Bab 8 Datang

5 2 0
                                    

Setiap ukuran punya perhitungan yang pas. Tapi mencari yang cocok membutuhkan waktu.
-Baso Rahmat Hasyim-

Pagi yang mendung. Cut sudah berisap-siap dengan seragam dan tas punggungnya. Ia duduk
termenung di teras rumahnya dengan sepatu yang masih belum dipasangnya. Hatinya hampa.
Setidaknya, itulah yang ia rasakan di pagi hari ini. Angin pagi yang mengembus menerpa wajahnya.
Dingin. Ia segera sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit.
Cut segera memasang kaos kakinya. Kegiatan paginya akan bermula pada pukul setengah
tujuh tepat. Setelah ia memasang kaos kakinya, ia berlari kecil, masuk ke dalam rumah. Melewati
ruang tamu dan kamar tamu, lalu berakhir di dapur. Di sana, bibinya sedang membuat sarapan
untuknya.
“Saya sudah mau berangkat, Bi.” Ucap Cut, menyadarkan bibinya yang fokus pada wajan.
“Sarapannya sebentar lagi jadi. Kamu tunggu sebentar, ya.”
Cut bersikeras. Ia tak ingin datang terlambat ke sekolah. “Tidak usah, Bi. Nanti saya sarapan
di sekolah saja.” Ia mendekati bibinya lalu meraih tangan kanannya. Tangan letih itu diciumnya
dengan penuh perasaan. Lamat-lamat. Bibinya tentu heran dengan hal itu. Tak biasanya Cut
mencium tangannya selama ini jika ia pamit ke sekolah.
Tak cukup mencium punggung tangan bibinya, Cut lekas memeluknya juga. Erat dalam
dekapannya. Bibinya dengan ragu-ragu membalas pelukan itu. Ia masih heran. Sedang Cut mati-
matian menahan rasa harunya yang menggemuruhi dadanya.
“Saya ke sekolah dulu, ya, Bi.”
***
“Kemarin sore kamu kemana?” Musdalifah menanyai Cut dengan begitu serius. “Ibu
Rosyidah kemarin cari kamu. Kamu sakit?”
Cut mengangguk pelan. Setidaknya, ia tak berbohong dengan membenarkan tebakan teman
karibnya itu. Ia sakit hati pada Ibunya.
“Lalu kenapa kamu tak kasih tahu aku.” Keluh Musdalifah. “Asal kamu tahu, kemarin itu,
Zuhra berjaya menjatuhkan kamu di depan Ibu Rosyidah. Aku mau membela kamu, tapi pada
akhirnya, aku pasti akan kalah suara dari Zuhra dan antek-anteknya. Jadinya, aku cuma bisa diam
saja.” Ungkap Musdalifah kepada sahabatnya.
“Tidak apa-apa, Ifah. Saya memang tak bisa menghadiri kelas khusus kemarin. Saya tidak
memberi penyampaian dan itu wajar bagi saya.” Cut merendah. Sebenarnya, ia hanya pasrah dengan
keadaan saja. Minggu ini, ia benar-benar didera masalah yang datang dari segala arah. Untuk
bangkit, ia membutuhkan waktu, seperti halnya kapuk yang dikempiskan, ia tak akan kembali
mengembang seketika.
“Jadi, kamu mengalah di hadapan Zuhra?”
“Mengalah bagaimana maksudmu?”
Musdalifah menggaruk kepalanya, kesal dengan tingkah sahabatnya yang menyebalkan itu.
“Aku yakin, bekas jahitan di bawah dagumu itu masih ada. Dan kamu tidak akan melupakan itu.”
“Saya tidak melupakan itu. Saya hanya memaafkan.”
“Memaafkan orang yang tidak butuh maaf dari kamu? Itu bodoh sekali, Cut. Kalau kamu
begini, kamu tidak lebih dari seorang wanita murahan!” kalimat terakhir itu ditekannya dengan
telunjuk yang teracung.
Cut merasa dihina oleh kalimat teman karibnya itu. Dadanya kembali bergemuruh, namun
sekuat tenaga, ia mengendalikannya agar tak sampai menguar. “Sebaiknya, kamu berhenti
mengganggu saya untuk sementara waktu ini, Ifah. Saya butuh sedikit waktu untuk memikirkan
banyak hal. Apakah saya harus pusing dengan Zuhra yang sama sekali tak penting untuk saya
pusingkan?”
Musdalifah terhenyak. Sadar, bahwa sahabatnya itu sedang dipenuhi masalah yang jauh lebih
pelik dibanding kasus pingitannya dengan Zuhra.
“Ibu Rahma akan segera masuk.” Sambungnya. “Tugas kamu aku yakin pasti belum selesai.
Lebih baik kamu mengerjakan itu daripada harus mempedulikan saya.”
Musdalifah masih terhenyak, mematung di samping meja Cut. Diperhatikannya wajah
sahabatnya yang lesu itu. Tampak matanya berkantung. Tebaknya, ia mungkin memang punya
banyak masalah. Perlahan, tangannya terangkat, memegang pundak Cut.
“Maafkan aku, ya, Cut. Aku hanya bisa memberimu beban pikiran tanpa bisa membantu
sedikitpun. Sekali lagi aku minta maaf.”
Cut tidak merespon permintaan maaf Musdalifah. Ia membisu, membiarkan Musdalifah
kembali ke bangkunya dan mengerjakan tugas bahasa Indonesianya yang belum selesai ia kerjakan.
***
Kembali ke tiga bulan kemudian…
Dimana Cut selama sehari ini masih menunggu surat dari Baso. Ramadhan sisa satu minggu
lagi. Dan ia akan berangkat ke Malili tiga hari mendatang. Dalam hatinya, ia merasa khawatir,
apakah Baso tidak menanggapi surat itu sebagaimana yang ia harapkan? Su’udzhan! Pekiknya. Ia
segera menghapuskan segala dugaan-dugaaan konyolnya dan meyakinkan diri, bahwa Baso akan
segera membalas surat itu.
Di depan rumah, terdengar suara gerung mobil disusul suara klakson yang begitu ia kenal. Itu
mobil Pak Abdul Ghani. Tapi lebih sering, mobil itu kemari dengan dikendarai oleh Wahid. Jika
yang mengendarainya Pak Abdul Ghani, maka Wahid pasti ada di dalamnya. Dan tidak sebaliknya.
Cut segera merapikan pakaiannya dan bergegas turun. Benarlah dugaannya. Itu adalah mobil
Pak Abdul Ghani. Dari dalam mobil itu, turun Wahid, adik sulungnya, Matsnaini, dan adik
bungsunya, Murabi’ah.
Cut melemparkan senyumnya kepada mereka bertiga. Dilangkahkannya kakinya menyambut
mereka, lalu bersalaman dengan kedua adik tunangannya itu. Mereka sudah lebih dari akrab untuk
tidak dikatakan kerabat.
“Makin hari makin cantik saja.” Ucap Naini, yang seumuran dengannya.
“Tidak usah goda saya. Tak lihat muka saya pucat, bibir kering, hidung berminyak?”
“Mau bagaimanapun kondisi kamu, kamu tetap cantik. Aku jadinya makin merasa hilang
kalau dekat sama kamu.” Tambah Naini.
Cut tertawa. “Mari masuk.” Ucapnya mempersilahkan kedua adik tunangannya masuk. “Daeng Wahid, ayo!” tambahnya saat melihat Wahid yang hanya bisa berdiri menyaksikan
keakraban adik-adiknya dengan calon istrinya itu. Wahid merasa senang melihat itu. Cut juga lebih
terbuka sekarang. Mungkin, pikirnya, Cut sudah bisa menerima keputusan yang diambilnya.
Cut bergegas menuju dapur, membuat hidangan untuk tamu istimewanya itu. Kedua
tangannya lincah menyiapkan segala perabot. Cangkir-cangkir, sendok dan panci berisi air. Tak lebih
dari lima menit, tiga cangkir berisi teh sudah siap untuk dihidangkan.
Ia berpapasan dengan bibinya di lorong yang menghubungkan antara ruang tamu dan kamar
tamu. Bibinya tersenyum, melihat itu. Cut juga melempar senyum balasan kepada bibinya dan
kembali berjalan dengan bergegas menuju ruang tamu.
“Diminum tehnya.” Ucap Cut dengan manis sambil menyodorkan tiga cangkir itu kepda
masing-masing tamunya. “Mungkin tehnya kurang manis. Saya akan mengambil gula.”
“Tak usah.” Cegat Wahid. “Tapi tidak apa-apa untuk Naini sama Rabi’ah.”
“Daeng Wahid tidak suka yang maniss-manis?” Tanya Cut, ramah.
Wahid saling bertatapan dengan kedua adiknya, saling tukar pendapat dalam diam. Dan
mereka meutuskan untuk mencari waktu yang tepat untuk alasan yang sesungguhnya.
“Begitulah.” Jawab Wahid.
“Naini sama Rabi’ah, tunggu sebentar, ya.” Ucapnya sambil berlalu.
Pak Abdul Ghani sudah menderita diabetes sejak usia remajanya. Dan gula darahnya itu
menurun kepada keempat anaknya. Namun yang paling mendapatkan warisan itu adalah Wahid,
karena ia anak pertama. Sedang ketiga adiknya masih berada di zona kuning.
Cut kembali membawa toples gula bersama dengan bibinya yang membawa dua buah toples
berisi kue kering.
“Barang-barangnya nak Wahid sudah sedia semua, ya?” Bibinya memulai pembicaraan. Dua
toples itu diletakkannya di atas meja.
“Sudah, Pung.” Jawab Wahid. “Barang-barangnya Naini sama Litsah juga sudah sedia.
Tinggal Rabiah yang belum ada persiapan sama sekali.”
“Kalau aku tidak perlu bawa barang banyak-banyak, Tante. Pakaiannya Naini sama Litsah
muat sama badan aku. Jadi, demi menghemat bagasi nantinya, saya hanya akan membawa pakaian
dalam saja.”
Semuanya jadi tertawa mendengar ucapan Rabiah.
“Begitulah, Tante. Jadinya, pakaiannya tidak ada yang dia pakai. Dia buat sarang kecoa di
dalam lemarinya.” Celetuk Naini yang juga merasa kesal selaku korban adik bungsunya itu.
“Kalau saya, sih, tak ada masalah.” Wahid menambahkan.
Cut tertawa. “Tentulah. Masa perempuan pakai baju laki-laki.”
Basa-basi mereka berakhir saat bibinya Cut menanyakan tentang bagaimana keadaan Ibu Sitti
Kristina, Ibunya Wahid. Seminggu yang lalu, Ibu Sitti Kristina anemia. Ia didapati pingsan di dekat
tangga. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Umum Lamaddukelleng Sengkang segera saat ia ditemukan
pingsan oleh Wahid sendiri. Dua malam dirawat di rumah sakit, keadaannya mulai membaik. Ia
sudah bisa duduk dan makan makanan.
“Dia sudah bisa shalat duduk dan menyuapi dirinya sendiri.” Jelas Wahid. “Ia pernah ingin
mengambil air wudhu sendiri di kamar mandi, namun masih belum diperbolehkan oleh perawat.
Tapi, ia memang sudah bisa berjalan seperti sedia kala.”
“Semoga mamamu cepat sembuh, ya.”
“Aamiin.” Ucap Wahid. “Sebenarnya, saya juga datang kemari untuk membicarakan apa
yang disampaikan Mama’ku sama saya, Pung.”
“Hm? Apa itu?” Bibinya menjulurkan kepala, memasang telinga baik-baik. Cut yang juga
penasaran, mengikuti apa yang dilakukan bibinya.
“Masalah resepsi nanti, akan diundur dua minggu sehabis Ramadhan, Pung.” Tuturnya. “Dan
untuk rumah mempelai wanitanya, kita adakan di kampungnya Cut.”
Cut tersedak liurnya, kaget mendengar pesan itu. Bibinya juga merasa kurang bisa
menyetujui pesan dari calon besannya itu.
“Katanya,” sambung Wahid. “Supaya keluarga Cut di Sumatera bisa menghadiri resepsi itu
juga, Pung.”
Cut dan bibinya saling tatap, saling tukar pendapat dalam diam. Itu akan jadi masalah besar.
Jika sampai keluarga ayahnya Cut tahu…
“Em… begini, nak Wahid.” Bibinya memberi masukan. “Perjalanan dari Sumatera ke
Sulawesi itu memakan waktu yang cukup lama.”
“Saya sudah bilang itu kepada Mamaku, Pung. Tapi ia bersikeras untuk tetap melakukan itu.”
Jelas Wahid.
Bibinya terdiam, begitupun dengan Cut. Dalam keadaan seperti ini, ia tak akan bisa
mengadakan resepsi di kampung suami Ibunya. Cut sudah terlanjur benci terhadap ibunya yang
memperlakukannya seperti anak angkat yang berasal dari rahim wanita lain. Meminta maaf adalah
jalan satu-satunya. Namun apakah ia mampu mengatakan itu kepada ibunya?
“Apakah Pak Abdul Ghani sudah tahu itu?” Cut bertanya.
“Belum. Bapakku pergi ke kantor KEMENAG saat Mamaku mengatakan itu sama saya.”
Jawab Wahid.
“Kalau begitu,” sambung Cut. “Daeng Wahid bicara dulu sama dia. Bilang, bahwa
mengadakan resepsi pernikahan di dua tempat itu sangatlah rumit.” Sebenarnya, ia hendak
menjelaskan tentang ibunya itu. Tapi urung, mengingat pernikahan ini memang adalah usulan dari
ibunya.
“Saya setuju.” Tambah bibinya. “Usahakan, jelaskan segala kerumitan yanga ada jika resepsi
diadakan di dua tempat itu. Jangan tampak memberi jalan untuk menyetujui usulan mamamu.”
Wahid mengangguk. “Akan kuusahakan, Pung. Insya Allah.”
Bibinya mengangguk. “Silahkan tehnya diminum.”
Sementara itu, Baso tengah mempertimbangkan apa jawaban yang akan diberikannya kepada
Cut atas pertanyaannya yang terlampir dalam surat yang menyertai kado itu. Isi dari kotak kado itu
adalah tiga seri dari novel Divergent. Novel kegemarannya yang selalu ia cita-citakan untuk
membelinya. Namun karena tak ingin membeli novel itu lewat toko online, karena takut novel
bajakan, ia memutuskan untuk tetap menunggu bisa punya kesempatan pergi ke toko buku yang
menyediakan novel itu. Dimana itu? Dimana saja. Ia akan memburu novel itu dengan mencarinya di
setiap toko buku yang ada.
Tapi itu tidak perlu lagi. Cut sudah lebih dulu membeli novel itu untuknya, disertai struk
pembayaran sebagai jaminan apabila nanti dalam buku itu ada cacat produksi. Baso jadi penasaran,
bagaimana Cut bisa tahu hari ulang tahunnya dan apa yang sedang ia damba-dambakan. Hanya saja,
setumpuk buku itu untuk sementara waktu ini hanya akan dihinggapi debu-debu. Ia lebih
memusingkan selembar kertas yang ada di hadapannya. Tulisan tangan Cut yang berisi segala luapan
hatinya dan sebuah pertanyaan besar untuknya. Ia tak tahu harus menullis apa sebagai jawaban atas
pertanyaan itu.
***
Dua bulan yang lalu…
Hasil kerja Baso selama kurang lebih duapuluh hari itu akhirnya kelar. Sebuah masjid
kembali masuk di list jobnya, namun dimintanya terlebih dahulu tenggang waktu sebelum
mengerjakannya. Waktu istirahat setelah jobnya ini.
Uang yang didapatnya itu kembali ia kirimkan 15 persen ke rekening pantinya itu. Walau tak
terlalu banyak, beberapa fasilitas yang ada di panti itu, seperti penghangat air, bathtub, perabot
makan dan renovasi pos keamanan berasal dari uangnya itu.
Juga tak lupa, ia juga kembali membeli baju baru untuk adik-adik pantinya itu. Ia teringat itu
saat melewati butik yang dulu ditempatinya membeli baju muslimah untuk Maria dan yang lainnya.
Kini ia memilih sendiri untuk adik-adiknya.
Sore ini, Baso sedang mati hasrat menemani adik-adik pantinya bermain. Ibu Khairah yang
mengerti bahwa ia kelelahan setelah kerja ekstra selama 20 hari memintanya untuk istirahat saja. Ya.
Ibu Khairah sudah kembali. Ia kembali sepuluh hari sebelum pekerjaan Baso kelar. Anak-anak yang
begitu resah menunggu langsung menghambur memeluknya saat Ibu Khairah tiba di ambang pintu.
“Panti ini tak jadi dipindahkan, nak. Anak-anak akan tetap berada di sini.” Begitu kata Ibu
Khairah saat dikabarkannya keputusan dari atasan.
Baso mengalirkan air matannya karena begitu bahagia mendengar kabar itu. “Kalau begitu,
saya harus kerja lebih keras lagi untuk membantu panti ini, ya, Bu.”
“Tak usah memaksakan diri, nak. Semua ini sudah cukup.” Ucap Ibu Khairah sambil
mengulurkan kedua tangannya. “Kemarilah, nak. Ibu rindu sama kamu.”
Baso segera membalas uluran tangan Ibu Khairah, memeluknya dengan penuh haru. Sosok
ibu yang luar biasa. Wajahnya dibenamkannya di pundak Ibu Khairah, dan begitupun sebaliknya.
Mereka saling melepas kerinduan dengan air mata itu.
Sore ini, ia benar-benar merasa lesu. Ia melamun. Lama sekali. Hingga lamunannya itu
menyadarkannya kepada sosok Cut. Selama ia mengerjakan jobnya itu, ia tak pernah kontak dengan
Cut lagi. Terakhir kali adalah ketika Cut sendiri yang menelponnya soal acara di rumahnya yang
dibuat-buatnya itu. Tepatnya, setelah konflik Cut dengan bibinya di dapur. Setelah itu, tidak pernah
ada komunikasi lagi.
Apakah ini hanya pertemuan yang memang kebetulan saja? Batinnya bertanya-tanya.
Semuanya seketika. Sehingga ia memutuskan mencari nomor kontak gadis itu dan menghubunginya.
Beberapa saat kemudian, akhirnya telepon itu diangkat.
“Assalamu ‘alaikum.”
“Wa’alaikum salaam.”
“Ini dengan siapa, ya?”
Baso seketika heran mendengar itu. Dan dengan ragu ia bertanya balik. “Ini bukan dengan
Tian, ya?”
“Tian?” orang di seberang juga bingung. Ia tak tahu nama itu dan ia bukan pemilik nama itu.
“Mungkin salah sambung.”
Baso semakin heran. Nomor itu kembali ditatapnya. Ia tak mungkin salah. Nomor itu adalah
nomor yang dulu dipakai Cut menelponnya. Ia yakin dengan itu. “Pemilik nomor ini kemana, ya?”
ujarnya tanpa ragu, karena ia benar-benar yakin tak salah nomor.
“Dia keluar sebentar. Tapi yakin saja, ini bukan nomornya Tian.” Ucap orang yang ada di
seberang sana.
Baso jadi teringat sesuatu. Seperti yang ia alami saat ia bertamu ke rumah Cut, dan yang
membuka pintu untuknya adalah bibinya. Dia tidak tahu nama itu. Bibinya memanggilnya Cut. Baso
ingin menyebutkan nama itu, namun ia agak ragu. Mungkin itu hanya panggilan khusus untuk
keluarganya. Tak sedikit orang yang bisa tersinggung karena itu.
“Saya tidak mungkin salah nomor.” Ia tetap teguh pada pendiriannya.
“Pemilik nomor ini bukan Tian, jadi coba diperiksa saja nomornya. Mungkin salah.” Orang
itu mulai kesal.
“Tian Humairah.” Baso kembali menegaskan. Tapi sama seperti sebelumnya, orang di
seberang menyangkal nama itu.
“Sudah, ya. Situnya pasti salah sambung. Assalamu ‘alaikum.” Tutup orang itu.
“Halo? Halo?! Aduh!” kesalnya.
Kepalanya jadi pening gara-gara percakapan tidak jelas itu. Walaupun ia yakin bahwa nomor
itu adalah nomor yang digunakan Cut sebelumnya, namun terbesit keraguan dalam dirinya.
Mungkin, nomor yang digunakan Cut menghubunginya itu bukanlah nomor pribadinya.
Sementara di seberang sana, orang yang tadi mengangkat telepon kembali bermain dengan
ponselnya, hingga pemilik telepon tadi datang.
“Tadi ada yang menelpon?” Tanya si pemilik itu. Cut.
“Tidak ada, Kak.” Jawab adik tunangannya, Litsah. Dijawabnya begitu karena yakin, bahwa
yang menghubungi nomor Cut adalah orang yang salah sambung.
“Litsah, bantu Kak Cut bawa belanjaan itu ke dapur.” Titah Wahid melihat adiknya yang
hanya sibuk dengan ponsel di tangannya.
“Tidak usah. Biar saya sendiri yang bawa.” Cut lebih dulu menyahut sebelum Litsah
mengelak perintah kakaknya.
“Hu…” ejek Litsah kepada kakaknya.
Di dapur, Bibi Citra, Ibu Sitti Kristina dan Ibu Sitti Hajar sedang membersihkan ikan. Mereka
tampak begitu akrab satu sama lain. Ya. Seperti tiga orang bersaudara. Padahal mereka berdua
berasal dari daerah yang berbeda-beda dan latar belakang yang berbeda-beda pula. Bibi Citra, orang
yang sudah dianggapnya sebagai ibu kandung sebenarnya itu, berasal dari pedalaman Aceh. Bibi
Sitti Kristina, calon mertuanya itu, berasal dari daerah perbukitan di Luwu Timur. Dan Ibu sitti
Hajar, saudara perempuan Pak Abdul Ghani itu, lahir di daerah padat penduduk Sengkang. Dan dari
perbedaan itulah, mereka terlihat menyatu satu sama lain.
“Eh, Nak Cut sudah datang.” Seru Ibu Sitti Kristina saat menyadari kehadiran Cut.
“Ayamnya ada?”
“Ada, Pung.” Ucap Cut sambil menyodorkan kantong plastik berisi dua ekor ayam yang
sudah bersih dari bulu dan isi perutnya. Sementara kantong plastik lainnya, yang berisi rempah-
rempah dan sayuran diletakkannya di samping westafel.
“Ayamnya kok kecil begini?” Komentar Ibu Sitti Kristina saat melihat dua bongkah ayam
yang telanjang itu.
“Ya kami kira itu yang paling besar, Pung. Kata penjualnya, ayam memang sedang laku
keras. Mungkin tante tidak percaya kalau harga satu ayam itu 80.000 rupiah.”
Ibu sitti Kristina tertawa. “Anak-anak memang tidak tahu belanja. Asal kamu tahu, ya Nak
Cut, Wahid ini baru pertama kalinya ke pasar. Yang beli ayam ini siapa?”
“Daeng Wahid, Pung.” Jawabnya sambil tersenyum malu.
“Tuh, ‘kan. Anak itu tidak tahu soal tawar menawar harga pangan. Yang dia tahunya itu
Cuma soal suku cadang.” Kelakarnya.
Malam ini, mereka akan mengadakan acara makan-makan. Keluarga Pak Abdul Ghani
memang selalu melakukan ini setiap sebulan sekali sebagai tanda syukur atas segala usaha yang
mereka jalankan. Lebih tepatnya, setiap tanggal 15. Di acara syukuran ini, mereka akan mengundang
seluruh tetangga dan jama’ah masjid. Tak jarang mereka juga mengundang Bapak Camat Tempe
untuk menghadiri acara itu
Cut berperan banyak dalam pembuatan menu makanan ini. Ia belajar banyak tentang menu-
menu makanan Bugis. Seperti nasu pute, nasu palekko dan bette bale buta. Selain itu, ia juga
membuat makanan khas Aceh bersama dengan Bibi Citra yang pedasnya mengiris lidah itu. Ibu Sitti
Hajar dan Ibu Sitti Kristina juga tukaran, belajar kepada mereka.
Sementara itu, di sekolahnya, kelas khusus sedang berlangsung. Ibu Rosyidah jadi semakin
heran melihat Cut yang sudah dua minggu lebih membolos. Kolom kehadirannya penuh dengan
huruf A dengan tinta merah. Merasa ada yang tidak beres dengan anak murid kesayangannya itu, ia
memutuskan untuk menghubungi bibinya Cut selaku walinya.
Merasakan ponselnya bergetar, Bibi Citra merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya
itu. Melihat nama yang tertera di layar ponselnya, ia tercenung. Ia sudah bisa menebak. Ini tentang
keponakannya.
“Halo. Assalamu ‘alaikum.” Diangkatnya telepon itu sambil menatap Cut yang sibuk
mengaduk ayam di wajan.
“Wa’alaikum salaam, Bu. Ini benar dengan orang tuanya, Cut?”
“I-iya. Saya bibinya.”
“Begini, Bu. Cut ini, kalau sore begini selalu di rumah, ya, bu?”
“Iya, Bu. Dia tak pernah kemana-mana.”
Cut yang mendengar percakapan itu teralih perhatainnya dari wajan.
“Cut pernah menceritakan tentang kelas khususnya pada ibu?’
“Iya, benar.”
“Sudah dua minggu lebih Cut tidak masuk kelas khususnya, Bu. Dan saya kira, Cut ini anak
yang rajin. Tapi kenapa tiba-tiba jadi malas begini, bu?” Ibu Rosyidah mulai mengajukan komplain.
Ia diam sejenak. Matanya bertabrakan dengan Cut. Cut menggeleng, meminta agar bibinya
membelanya untuk kali ini. Tapi bibinya malah balas menggeleng. Ia akan mengatakan semuanya,
namun tetap menutupi apa yang sepantasnya ditutupi
“Saya yang larang dia, Bu.” Ujarnya dengan telak.
“Loh? Kenapa dilarang, bu?” Ibu Rosyidah heran. “Cut ini hafalannya banyak dan kuat, lo,
bu. Penilaian di kelas ekstra ini juga berpengaruh pada nilai raportnya nanti. Sangat disayangkan
kalau Cut membolos, Bu.”
“Iya, saya mengerti, Bu. Saya akan usahakan agar Cut bisa kembali masuk kelas ekstranya.”
“Memangnya Cut kenapa, Bu? Dia ada masalah?”
“Masalah personal, Bu.” Ujarnya pada Ibu Rosyidah. “Insya Allah, Bu. Besok, Cut akan
kembali masuk.”
“Iya, Bu. Soalnya, ini juga akan jadi pertimbangan besar pada kelulusannya nanti.” Ucap Ibu
Rosyidah. “Jadi Cutnya dibujuk, ya, Bu.”
“Iya, Bu. Saya akan usahakan itu.”
Percakapan itu berakhir dengan salam. Embusan nafas berat mengiringi berakhirnya
percakapan itu. Bibinya masih bingung akan mengambil tindakan apa nantinya. Cut yang
mendengar percakapan itu dengan saksama tak mengumbar senyum lagi. Kini wajahnya kembali
nampak dipenuhi masalah.[]

Not Child Anymore  (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang