua juga.
Kadang ia mengeluh jika gairahnya sedang turun. Tapi setidaknya, untuk kegiatan pagi
seperti dzikir dan tadarrus ini, ia tak pernah resah untuk melangkahkan kakinya menuju tempat
kegiatan. Berbeda jika kegiatan itu menyangkut upacara ataupun senam. Maka jangan ditanyakan
lagi, ia tak akan berhenti berdo’a dalam hatinya agar waktu berjalan lebih cepat.
Dalam perjalanannya menuju aula, ia ke sana bersama dengan teman dekatnya. Ya.
Begitulah ia menyebutnya. Ia tak berani menyebut setiap teman yang dekat dengannya sebagai
sahabat. Alasannya apa? Ia juga tidak tahu apa alasannya. Tapi teman dekatnya itu memang lebih
pantas disebut sahabat olehnya.
Musdalifah.
“Nanti ada jadwal stor hafalan, ‘kan?”
“Iya. Untung aku sudah hafal.” Jawab Cut dengan senang.
“Kalau aku sih juga sudah hafal. Tapi takutnya nanti semuanya hilang kalau giliran setoranku
tiba.”
Ia tertawa. “Kenapa sih kamu takut sekali sama Ibu Rosyidah? Menurut saya, dia itu baik,
kok.”
Musdalifah mencubit lengannya, membuat Cut mengaduh kesakitan. “Itu kamu, Cut. Kalau
kita-kita yang memorinya terbatas mana bisa senang sama dia.” Keluhnya sambil memasang wajah
jengkel.
“Yang penting kamu sudah berusaha ‘kan? Tak usah khawatir.”
Tak ada guru yang lebih menyeramkan bagi santri-santri yang ada di sini selain Ibu
Rosyidah. Ia adalah pembimbing kelas khusus hafidzul qur’an sekaligus guru BK di sekolah itu.
Santri-santri yang sudah berhadapan dengannya di ruang BK akan kapok atau jika tidak mereka akan
memilih mengambil surat keterangan pindah sekolah saking luar biasanya ia dalam memberi
peringatan kepada siapa pun yang membuat ulah.
Ibu Rosyidah tak pernah menghukum secara fisik, namun ia menghukum santri-santrinya
dengan kata-kata pedasnya dan berbagai ancaman yang mengerikan. Tak jarang ada yang menangis
jika sudah berhadapan dengan amarah Ibu Rosyidah.
Walaupun sosoknya sesangar sosok Jigsaw di film Saw the series, tapi ia sebenarnya adalah
sosok pengasih dan peduli terhadap santri-santrinya. Sebagai contoh, jika ada santri yang tengah
krisis dana dan tak mampu membayar uang madrasah, maka ia akan mengurus pembebasan
pembayaran untuknya. Juga dalam mengalirkan bantuan-bantuan kepada santri yang kurang mampu,
ia akan begitu serius menjalankannya.
Pagi ini, kegiatan sebagai pembuka proses belajar mengajar adalah dzikir bersama. Santri-
santri sudah memenuhi aula. Guru pembimbing belum hadir. Sedang waktu sudah berlalu sepuluh
menit.
“Siapa sih yang jadwalnya bimbing kita hari ini.” Keluh Musdalifah sambil menatap jam
dinding yang tergantung di bagian depan aula.
Cut mengedikkan bahu. “Entahlah.”
Lima menit berlalu, akhirnya seseorang dari pintu utama aula masuk. Semua mata
memandang heran kepada sosok itu. Lelaki paruh baya dengan setelan jas hitam dan sarung
berwarna gelap. Di pundak kanannya tersampir surban biru dan diatas kepalanya bertengger songkok
hitam nasional.
“Kamu kenal dia?” Tanya Cut kepada teman baiknya itu. Namun teman baiknya juga tak tahu
siapa orang itu.
Lelaki paruh baya itu berdiri tepat di depan aula, menyapu pandang seluruh santri yang
duduk menatapnya dengan heran.
“Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.”
Salam yang begitu tegas itu terdengar begitu syahdu dan meresap hingga ke kalbu. Santri-
santri yang menengadah, memandangnya menjawab salam dengan serempak.
“Adek santri yang dimuliakan Allah.” Mulainya. “Ada suatu riwayat yang mengatakan
bahwa jika ada suatu majelis yang dihadiri oleh orang-oraang mukmin, kemudian mereka berdzikir
kepada Allah hingga menetes air matanya, maka dosa-dosanya yang lalu diampuni oleh Allah
Subhanahu wa ta’ala. Dan malaikat-malaikat akan turut serta dalam majlis itu dan menaungi siapa
saja yang ada di sana. Maka, do’a-do’a yang terpanjat akan dikabulkan oleh Allah atas aminnya para
malaikat yang hadir.”
Santri-santri mengangguk dengan khidmat. “Semoga majlis dzikir yang insya Allah akan
kita laksanakan ini mendapat ridho dan maghfirah dari Allah. Kita mulai dengan mengirimkan al-
Fatihah kepada kedua orang tua kita, kepada guru-gurutta yang telah mengajar kita, baik yang sudah
meninggal ataupun yang masih hidup, kepada seluruh ummat Islam yang sedang berjuang di jalan
Allah, kepada saudara-saudara muslim kita di Palestina dan kepada seluruh nabi dan rasul yang
diberi mandat dari Allah untuk menyeru kebenaran kepada kita semua. Subhana rabbika rabbil ‘izzati
‘amma yashifuun wasalaamun ‘alal mursaliin walhamdulillahi rabbil ‘aalamiin. Al-faatihah.”
Dzikir berjama’ah pun akhirnya dimulai dengan membaca tashbih.
Dalam dzikir ini, Cut benar-benar terhanyut dalam lantunannya. Hatinya penuh ketenangan
dan teringat semua kesalahan yang pernah ia perbuat. Bayangan lelaki pujaannya turut menyertai
untaian dzikir yang dia ucapkan. Hatinya yang kelu tak henti-hentinya memanjatkan do’a agar bisa
dipertemukan kembali dengan sosok penjaga firman Allah itu. Ia mengharap ada setidaknya satu
malaikat yang mendengar do’anya dan mengaminkannya. Pun begitu, ia yakin, tanpa aminnya
malaikat pun, jika Allah berkehendak, Allah akan tetap mengabulkan do’anya.
Dan tak lupa, harapnya agar ia punya kekuatan untuk bisa menolak pertunangan yang
direncanakan oleh ibu dan bibinya.
***
“Hey! Ada anak MANAC yang datang!” seru Musdalifah setelah keluar sebentar di koridor kelas.
“Anak MANAC? Untuk apa kemari?” Tanya Cut, heran.
Musdalifah mengedikkan bahu. “Aku tak tahu. Mungkin seperti biasa, mereka ingin bertemu
dengan Pak Ambo Asse.” Jawabnya.
Pak Ambo Asse adalah mantan kepala sekolah MA. Nurul As’adiyah Callaccu. Ia turun
jabatan dari kursi kepala sekolah dan memutuskan untuk keluar dari sana. Desas-desusnya
mengatakan bahwa ada percekcokan antara kepala sekolah MA. Nurul As’adiyah Callaccu yang
baru. Tapi kebenarannya tak pernah terkonfirmasi oleh grup-grup gosip yang ada.
Cut dan Musdalifah, beserta beberapa santri lain keluar dari kelas dan melihat apakah benar
yang datang itu mereka.
“Coba panggil mereka, Cut. Siapa tahu dia kenal sama gebetanku.” Cerocos Musdalifah
tanpa malu.
“Memang kamu punya kenalan di sana?”
“Kalau gebetan aja sudah punya, apalagi kenalan.”
Cut membuang muka. Kalau sifat lebay temannya ini sudah keluar, ia akan angkat tangan. Ia
tak bisa meladeni kelakuan temannya yang menurutnya out of date ini. Kasarnya, ia tak suka dengan
gadis-gadis yang kegatalan laki-laki. Jadinya, ia hanya terus memandang dua orang santri berkopiah
yang sedang menunggu di pos piket itu. Itu adalah Baso dan Afdal.
“Tunggu.” Mata Cut melebar dan kedua alisnya bertaut. “Sepertinya aku pernah lihat orang
itu, deh.” Ucapnya sambil menunjuk salah seorang dari mereka. Dia menunjuk Baso.
“Yah kalau pernah lihat sih tak ada spesial-spesialnya. Kenal kek, atau apalah.” Goda
Musdalifah kepada temannya yang selama ini diketahuinya sama sekali tak tertarik dengan
pembahasan lelaki. “Tapi tumben kamu tertarik sama laki-laki.”
Cut menatap tajam Musdalifah sambil melotot. “Saya masih normal loh, Fah.”
“Baguslah kalau begitu. Akhirnya kita bisa sedikit-sedikit bahas sesuatu yang berbau
gentlemen, ‘kan?” Ucapnya tak peduli.
Dari ruang kantor, nampak petugas piket siswa keluar bersama dengan Ibu Maya, guru
pembimbing kelas kaligrafi sekaligus guru mata pelajaran Al-Qur’an & Hadits. Kedua santri
MANAC itu berjalan menuju Ibu Maya.
“Sejak kapan Bu Maya mengajar di MANAC?” Musdalifah kembali menyeletuk.
Tampak Ibu Maya mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Baso.
Sedikit basa-basi, akhirnya mereka berdua pergi. Namun ditengah perjalan mereka keluar dari
gerbang, Baso sempat melirik sedikit ke arah bangunan yang dipenuhi mata yang penasaran. Dan
ditangkapnya sosok yang dijumpainya tadi pagi.
Sejenak, mata Cut bertabrakan dengan matanya. Namun yang lebih dulu menurunkan
pandangan adalah Baso.
“Mungkin itu keluarganya.” Tebak salah-seorang yang turut menyaksikan adegan itu.
“Atau adiknya?”
“Tapi kalau adiknya, kenapa dia sampai cium tangan Bu Maya?”
“Memangnya salah kalau adik cium tangan kakaknya?”
“Ya… boleh-boleh aja sih.”
Cut segera melangkahkan kakinya menuruni tangga, meninggalkan Musdalifah yang asyik
berdebat dengan teman-teman gosipnya. Kakinya mengejar langkah Ibu Maya yang hendak ke
perpustakaan. “Pung!” teriaknya, menghentikan langkah Ibu Maya.
“Iya?” Ibu Maya berbalik
“Yang tadi itu, adiknya ibu, ya?” Tanyanya, menebak-nebak.
Ibu Maya tersenyum. “Bukan. Dia murid ibu sewaktu ibu masih mengajar kelas khusus
kaligrafi di Mts. Putra 1. Kamu kenal dia?”
“Eh, tidak, Pung. Saya cuma bertanya saja.”
Sementara itu, di tengah perjalanan kembali ke sekolah, Baso memberitahu Afdal tentang
gadis yang sempat diajaknya beradu pandang.
“Gadis itu mungkin kenal kamu.” Jawab Afdal.
“Kalau dia kenal aku, aku juga pasti kenal sama dia.” Kilahnya, membantah opini yang
diberikan Afdal padanya.
“Memori otak manusia tidak punya batas. Cuma mesin pencarinya yang kadang mogok
sampai sering dikaitkan dengan kemampuan mengingat. Coba kamu cari lagi, dimana kamu simpan
gadis itu di kepala kamu.”
Baso hanya mendengus menanggapi tanggapan Afdal yang menurutnya begitu absurd.[]

Not Child Anymore  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang